Bab 16

177 20 0
                                    

"Lama! Dari mana?"

Tatapan tidak suka menjadi hal pertama yang dilihat Reina begitu masuk ke dalam warung. Elvano dan dua mangkuk mie kuah sudah menunggunya.

"Bantu nenek-nenek mengangkat barang." Reina menjawab santai. Dia duduk berseberangan dengan Elvano.

Kesan pertama ketika memasuki warung adalah sederhana dengan nuansa putih. Untuk ukuran luas warung mungkin lebih besar dari Tolua Mide, warung martabak yang waktu itu. Apalagi di dalam satu warung tidak ada sekat sama sekali.

Mie kuah yang dipesan oleh Elvano untuk kedua mangkuk adalah sama. Mie kuah dengan daging ayam yang dicincang halus dan juga beberapa telur puyuh.

"Sepertinya aku melihat Uki tadi. Apa kau bertemu dengannya?"

Reina menggeleng. "Apa dia tadi kesini? Apa rumahnya di dekat sini?"

Elvano mengambil botol saus dan menuangkan sedikit ke mangkuk mie kuahnya. "Tidak. Hanya berlari di luar warung. Aku pikir kau bertemu dengannya. Dia juga dari arah yang sama denganmu."

"Mungkin dia terlalu pendek, jadi aku tidak melihatnya." Reina melakukan hal yang sama, meracik saus, sambal, dan juga kecap ke dalam mangkuknya. Begitu selesai dia mengaduknya pelan.

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Reina, Elvano menatap datar lawan bicaranya. "Bagimu Uki sependek apa? Kau juga pendek, Rei. Tinggi kalian bahkan hampir sama."

"Aku sedikit tinggi akhir-akhir ini." Reina menggulung mie ke garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya.

"Aku rasa itu tidak benar. Kau sama sekali tidak bertambah tinggi bahkan ketika terakhir kali bertemu. Dan, juga lebih baik kau kembali ke rumahmu atau hari ini aku akan mengikutimu sepanjang waktu."

***

Ancaman itu harusnya tidak akan berpengaruh pada Reina. Namun, Elvano yang terus mengikutinya membuatnya sangat risi hingga menyerah dan menuruti apa yang diinginkannya. Kembali ke rumahnya dengan syarat dia tidak terlibat apapun dengan Astakona. Dan, Elvano setuju.

"Maaf, ya. Hari ini aku harus pulang ke rumah." Reina menenteng tas ranselnya, menghadap Yoga yang sedang duduk santai di ruang tamu.

Yoga yang melamun seketika tersadar dan memaksa tersenyum. "Hati-hati di jalan."

Reina masih bergeming di seberang meja, menatap Yoga beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Bisakah kau tidak bilang siapapun kalau aku pernah menginap di sini?"

Yoga mengangguk setuju. "Tentu."

"Satu lagi. Jika kita bertemu lagi, ceritakan padaku masalahmu. Itu pun jika aku mau bercerita." Reina menggendong tasnya kemudian melenggang pergi. "Aku permisi."

Tidak ada balasan apapun. Yoga hanya memandang punggung Reina yang baru saja melewati pintu rumahnya. Bagaimana dia bisa tahu? Pertanyaan itu terlintas di kepalanya. Bahkan dia tidak menunjukkan ekspresi sedih sama sekali.

"Mimpi buruk sialan!"

***

"Kenapa ada laki-laki super menyebalkan sepertinya?" gerutu Reina untuk yang ke sekian kalinya. Dia duduk di sofa memeluk bantal tidur. 

Tepat di seberangnya, meja rias dengan aneka perlengkapan berdandan yang ditinggalkan oleh ibunya. Tak lupa, kotak kenangan milik ayahnya, tempat untuk menyimpan barang-barang berharga. Beberapa lembar kertas dan juga amplop putih tergeletak bersamaan dengan sebuah bolpen. Sudah mendekati seminggu semenjak Reina mengirim surat lewat kantor pos.

"Bagaimana jika aku mengirim lagi besok lusa?" Reina beranjak dari kasur dan duduk di kursi rias, berhadapan langsung dengan cermin.

Bolpen yang tergeletak kini dipegangnya. Tak lupa, dia juga membuka buku catatan tentang kata sandi yang sudah diajarkan oleh ayahnya. Dengan lihai, Reina menulis kata demi kata dalam wujud huruf yang sangat berbeda dari abjad yang biasanya.

ASTAKONA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang