P R O L O G

32 6 2
                                    

Seorang gadis tengah terdiam di dalam sunyinya sebuah ruangan, ia adalah Novela Puisikita.
Tubuhnya bergetar hebat menandakan bahwa ia tengah menahan tangisannya.

Ia takut kegelapan,
ia benci kesunyian,
ia kesepian,
ia tidak suka dibentak.

Air mata yang menetes dan berjatuhan, "Aku benci sama diriku sendiri, semuanya pergi tinggalkan ku"

Satu-satunya sahabat yang Novela percaya pergi, meninggalkan ia di dalam kesendirian.

Novela hancur,
Novela tak tau arah kemana ia akan pulang,
ia benar-benar bingung sekarang.

Katanya tempat paling ternyaman adalah rumah, nyatanya bangunan itu tidak bisa ia jadikan tempat pulang.

Dengan mengumpulkan keberanian, Novel melangkah kan kakinya untuk pulang, sebab matahari mulai tenggelam menampakkan cahaya berwarna oranye yang ia sukai.

"Aku berharap semuanya baik-baik saja", lirihnya yang mengharap bahwa keburuntungan berpihak padanya.

♪♪♪

Sesampainya dirumah tidak ada sapaan hangat atau semacamnya, justru tatapan pembunuhan yang ia dapatkan dari pria paruh baya, Purwapada. Ayah Novela yang sedari tadi menunggu kepulangannya.

Novela menahan nafasnya ketika berhadapan dengan ayahnya, tatapan tajam, serta kayu yang ditangan ayahnya seakan-akan siap untuk memukul dirinya.

"Ayah, Novela minta maaf", ucap Novela menundukkan kepalanya yang menahan tangisannya.

Bukan jawabannya yang Novela dapatkan justru pukulan yang ia dapatkan.

Bugh
Bugh
Bugh

"SAKIT AYAH", teriak Novela kesakitan, tidak ada yang mampu menghentikan ayahnya sebelum ayahnya puas melampiaskan amarahnya.

"Punggung Kak Ela keluar darah, Yah"

"Ayah stop"

"Kasihan Kak Ela, Yah" ucap adik-adiknya Novela yaitu, Sagara Biru dan Nawala Aksara dari pintu, tidak ada yang berani mendekat. Karena percuma saja, ayahnya tidak akan menghentikan perbuatan yang sedang dilakukan justru akan menambah amarah.

Dengan nafas memburu Purwapada, benar-benar meluapkan amarahnya kepada anak perempuannya.

"Asal kamu tau, saya mengeluarkan uang untuk kamu sekolah. Tapi, kamu malah seenaknya. Dari mana kamu, anak gadis baru pulang, dasar anak tidak berguna", ucap Purwapada pergi meninggalkan Novela dan membuang sembarangan kayu yang digunakan untuk memukul Novela.

Sebelum memasuki rumah, Purwapada menatap Sagara dan Nawala lalu menarik tangan mereka, "Ayok masuk, biarkan dia di sana. Dia tidak akan mati semudah itu".

Nawala yang tidak bisa menentang Purwapada, hanya bisa menuruti keinginan ayahnya.

"Ayah, aku tutup pintunya dulu ya", tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, Sagara berbalik untuk menghampiri kakaknya.

Sagara berjongkok di hadapan Novela "Maafin Saga dan Nawala, Kak. Kami tidak bisa bantu Kak Ela", ucap Sagara sembari memberikan handuk kelas Novela.

Tangisan Novela dapat Sagara dengar, tanpa sadar air mata Sagara pun perlahan jatuh membasahi pipinya.

Sagara berdiri untuk segara kembali takut ayahnya curiga jika dirinya terlalu lama "Kak Ela masuk lewat pintu belakang ya, Kak. Nanti Saga bukain pintu belakang" setelah mengucapkan itu ia meninggalkan Novela sendirian.

Novela masih terdiam tidak bergerak sedikitpun, rasanya sakit sekali jika ia menggerakkan tubuhnya. Pukulan Purwapada benar-benar keras, ia tidak tahu mengapa ayahnya begitu membencinya, apa salahnya?. Mungkin begitu pertanyaan yang ada dalam benak Novela tetapi ia mampu untuk menanyakannya.

"Bunda, kemana bunda pergi. Sakit, Bun", lirih Novela.

Tetesan air hujan mulai turun, mulai membasah tanah serta tubuh Novela. Perih yang Novela rasakan pada tubuhnya tak sebanding dengan perih dihatinya yang dibenci oleh Purwapada, tanpa ia ketahui apa alasan dan sebab ayahnya membencinya dirinya.

Air hujan menemani Novela, seakan-akan hujan mengetahui keadaan Novela yang tidak baik-baik saja.

Tangisan air hujan meredamkan tangisan Novela yang tak kunjung berhenti.

Novela berusaha berdiri dan pergi menuju pintu belakang untuk masuk. Dirinya benar-benar lelah, ia ingin cepat tidur, dan ia berharap agar esok ia tidak bangun dari tidurnya. Karena menurut tidur lebih menyenangkan dari pada menjalani hari yang melelahkan.

Tanpa disadari, sedari awal ada seseorang yang melihat kejadian tersebut. Ia diam saja sembari menatap Novela dengan pandangan yang sulit diartikan.

LUKA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang