Purwapada kini tengah menatap anaknya dengan tatapan tajam, sejak setengah jam yang lalu Purwapada datang sebab dihubungi oleh Kepala Sekolah.
Begitu pula dengan ibunya Laras, menatap Novela sinis.
"Pokoknya saya tidak mau tau, dia harus dapat hukuman", ujar Sinta, Ibu dari Laras sambil menunjuk Novela.
Laras yang sedari tadi diam pun kini mengeluarkan suara "Aku enggak salah, Ma", ucapnya menatap sekelilingnya, tatapannya tertuju pada Novela, tatapan benci yang Laras unjukkan pada Novela.
Novela hanya bisa menundukkan kepalanya, rasanya percuma saja jika dia mengeluarkan suara. Bagaikan kaset rusak, ucapannya tidak akan didengar oleh siapapun.
Ucapannya yang merupakan fakta, tetap saja kalah dengan omongan Laras yang kebohongan. Laras yang salah, mengapa dirinya yang disudutkan terlebih tatapan ayahnya yang begitu menahan emosinya membuatnya lebih memilih diam
Jikapun ia mengeluarkan suara, bukannya meredamkan suasana justru akan membuat suaranya semakin rumit.
"Ayah. Tolong percaya sama Novela, Yah", lirih Novela, dirinya berusaha untuk tidak menangis, bukan-bukan menangis karena lemah. Tetapi rasa kekecewaan yang ada dalam dirinya, kecewa karena ia tidak bisa mengeluarkan suara, untuk mengungkapkan kebenaran.
Novela memberanikan diri mengangkat kepalanya, pandangan pertama yang ia lihat adalah tatapan ayahnya yang seperti akan membunuhnya, "Aku gak boleh takut, kalau aku takut ayah akan mengira aku yang salah" batinnya lantas ia pun menatap mata ayahnya, dan memandang sekitarnya.
"Permisi" ucap seorang siswi memasuki ruang panitia tersebut.
"Iya, Alenia. Ada apa kamu kesini?" tanya Bu Cika yang sedari diam, mengapiri Aliena
Alenia menatap Novela lalu tersenyum, "Saya minta ijin untuk menjadi saksi, boleh?" ucap Aliena tenang
Kepala sekolah menimang-nimang keinginan Aliena, kemudian menganggukkan kepalanya tanda menyetujui.
"Baik. Ijinkan saya Alenia Pertama, untuk berbicara. Sebelumnya saya minta maaf jika nanti terdapat kata-kata yang kurang mengenakkan" tutur Alenia
"Saya melihat dengan jelas, bagaimana Laras melihat jawaban Novela. Bukan saya membela Novela atau membela siapapun. Saya berada disini hanya ingin meluruskan kesalahan ini saja" lanjut Alenia
Ibu Sinta terkejut atas perkataan Alenia, bukannya sadar akan kesalahan anaknya. Ibu Sinta memarahi dan membentak Alenia, "Maksud kamu anak saya yang salah disini, jelas-jelas yang salah itu dia", bentak Ibu Sinta sembari menunjuk Novela
"Jika anda masih tidak percaya dengan ucapan saya, dan yang lainnya juga. Sekolahan ini mempunyai CCTV silahkan cek saja diruangan ujian", jelas Alenia masih berusaha sopan. Jujur saja Alenia kesal dengan Ibu Sinta yang tidak bisa mengerti.
"Terimakasih Alenia, panitia sedang mengecek CCTV diruang ujian kalian" ucap Kepala Sekolah
Ayah Novela sedari tadi diam, sibuk dengan handphonenya, Purwapada seperti tidak peduli dengan masalah yang anaknya rasakan.
"Maaf, apakah anda ayah dari Novela?" , tanya Alenia menatap Purwapada.
Novela menunggunakan jawaban ayahnya, ia berharap ayahnya mengakui bahwa dirinya adalah anak ayahnya.
"Bukan", ucap Purwapada singkat, sembari melirik Novela yang ternyata masih menunduk. Lirikan yang hanya sebentar saja dan mungkin tidak ada yang menyadari. Namun Alenia melihat dengan jelas.
"Peduli namun tertutupi oleh ego yang tinggi" pikir Alenia.
Jujur saja sakit yang Novela rasakan begitu menyakitkan, jauh dari harapannya. Ayahnya tidak mengatakan bahwa Novela adalah anaknya. Novela ingin berteriak mengatakan sesuatu yang ia pendam dalam hati.
"Memangnya siapa lagi kalau saya bukan orang tua Novela. Saya tidak akan meluangkan waktu untuk berada disini, sebenarnya pekerjaan saya lebih penting" ucap Purwapada.
Novela tersenyum, sebenarnya ia cukup sedih akan perkataan ayahnya tetapi ayahnya masih menganggapnya ada. Itu sudah lebih cukup.
"Terimakasih ayah", ucapnya pelan sembari tersenyum menatap ayahnya. Walau ayahnya tidak menanggapinya tetapi ia senang sekarang.
Panitia pun datang, Novela tersenyum. Ia yakini dirinya tidak salah.
"Saya sudah melihat rekaman CCTV, dan terlihat bahwa Laras berusaha mencontek Novela, lalu Novela menyadarkan dan ia menegur Laras", jelas panitia sambil menunjuk rekaman CCTV yang berada di handphone panitia.
"Sudah jelaskan sekarang permasalahannya? yang salah Laras bukan Novela" ucap Alenia.
"Terimakasih nak Alenia, maafkan kami untuk Pak Purwapada telah menganggu waktu anda" ucap Kepala Sekolah.
"Iya, memang menganggu sebenarnya, Pak. Kalau begitu saya permisif harus kembali ke kantor" katanya lantas pergi meninggalkan ruang Kepala Sekolah.
"Untuk Novela maaf tadi kami menuduh yang tidak-tidak kapadamu" ucap Pak Kepala Sekolah yang dibalas senyuman oleh Novela.
"Dan Laras, nilai ujian kamu nol. Untuk mata pelajaran hari ini, masalah selesai silahkan kalian meninggalkan ruangan ini" lanjut Pak Kepala Sekolah
"LARAS KAMU MEMALUKAN", bentak Ibu Sinta kepada Laras yang sedang menangis.
Ibu Sinta pergi dengan menarik Laras yang masih menangis.
"Kalau begitu kami permisi, Pak" ucap Alenia sembari menarik tangan Novela untuk pergi meninggalkan ruang panitia.
"Ayok ke ruang ujian, Novela", ajak Alenia kepada Novela.
Novela menatap Alenia, "Makasih, Al. Udan bantuin aku tadi" ucapnya.
"Iya, tapi enggak gratis gitu aja Novela" kata Alenia yang terus berjalan sehingga meninggalkan Novela yang berhenti.
Novela tersadar bahwa dirinya ditinggal oleh Alenia, kemudian menyusul, menyeimbangkan langkah Alenia, "Kamu ingin apa, Alenia?", tanya Novela.
Alenia menghentikan langkahnya, begitu pula dengan Novela. "Rangking satu paralel, aku ingin itu. Bukannya sudah cukup tahun-tahun sebelumnya kamu yang selalu rangking satu, Novela", ucap Alenia. "Tidak bisa ya?, percuma dong aku bilang hahaha" lanjutnya lalu melanjutkan langkahnya yang sempatkan terhenti.
Novela terdiam, ia tidak menjawab apapun. Diringkas benar-benar bingung. Merelakan rangking yang ia pertahankan untuk Alenia, atau tetap mempertahankan rangkingnya.
Jika rangking Novela turun pasti ayahnya akan memarahinya dan memberi hukuman kepada Novela
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA (SUDAH TERBIT)
RandomBerawal dari perbandingan dan dirinya harus dituntut menjadi sempurna oleh orang tuanya, agar bisa menjadi kakak yang baik bagi adik-adiknya. Dia tidak terlalu berharap di sekolah SMA yang bukan impiannya, ia terpaksa masuk ke SMA pilihan orang tuan...