21| Aurora's Past

51.8K 5K 207
                                    

Kaki berbalut sneakers putih usang melangkah pelan memasuki kediaman mewah yang begitu sepi dan senyap. Manik hazelnya telah mengeluarkan lelehan air mata yang entah seberapa banyak hari ini. Dengan penuh kehati-hatian, tangan pucat itu menutup pintu utama dan mulai melangkah pelan menuju kamar utama di lantai atas. Bibir ranum itu kelu ketika melihat sang mama nampak melamun menatap jendela besar yang menghadap langsung ke arah luar.

Aurora hanya mampu membekap mulutnya ketika isakannya tak mampu lagi ia bendung. Sejenak Aurora memilih berpaling dan bersandar pada dinding samping pintu kamar hingga tubuhnya tak terlihat oleh sang mama. Tubuh kurus Aurora merosot jatuh ketika isakan itu perlahan begitu menyesakkan batinnya, hatinya remuk tanpa sisa melihat betapa renta dan hancurnya sang mama.

Tubuh ringkih dengan binar yang telah seutuhnya hilang, manik hazel yang kosong entah menatap kearah mana, hati yang hancur, pun pula harapan yang telah pupus bagaikan abu yang menyisakan debu menyesakkan hati. Aurora selalu hancur melihat betapa rapuhnya sang mama.

Aurora berusaha menguatkan hatinya, ia mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Bibirnya yang kering berusaha menyusun sebuah senyuman termanis yang ia miliki untuk sang mama, berulang kali Aurora mengatur napasnya yang terasa sesak. Aurora merapalkan puluhan hingga jutaan kata penguat untuk dirinya sendiri. Akhirnya setelah berperang dengan hatinya, langkah Aurora begitu mantap menghampiri sang mama.

"Mama.." panggil Aurora ceria namun sang mama masih juga belum menoleh, masih menatap jendela besar yang entah memiliki pesona apa dibaliknya.

Kali ini Aurora mencoba menggenggam erat tangan mama-nya hingga manik hazel yang senada dengan miliknya itu memfokuskan diri pada Aurora. Senyum tipis terukir dari bibir sang mama yang berhasil membuat air mata Aurora berdesakan ingin menampakkan dirinya.

"Mama kenapa belum minum obatnya, belum makan malem juga. Yang Aura siapin aja masih utuh"

Sang mama hanya menggeleng, "Mama nggak laper, sayang"

"Mama.." lirihan Aurora membuat sang mama mengusap lembut rambut putrinya.

Aurora hanya menunduk saat tangan kurus namun masih menyisakan jutaan rasa hangat di hati Aurora itu mengusap rambutnya lembut, begitu penuh dengan rasa sayang yang tak terkira.

"Maaf ya, mama ngerepotin Aura" bisik Helena pelan, sorotnya teduh menatap Aurora.

Aurora meraih tangan sang mama kemudian didekapnya erat-erat, berusaha menyalurkan rasa hangat pada tangan sang mama yang terasa dingin. "Aura sama sekali nggak pernah berpikir begitu, ma. Cuma mama yang Aura punya sekarang.."

"Aura sayang sama mama" akhirnya liquid bening itu berhasil lolos dari pelupuk mata Aurora namun dengan cepat dihapus oleh Aurora.

Aurora tersenyum hangat, "Sekarang mama makan ya? Aura suapin. Terus nanti minum obat biar mama cepet sembuh"

Helena hanya mengangguk pelan, menerima satu persatu suapan dari sang putri. Senyumnya teduh namun air mata pun ikut lolos melihat putrinya saat ini harus menghidupi dirinya yang kini begitu rapuh layaknya sebuah keramik tua yang tak berdaya.

Tak terasa, piring berisi makanan itu telah habis. Aurora tersenyum senang, ia menatap sang mama yang juga tersenyum menatapnya.

"Akhirnya habis, mama pinter"

Tawa Helena lolos dengan pelan, mengusap pipi putrinya yang semakin tirus. Pipi yang dulunya begitu lucu dengan sedikit chubby kini telah hilang entah kemana, menyadari itu membuat Helena merasa gagal menjadi seorang ibu.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang