√49

3 3 0
                                    

Novela tersenyum menatap kertas yang ada ditangannya, hasil ujiannya telah keluar.
Kini ditangannya berupa kertas yang berisi nilai ujian Novela, semuanya tuntas dengan nilai yang memuaskan sebab Novela mendapatkan peringkat pertama paralel.

"Assalamu'alaikum" ucapnya memasuki rumahnya.

Ia dapat melihat adik-adiknya sedang duduk di sofa sembari menonton televisi, "Waalaikumusalam" jawab Sagara dan Nawala bersamaan.

"Wah, apa itu yang ada di tangan, Kak Ela" tanya Sagara sambil ingin meraih kertas yang berada ditangan Novela.

Nawala yang tadinya sedang fokus menonton televisi pun, sekarang berdiri dan berjalan menuju Novela, namun Nawala hanya diam saja, tidak seperti Sagara yang banyak tanya. Mungkin Nawala belum terbiasa, sebab sedari kecil Nawala sering tinggal dirumah neneknya.

"Nanti kakak kasih tau" ucap Novela menyimpan kertas ditasnya, Sagara pun menunjukkan ekspresi kesalnya.

"Kak, lapar", kata Nawala membuat Novela langsungnya tersadar bahwa adik-adiknya sedang menahan lapar dan menunggu dirinya pulang.

"Kakak masak dulu ya, kalian tunggu sambil nonton televisi aja", ucap Novela kemudia segera menuju dapur tanpa mengganti seragam sekolahnya terlebih dahulu.

"Kak El, aku bantu ya", teriak Sagara, kemudian mengampiri kakaknya.

"Enggak, kamu duduk aja, Sagara" , ucap Novela menyuruh Sagara untuk tidak membantunya.

♪♪♪

Di ruang keluarga, Nawala masih terdiam dia tidak bergerak sedikitpun, tawa canda antara kakak-kakaknya terdengar jelas ditelinganya, dirinya juga ingin. Ingin merasakan bercanda bersama bersama keluarga yang ia punya.

Disaat Nawala melamun tiba-tiba ada yang menepuk pelan pundaknya, "Nawala, kenapa disini?" ucap Purwapada, Ayahnya.

"Enggak ayah."

Novela menghampiri Nawala, "Nawala ayok makan udah selesai kakak masaknya" ajak Novela pada Nawala. "Eh ayah, ayok kita makan, Yah. Novela udah masak enak", lanjutnya

Mereka bersamaan pergi menuju meja makan, yang sudah berisi berbagai macam masakan yang ada.  Setelah duduk ditempat masing-masing dan berdoa, mereka menikmati makanan tersebut.

"Ayah, aku mau tunjukkan sesuatu sama ayah" ujar Novela lalu berdiri, hendak mencari tasnya yang lupa ia taro dimana.

"Berhenti. Selesaikan dulu makananmu" ucap Purwapada tegas.

Novela duduk kembali, melanjutkan makannya, "Iya, Yah" lirih Novela

Mereka melanjutkan makannya dengan tenang, setelah selesai pun Novela berbicara, melanjutkan yang ia inginkan bicarakan namun tertunda.

"Hasil ujiannya udah ada, Yah", ucap Novela tersenyum manis.

"Saya sudah tau, Nilaimu masih kurang mendekati sempurna", ujar Purwapada tanpa menatap Novela.

"Ayah tapi aku peringkat satu paralel" ujar Novela memohon

"Saya tidak peduli "

"Ingat,  saya akan tetap mendaftarkan kamu kesekeolha. itu" ujar Purwapada yang telah menyelesaikan makanannya.

"Kalau aku enggak mau?" tanya Novela.

Purwapada menatap Novela tajam, "Enggak usah sekolah" ucap ayah Novela menyakitkan.

♪♪♪♪

Di lain tempat, terdapat seorang gadis yang tengah berjalan dengan pelan. Tatapan wajahnya yang menampilkan ketakutan, tubuhnya bergetar hebat menandakan ketakutan yang begitu dahsyat yang ia rasakan.

Ia takut, bahwa orang tuanya akan mengira dirinya tidak mampu untuk dibanggakan.

Ia takut orang tuanya akan menghukumnya, hukuman yang paling menakutka, yaitu dihukum didalam ruangan gelap gulita yang pengap dan lembab dirinya benar-benar takut.

Gadis tersebut, Alenia Pertama. Ia berjongkok menelengkupkan kepalanya. Ia benar-benar frustasi.

Bahkan dengan gilanya, dia meminta Novela untuk mengalah supaya dirinya tidak dihukum oleh orang tuanya.

"Aku takut pulang, tapi kalau gak pulang  Aku bakalan kemana lagi? ucap Alenia disela-sela tangisannya.

Dirinya berdiri, lantas melanjutkan jalannya. Ia terus berjalan tampa tujuan yang jelas. Hingga akhirnya dihadapannya ialah rumah Alenia.

Rumah yang terkesan mewah, dan megah, namun tidak ada kehangatannya di dalamnya.

"Maa.. Paa.. Aku rindu kalian yang dulu", ucap Alenia. Sebelum mama dan papanya menjadi sukses, dulu keluarga mereka sangatlah sederhana. Tetapi sekarang mereka punya banyak uang, tetapi sedikit waktu luang. Benar-benar harta merubah segalanya.

Alenia ingin sekali kecewa, tetapi orang tuanya bekerja juga untuk dirinya, tetapi ia masih membutuhkan waktu serta kasih sayang orang tua, yang ia selaku inginkan daripada barang-barang mewah, dan bermerek.

Alenia menghampiri satpam yang bertugas didepan gerbang rumahnya, "Pak, Alenia mau masuk, bisa pak?" tanya Novela.

"Maaf, Non Al. Tapi nyonya sama tuan tidak mengijinkan saya untuk membuka pintu gerbang. Katanya Non Alenia bebas pergi kemana saja, dan dilarang pulang selama 3 hari kedepan. Itu hukuman, Non Alenia" , jelas pak satpam.

"Oke paa" , tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Alenia pergi tanpa tujuan yang jelas, ia teringat dengan teman-temannya, ya mungkin hanya dirinya yang menganggap teman-temannya adalah teman, entah dengan mereka disana.

Alenia  mulai menghubungi satu persatu temannya, namun tidak ada yang mengangkat panggilan telefon dari Alenia.

Alenia benar-benar bingung, bisa keluar bebas tetapi tidak punya tujuan yang jelas.

Sedangkan dirumah, bagaikan terkurung tidak dapat bergerak bebas, harus mengikuti aturan dan peraturan.

Sungguh melelahkan, bolehkah Alenia memilih untuk menyerah saja pada dunia?

"Alenia cape"

"Alenia kangen mama dan papa yang dulu"

"Mama dan papa yang sekarang beda banget"

"Papa sekarang sering hukum aku, dan pukul aku. Dulu papa jaga aku, lindungi aku", ucap Alenia sembari menatap matahari yang mulai tenggelam manampakan cahaya oranye.

"Kalau mau sedih itu jangan dijalan, sekalian aja dikuburan. Biar bisa nangis bareng sama mba kun" ujar seseorang yang tiba-tiba saja datang, Seloka Baita. Ia lantas menyerahkan sebungkus tisu.

"Gak lucu deh" ucap Alenia kemudian menerima tisu tersebut, ia mengusap wajahnya yang basah oleh air matanya.

Alenia menoleh kepada Seloka,"Ngapain liatin? awas naksir" kata Seloka narsi.

"Astagfirullah, percaya dirimu tinggi sekali ", ucap Alenia kemudian melempar Seloka dengan tisu tadi

"Iya, tinggi tinggi sekali" ujar Seloka dengan nada lagu.

"Hahaha" tawa keduanya terdengar jelas, ditemani oleh senja sore yang begitu indah.

Alenia bersyukur karena Seloka datang disaat dia membutuhkan canda Seloka, dan seharusnya Alenia tertawa memang seharusnya Alenia hanya tertawa bukan justru suka.



LUKA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang