Bab 20

179 21 0
                                    

Yoga Marvin memungut satu per satu buah jeruk yang menggelinding di sekitar kakinya. Entah bagaimana buah yang dibawanya terjatuh dan kantong yang dipakainya sudah sobek. Dia baru saja pulang dari pasar, membelikan buah jeruk untuk sang nenek.

"Perlu bantuan?" Elvano berjalan mendekat. Dia ikut berjongkok mengambil jeruk yang tidak jauh darinya.

Yoga tersenyum. "Terima kasih." Dia sempat menatap Reina sebelum akhirnya berjongkok membantu Elvano memungut buah jeruk yang berjatuhan. Selesai semuanya dipungut, keduanya berdiri dan memeluk jeruk-jeruk yang dibawanya.

Reina tidak kebagian membantu. Dua orang sudah cukup untuk membawa jeruk-jeruk itu. Alhasil dia hanya diam di samping Elvano.

"Aku tidak pernah melihat kalian bersama. Sedang kencan?" goda Yoga.

"Tidak!!" jawab Reina dan Elvano bersamaan.

Yoga yang mendengarnya tertawa pelan. "Kalian terlihat sangat dekat. Aku pikir pacaran." Dan, dia mengawali langkah menuju rumahnya.

"Kenapa kau membeli buah di pagi hari?" Reina bertanya, mengikis kecanggungan Yoga yang dimintanya untuk merahasiakan tentang Reina yang menginap di rumahnya.

"Karena aku sudah janjian dengan pemasok. Dia menyisihkan bagianku dan memintaku mengambilnya pagi hari. Kalian mau mampir ke rumahku?" Yoga menoleh ke arah Reina yang berjalan di sampingnya. Dia berjalan tepat diantara dua laki-laki yang masing-masing sedang memeluk jeruk.

"Jadi, nenekmu suka buah jeruk?" Hanya Reina yang mengajak bicara Yoga. Sedangkan Elvano hanya menyimak.

"Begitulah. Karena baginya yang lain itu tidak manis," papar Yoga. Tiba di depan rumahnya, Yoga menghentikan kakinya. Dia menatap pintu rumahnya kemudian beralih menatap Reina. "Mau mampir?"

Jika kita bertemu lagi, kau bisa bercerita masalahmu padaku.

Reina mengingatnya. Kalimatnya sendiri yang diucapkannya pada Yoga. Dan hari ini Yoga membuka pintu rumahnya lagi, tanda dia sudah siap untuk bercerita padanya. Reina menoleh ke Elvano dan dibalas anggukan setuju olehnya.

Reina pun ikut mengangguk dan kembali menatap Yoga. "Tentu."

***

Ruang tamu minimalis dengan cat dinding berwarna putih, dua sofa panjang, dua sofa tunggal, dan satu meja kaca. Dua gelas teh hangat disuguhkan di atas meja dengan sepiring camilan kue kering.

"Lama tidak bertemu, Yoga. Bagaimana kabarmu?" Elvano mengawali pembicaraan, menatap Yoga yang duduk di sofa tunggal.

"Baik. Lalu, Astakona masih ada? Kau tidak membubarkannya?"

Elvano tersenyum. "Tidak. Oh, apa kau sudah kenal gadis di sebelahku ini?"

Yoga menatap Reina kemudian mengangguk. "Dia pernah menolongku waktu itu. Ya, kan, Rei?"

Reina hanya mengangguk.

"Aku baru tahu itu. Kenapa kau tidak bercerita padaku, Rei?" Elvano menoleh, menatap Reina yang duduk di sebelahnya. Siapa sangka keduanya bertemu bahkan tanpa sepengetahuan Elvano.

"Tidak penting bagimu," kilah Reina sembari mengalihkan wajahnya.

Yoga yang melihat pertengkaran kecil di depannya terkekeh, namun tak lama kemudian tawanya menghilang. Dia menatap Reina cukup lama, kemudian beralih menatap Elvano. "El, apa kau memaafkanku karena tidak bilang apapun sebelum aku mengundurkan diri?"

Elvano yang diajak bicara menoleh. "Aku sudah memaafkanmu. Kau memang tidak membicarakannya, tapi aku yakin, kau pasti memiliki alasanmu sendiri."

Yoga tersenyum lemah. "Terima kasih. Tapi kali ini aku akan bercerita pada kalian dan mengakhiri mimpi burukku sepanjang malam. El, apa kau ingat kalau yang keluar dari akademi bukan hanya aku?"

ASTAKONA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang