28| Please,

44.5K 4.4K 318
                                    

Lorong rumah sakit terasa begitu hening dan semakin sepi, terlihat sunyi tanpa setitik keramaian menghiasi. Aurora terduduk dengan Axel disampingnya, keduanya sibuk diam. Larut dalam lamunan yang entah sejak kapan melingkupi mereka.

Axel menatap Aurora sejenak, helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Abang akan ceritain secara garis besar ke kamu"

'Al, daddy mau bicarakan sesuatu"

Allaric yang kala itu sedang bersiap menuju markas pun terhenti sejenak, ia menatap jam di ruang tamu, pukul sepuluh malam. Rumah megah itu terasa sunyi seketika, mengingat jam maid hanya sampai pukul sembilan malam.

'Kenapa, dad?'

Brandon memberi gestur pada Allaric untuk masuk ke ruang kerjanya. Allaric patuh, ia masuk ke ruang kerja sang daddy dengan perasaan bingung yang melingkupi hatinya. Ketika Allaric memasuki ruangan, nampak sang daddy sedang termenung menatap jauh kearah balkon.

'Kamu kenal Vanilla?'

Allaric mengernyit, 'Allaric nggak tau dia'

Brandon menatap putranya lekat, ia menyerahkan beberapa lembar foto pada putranya. Pada foto tersebut terlihat jelas Allaric sedang berinteraksi dengan Vanilla, pun pula Vanilla yang sedang bersama seorang wanita paruh baya. Allaric meraih salah satu foto tersebut, semakin tak mengerti dengan maksud daddy-nya.

'To the point, dad' Allaric menatap daddy-nya tajam.

Brandon menoleh, menatap putranya yang kini semakin mirip dengannya. 'Selidiki Vanilla, terutama latar belakang orang tua Vanilla'

'Kenapa daddy nggak cari tau sendiri?' Allaric meletakkan foto Vanilla dengan asal di meja kerja daddy-nya.

'Kakek kamu nggak pernah lepasin daddy'

Allaric menatap daddy-nya lekat, 'Apa cewek ini ada kaitannya sama kakek?'

Brandon menggeleng samar, ia menatap foto yang memenuhi meja kerjanya. 'Daddy takut, perempuan ini punya hubungan darah dengan Maximillan'

'Dad-'

Aurora menatap Axel lekat saat Axel menghentikan ceritanya, manik hazel Aurora masih basah akan air mata.

"Kenapa abang berhenti? Apa yang terjadi sebenernya?" Cerca Aurora.

Axel menggeleng pelan, "Abang nggak bisa cerita lebih jauh, Allaric yang bakal cerita sendiri sama kamu"

"Buat apa ditutupin lagi, bang?!" Tanya Aurora murka, ia menatap tak percaya pada abangnya. Tak sekalipun mengerti situasi apa yang ia lalui saat ini.

"Maafin abang, Ra. Abang cerita ke kamu adalah sesuatu yang udah abang langgar"

"Abang tau? Aura keliatan kayak orang bodoh di sini-" Aurora terkekeh pelan, air mata jatuh membasahi pipinya. Ia menatap nanar lantai rumah sakit yang terasa semakin dingin, apalagi dengan gaun yang ia kenakan saat ini.

"-Aura selalu nyalahin diri Aura sendiri. Aura dulu gagal jagain abang, Aura gagal pertahanin papa untuk jadi superhero Aura, Aura gagal jaga hubungan Aura sama Aric, bahkan Aura ingkar untuk selalu jagain mama" lirih Aurora pelan.

"Apa perlu di kesempatan kedua ini Aura gagal lagi?"

Aurora menatap Axel yang hanya menunduk kelu, "Apa perlu Aurora gagal lagi karena diemnya abang? Jawab, bang!"

"Allaric sayang sama kamu, Ra"

"Buat apa? Nyatanya sayang itu nggak bisa bikin kehidupan dulu baik-baik aja. Rasa sayang Aric justru semakin membunuh Aura dalam diam, bang" Aurora beranjak dari duduknya, namun Axel menahan lengannya dan memaksa Aurora kembali duduk bersamanya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang