Bab 25

167 20 0
                                    

"Dokter!! Tolong!!" Elvano berteriak di tengah lobi rumah sakit. Kondisinya lebih kacau daripada sebelumnya.

Seorang dokter berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Beberapa suster ikut menyusul dengan mendorong ranjang rumah sakit. Leon dengan hati-hati meletakkan tubuh Reina di atas tempat tidur. Kemudian, membiarkan dokter membawanya masuk ke dalam ruang operasi.

Satu teman Leon segera meletakkan Raka ke ranjang yang baru saja tiba. Dan ranjang terakhir untuk Vira yang digendong Tara. Dokter lainnya segera membantu. Tiga ranjang masuk ke ruang operasi. Para dokter dan suster bergerak cepat untuk menyelamatkan ketiga pasien mereka.

Pintu ruang operasi tertutup dan lampu di bagian atas pintu menyala merah. Elvano yang sudah belepotan darah menghempaskan bokongnya ke kursi tunggu yang diletakkan di depan dinding. Pikiran negatif pun mulai menggerogoti otaknya.

Bagaimana jika ketiganya tidak selamat? Bagaimana jika salah satunya tidak selamat? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat? Bagaimana jika....

"Aku akan kembali ke sana." Tara menginstruksi.

Leon mengangguk. "Dia sangat membutuhkanmu." Lantas melambaikan tangannya mengiringi Tara yang melangkah pergi.

"Aku harus pulang sekarang. Kau baik-baik saja sendirian?"

Leon menoleh, menepuk pundak temannya yang merelakan ikut dengannya karena hanya dia yang tersisa di laboratorium. "Tentu. Argi juga mungkin akan ke sini. Pulanglah dulu. Aku akan mengabarimu jika ada berita baru."

Temannya mengangguk. Dia menyempatkan mendekap Leon sebelum berpamitan. "Dia pasti akan baik-baik saja. Aku duluan."

Leon hanya tersenyum dan membiarkan temannya pergi. Dia beralih menatap Elvano yang menundukkan kepala dengan kedua tangannya yang saling mencengkram. Bukan hanya Leon yang syok, bahkan remaja laki-laki itu terlihat lebih kacau darinya.

Leon duduk di sebelah Elvano, mencoba menenangkannya. "Kau teman mereka?"

Elvano berdeham lemah.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau temanmu ada di sana?"

Elvano meremas tangannya, menahan gejolak emosi di dalam dadanya. "Kemarin sore, Reina memberiku secarik kertas. Entah bagaimana dia bisa tahu kalau kejadian ini akan terjadi. Dan, waktu kejadiannya tepat seperti yang ditulisnya, bahkan jamnya. Sial!!! Andai saja aku membacanya sore tadi, mungkin aku bisa mencegahnya." Dia menjambak rambutnya, melampiaskan frustasinya.

Leon mengulurkan tangannya menepuk pundak Elvano. "Kita sudah melakukan yang terbaik dan semua ini bukan salahmu. Jika kau membacanya lebih awal dan ikut terlibat, mungkin kalian berempat akan berakhir lebih mengenaskan dan tidak akan ada yang menemukan kalian sama sekali."

Elvano mengangkat wajahnya, menatap dinding putih yang berseberangan dengannya. Alisnya bertaut marah, dia masih bisa membayangkan wajah tanpa dosa yang ditunjukkan oleh Terio.

"Aku berharap pria bodoh itu mati."

"EL!!" Amarta berlari tergesa-gesa, tepat di belakangnya Galang yang ikut berlari. Mereka mendapat kabar dari rekan Tara yang mengatakan Reina dan teman-temannya ada di rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Galang mengendarai sepedanya dengan terburu-buru. Sedangkan, Amarta harus berlari.

Elvano berdiri menyambutnya. "Bagaimana bisa kalian ada di sini?"

"Kau baik-baik saja?!" Amarta memegang pundak Elvano, memastikan kondisi temannya yang sudah belepotan dengan darah.

"Di mana yang lain, El?" Galang menyahut.

Pundak Elvano kembali turun. Dia pun kembali terduduk lesu. "Mereka masih di dalam."

ASTAKONA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang