Bab 22

178 16 0
                                    

Matahari semakin bergerak naik. Sinarnya mulai menyorot setiap tempat yang gelap. Suhu udara pun mulai meningkat, namun tidak menghentikan aktivitas warga. Seperti biasa, Kota Arcent selalu ramai dengan kendaraan umum. Lalu-lalang mengantar penumpang. Trotoar jalan pun tak kalah ramai dengan pejalan kaki. Tak kalah ramai dari jalanan, bahkan warung-warung makan pun sudah mulai penuh dengan pembeli.

Di salah satu jalanan perumahan, Reina dengan gaun kesukaannya perpaduan merah dan hitam. Sesekali bersenandung pelan, dia berjalan dengan santai menyusuri jalan. Sengaja mencari jalan yang tidak terlalu panas untuk dilewati dan menghindari jalan raya. Dia baru saja pulang dari tempat tujuannya dan sekarang tinggal pulang ke rumah.

"Hei, tunggu!!"

Mendengar suara berat seseorang, langkah Reina seketika terhenti. Dengan santai, dia berbalik, menghadap laki-laki dewasa dengan tongkat di tangan kanannya untuk menopang tubuhnya.

"Hai, Terio. Kau ada perlu denganku?" Reina bertanya dengan ramah.

"Dari mana?" Terio berhenti dan menjaga jarak dengan Reina. Dia masih bisa mempertahankan keramah-tamahannya di depan orang yang mendatangkan mimpi buruk baginya.

"Kantor pos. Kenapa?" Reina balas bertanya.

Terio mengangguk-anggukkan kepalanya, menatap sekelilingnya kemudian mendongak menatap ranting pohon tidak jauh dari mereka. "Apa kau tahu ada seseorang yang berkeliaran di sekitar akademi semalam?"

Dengan polos, Reina menggeleng. "Bukankah harusnya kau bertanya ke warga sekitar? Rumahku tidak berada dekat dengan akademi. Kenapa bertanya padaku?"

Terio kembali menatap Reina kemudian terkekeh. "Kau benar, tapi semua orang sudah tidur di tengah malam. Jadi, aku bertanya pada orang di luar lingkup akademi. Kau tidak tahu apapun?"

Sekali lagi Reina menggeleng. "Haruskah aku membantumu?"

"Tidak perlu. Karena aku sudah menemukannya." Tatapan hangat berubah menjadi tatapan mengerikan. Dan tangan kanan Terio mengacungkan tongkatnya ke arah Reina. "Reina Vidya, kaulah yang datang ke akademi malam tadi. Apa yang kau lakukan di sana, ha?"

Reina menyungging senyum miring. "Kenapa kau menuduhku? Dari mana kau tahu aku datang ke akademi?"

"Penjaga mengatakannya padaku. Memang beberapa hari terakhir, CCTV akademi rusak karena ulah 'dia', tapi masih ada penjaga malam yang melihatmu masuk ke akademi. Katakan dengan jujur, apa yang kau lakukan di akademi."

Reina mendengkus pelan, menatap lawan bicaranya yang saat ini menatapnya penuh intimidasi. "Tidak mungkin gadis yang tidak memiliki kekuatan apapun sepertiku berani masuk ke dalam akademi di malam hari. Mungkin penjaga malammu itu buta, jadi dia tidak bisa membedakan mana yang aku dan yang bukan."

Sembari mengeratkan tangannya pada tongkatnya, Terio membalas. "Omong kosong. Wajahmu itu mengingatkanku pada seseorang dan itu membuat tidurku tidak nyenyak."

Reina menarik sudut bibirnya, menatap lawan bicaranya lebih serius. "Seseorang? Siapa? Apa itu teman lamamu?"

Tidak ditanggapi dengan serius, Terio menggeram pelan. "Ini peringatan terakhirku. Katakan sejujurnya atau aku akan memaksamu mengatakannya," tegasnya.

"Aku menolak," tolak Reina. Sesaat, dia mengamati tongkat yang terarah padanya dan mendapati lubang kecil berdiameter dua centimeter dan kemungkinan memanjang sampai ke bagian tangan. "Kenapa kau tiba-tiba panik? Bertanya padaku. Menuduhku ini-itu. Apa kau sedang menyembunyikan sesuatu?"

"Pertanyaan seorang penyusup tidak perlu didengar. Harusnya kau memohon agar aku mengampunimu. Bukan malah menantangku." Terio masih senantiasa berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikit pun. Bahkan matanya terkunci pada Reina yang ada di seberangnya.

ASTAKONA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang