2 (2³-2)

3 3 0
                                    

Langit gelap, air hujan yang turun membasahi bumi dengan deras. Nawala terduduk dekat jendela di dalam kamarnya. Nawala terus menatap jalanan berharap kakaknya, Novela cepat pulang.

Bohong jika Nawala tidak peduli dengan Novela, senarnya Nawala sangat peduli dengan Novela, hanya saja rasa pedulinya tertutupi oleh benci kepada kakaknya.

Nawala benci dengan Novela, Nawala benci dengan ayahnya. Novela juga benci dengan Sagara yang selalu membela Novela, selalu memberikan perhatian kepada kakak perempuannya itu, Novela. Nawala juga ingin di perhatikan oleh Sagara. Nawala iri dengan Novela.

Nawala juga tau bahwa Novela bukan kakak kandungnya,  Nawala tau rahasia yang ayah dan bundanya sembunyikan.

"Bun, semenjak bunda pergi semuanya berubah. Ayah berubah, Kak Sagara juga jadi gak peduli lagi sama Nawala. Dan Nawala juga tau, kalau Kak Novela bukan kakak kandung aku kan, Bun"  ucap Nawala masih menatap jalanan yang ada di depan rumahnya. Kamar Nawala terletak dilantai dua, dan langsung menghadap ke jalanan.

Flashback

"Ayah, yah. lihat ini, Nawala juara satu Panahan loh, keren kan yah" ujar Nawala dengan ceria, Nawala tampak bersemangat menunjukkan bahwa dirinya memenangkan perlombaan panahan itu.

"Lebih hebat kakak-kakak kamu, Sagara juara satu Olimpiade Sains Nasional mata pelajaran IPA, sedangkan Novela juara satu mata pelajaran Matematika" ucap Purwapada tanpa berniat memberikan apresiasi kepada Nawala.

Kemudian Purwapada menatap Nawala, "Sedangkan, hanya memenangkan perlombaan panahan?. Bagi saya yang keren itu, memenangkan perlombaan akademik bukan non-akademik seperti yang kamu banggakan ini" ucap Purwapada sembari menunjuk Piala yang ada di genggaman Nawala.

Nawala menundukkan kepalanya, tangannya terkepal. Dirinya benci dibanding-bandingkan, apa susahnya ayahnya mengapresiasi sedikit saja. Selalu saja begitu, kakaknya lebih keren, kakaknya lebih membanggakan. Padahal Nawala bisa membanggakan menurut dirinya sendiri, Nawala suka panahan, dan Nawala memenangkan perlombaan panahan dengan usahanya sendiri, hasil dirinya berlatih dari beberapa minggu yang lalu.

Nawala senang panahan, tapi ayahnya selalu saja melihat nilai pelajaran Nawala, daripada prestasi yang Nawala raih dari hal yang Nawala suka.

Bagi Nawala, pelajaran di sekolah membuatnya pusing, membosankan, Nawala lebih suka panahan.

Nawala hanya menginginkan ayahnya melihat hasil perjuangannya, namun ayahnya selalu melihat tanpa melihat proses dan selalu saja protes.

flashback end.

Nawala mencoba untuk menelfon Novela, panggilan telefon tersebut berdering, namun sepertinya Novela tidak berniat mengangkat panggilan dari Nawala.

Nawala tau pasti kakaknya sedang hujan-hujanan, karena Nawala yakin Novela pasti bermain air hujan dengan menangis. Itu adalah kebiasaan Novela jika hujan turun membasahi bumi.

Nawala sebenarnya kasihan dengan kakaknya yang selalu dituntut oleh ayah mereka, agar nilainya selalu sempurna sesuai keinginan ayah. Namun, Nawala terlanjur kecewa dengan ayahnya yang selalu membandingkan dengan kakak-kakaknya, usaha Nawala juga tidak dihargai oleh ayahnya.

Dulu, saat bundanya masih ada. Ayah tidak seperti ini, ayah selalu menghargai mengapresiasi usaha anak-anaknya. Nawala selalu berharap semoga ayahnya dapat berubah seperti dulu, sebelum Bundanya pergi untuk selamanya.

Nawala berharap semoga ayahnya dapat mengerti. Bahwa yang kehilangan bunda bukan hanya ayahnya saja, tetapi anak-anaknya juga kehilangan sosok bunda yang selalu ada. Dan bukan hanya ayahnya saja yang terpuruk karena kehilangan bunda, tapi Nawala, Sagara, dan Novela juga.

Nawala paham, ayahnya belum bisa mengikhlaskan kepergian bunda, walau sudah bertahun-tahun lamanya bunda pergi.

Saat Nawala melamun terdengar pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok Sagara yang sedang khawatir.

"Kak, El kenapa belum pulang ya?" ujar Sagara memasuki kamar Nawala.

"Ya enggak taulah, kan aku disini" ucap Nawala. Sagara berdecak, susah jika ngobrol bersama Nawala pengen nonjok mukanya.

Nawala dan Sagara terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga terdengar keributan di bawah. Mereka saling menatap, lalu langsung berlari menuju ruang keluarga.

♪♪♪

Sesampainya dirumah tidak ada sapaan hangat atau semacamnya, justru tatapan pembunuhan yang Novela dapatkan dari pria paruh baya, Purwapada. Ayah Novela yang sedari tadi menunggu kepulangannya.

Novela menahan nafasnya ketika berhadapan dengan ayahnya, tatapan tajam, serta kayu yang ditangan ayahnya seakan-akan siap untuk memukul dirinya.

"Ayah, Novela minta maaf", ucap Novela menundukkan kepalanya yang menahan tangisannya.

Bukan jawabannya yang Novela dapatkan justru pukulan yang ia dapatkan.

Bugh
Bugh
Bugh

"SAKIT AYAH", teriak Novela kesakitan, tidak ada yang mampu menghentikan ayahnya sebelum ayahnya puas melampiaskan amarahnya.

"Punggung Kak Ela keluar darah, Yah"

"Ayah stop"

"Kasihan Kak Ela, Yah" ucap adik-adiknya Novela yaitu, Sagara Biru dan Nawala Aksara dari pintu, tidak ada yang berani mendekat. Karena percuma saja, ayahnya tidak akan menghentikan perbuatan yang sedang dilakukan justru akan menambah amarah.

Dengan nafas memburu Purwapada, benar-benar meluapkan amarahnya kepada anak perempuannya.

"Asal kamu tau, saya mengeluarkan uang untuk kamu sekolah. Tapi, kamu malah seenaknya. Dari mana kamu, anak gadis baru pulang, dasar anak tidak berguna", ucap Purwapada pergi meninggalkan Novela dan membuang sembarangan kayu yang digunakan untuk memukul Novela.

"Seharusnya kamu bersyukur, karena sudah saya rawat kamu. Saya benci sama kamu, kamu yang membuat istri saya meninggalkan, kamu juga bukan anak saya" , lanjut Purwapada dengan amarah yang membara.

Sebelum memasuki rumah, Purwapada menatap Sagara dan Nawala lalu menarik tangan mereka, "Ayok masuk, biarkan dia di sana. Dia tidak akan mati semudah itu".

Nawala yang tidak bisa menentang Purwapada, hanya bisa menuruti keinginan ayahnya.

"Ayah, aku tutup pintunya dulu ya", tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, Sagara berbalik untuk menghampiri kakaknya.

Sagara berjongkok di hadapan Novela "Maafin Saga dan Nawala, Kak. Kami tidak bisa bantu Kak Ela", ucap Sagara sembari memberikan handuk kelas Novela.

Tangisan Novela dapat Sagara dengar, tanpa sadar air mata Sagara pun perlahan jatuh membasahi pipinya.

Sagara berdiri untuk segara kembali takut ayahnya curiga jika dirinya terlalu lama "Kak Ela masuk lewat pintu belakang ya, Kak. Nanti Saga bukain pintu belakang" setelah mengucapkan itu ia meninggalkan Novela sendirian.

Novela masih terdiam tidak bergerak sedikitpun, rasanya sakit sekali jika ia menggerakkan tubuhnya. Pukulan Purwapada benar-benar keras. Selain itu sesak sekali rasanya ketika mendengar ucapan ayahnya, bahwa Novela bukan anak kandung ayahnya, Purwapada.

"Bunda, kenapa bunda pergi. Sakit, Bun", lirih Novela.

Tetesan air hujan mulai turun, mulai membasah tanah serta tubuh Novela. Perih yang Novela rasakan pada tubuhnya tak sebanding dengan perih dihatinya yang dibenci oleh Purwapada, yang sekarang Novela tahu alasan dan sebab ayahnya membencinya dirinya.

Air hujan menemani Novela, seakan-akan hujan mengetahui keadaan Novela yang tidak baik-baik saja.

Tangisan air hujan meredamkan tangisan Novela yang tak kunjung berhenti.

Novela berusaha berdiri dan pergi menuju pintu belakang untuk masuk. Dirinya benar-benar lelah, ia ingin cepat tidur, dan ia berharap agar esok ia tidak bangun dari tidurnya. Karena menurut tidur lebih menyenangkan dari pada menjalani hari yang melelahkan.

Tanpa disadari, sedari awal ada seseorang yang melihat kejadian tersebut. Ia diam saja sembari menatap Novela dengan pandangan yang sulit diartikan, dengan ponsel yang merekam kejadian yang tadi ia lihat itu. Senyum liciknya terbit begitu saja.


LUKA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang