Bab 23

177 18 0
                                    

"Tadi itu kau hebat, Ta. Sepertinya kau tidak perlu les lagi karena nilaimu sudah pasti tinggi. Kenapa kau tiba-tiba ikut les padahal nilaimu baik-baik saja?" Galang menuntun sepedanya mensejajari langkah Amarta. Beberapa menit yang lalu mereka baru keluar dari tempat les mereka.

Amarta tertawa. "Benarkah? Sebenarnya aku juga tidak yakin mau ikut les atau tidak. Tapi, sejak pertengkaran kita sore waktu itu, aku selalu kepikiran jika sendirian. Jadi, aku pikir sebaiknya aku berkumpul dengan orang-orang agar tidak kepikiran lagi." Dia berjalan pelan, sembari menatap sepatu sekolahnya. Dia memiliki beban pikiran yang seakan menumpuk ketika dia sendirian. Memikirkan ini-itu yang akhirnya membuatnya susah tidur.

Galang menuntun sepedanya lebih pelan, mengimbangi Amarta yang juga pelan. "Sebenarnya, Ta. Waktu itu, aku melihat sesuatu yang harusnya tidak aku lihat."

"Tentang apa?" Sembari berjalan, Amarta menatap Galang di sebelahnya.

"Ini tentang Terio. Kau tahu bangunan tua di belakang akademi kita?"

Amarta mengangguk sebagai jawaban.

Galang menghentikan sepedanya, menatap jalan temaram di depannya. "Aku melihatnya masuk ke dalam sana. Dia bersama seseorang. Tapi, setelah itu dia keluar sendirian."

"Kau serius?!" Amarta memekik. Mengulang kalimat Galang berulang kali di kepalanya. Dia ikut berhenti, menatap tidak percaya teman sekelasnya.

Galang mengangguk. "Ini sangat menggangguku. Kenapa dia keluar sendirian? Ta, bagaimana jika orang yang selama ini kita anggap sebagai pelindung tapi malah dialah yang paling menakutkan? Bagaimana jika dia sebenarnya adalah pelaku yang menghilangkan orang tua kita? Dia mengaku saksi karena dia sendiri adalah pelakunya. Jika memang benar, jadi selama ini kita membela pelaku. Dia berada di dekat kita agar dia bisa memantau kita dan menghilangkan apa yang kita temukan jika itu mengarah padanya."

Amarta mendengarnya dengan seksama. Dia tidak bisa menutupi kemungkinan penjelasan Galang benar-benar terjadi. Alasan kenapa Terio tiba-tiba muncul tepat ketika bukti baru itu ditemukan. "Kalau begitu, saat pembahasan tentang Terio pertama kali dengan Reina, dia sudah menyadari kalau Teriolah pelakunya. Lalu, saat Uki memintanya keluar dari Astakona, Reina mulai menyelidiki tentang Terio. Karena jika bersama kita, kita akan terus membela Terio bagaimana pun kemungkinan buruknya?"

"Ya, seperti itu. Sejak berpikir seperti itu, aku merasa bersalah pada Reina. Kita yang harusnya tahu lebih awal, malah menolak dengan apa yang harusnya memang terjadi," lirih Galang. Dia menatap setir sepedanya sesekali menghela napas.

Amarta mengulurkan tangannya, menepuk pundak Galang. "Bagaimana jika besok kita temui Reina dan kita bicarakan semua ini. Masa penangguhannya tinggal beberapa hari lagi, kan? Jika dia bisa mengungkapkan semuanya, hukumannya tidak akan sampai padanya."

Galang hanya bisa mengangguk. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Kau berani pulang sendiri?"

"Selama ini aku juga pulang sendiri kok. Sampai ketemu besok." Amarta melambaikan tangannya, mengiringi kepergian Galang yang sudah mengendarai sepedanya. Diam beberapa saat, Amarta pun berbalik dan mulai berjalan menuju rumahnya. Jam tangan di pergelangan tangan kanannya menunjukkan pukul sembilan lebih. Les hari ini memakan waktu lama.

Malam yang cukup panjang seperti biasanya, namun suasana sepi di sekitarnya terasa berbeda dari sebelumnya. Tidak ada orang yang duduk-duduk di teras rumah atau berjalan di sekitarnya. Gang yang dia lewati harusnya ramai orang yang pulang dari kerja. Tapi, malam ini Amarta sendirian dengan lampu jalan dan lampu rumah-rumah yang menyala dengan terang.

Aneh. Amarta memelankan kakinya, merasa was-was dengan sekitarnya. Apa yang dirasakannya kini benar-benar menjadi kenyataan. Lima orang berjubah hitam menghadang jalannya. Amarta pun berhenti, menoleh ke sana-sini namun tidak ada siapapun di sekitarnya.

ASTAKONA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang