Langit menampakkan sang Surya, yang menyambut hari. Kicauan burung serta kepadatan lalu lintas banyak orang-orang berpergian untuk menuju ketempat yang mereka inginkan.
Begitupun dengan Novela yang sedang terburu-buru, ia hampir terlambat dirinya, semalam ia beratem dengan ayahnya, perdebatan diakhir dengan pukulan yang ia dapatkan dari ayahnya. Sejujurnya sakitnya masih membekas.
Jika boleh Novela berharap, ia berharap satu kebahagiaan saja yang dapat menghilangkan semua rasa sakit yang ada ditubuhnya, walau hanya satu hal.
Kakinya terus melangkahkan untuk berlari, ia lebih memilih untuk berlari dari pada menunggunakan angkutan umum, menurutnya lebih hemat dan ia dapat menyimpan uangnya untuk kebutuhan yang lainnya. Ia memang mendapatkan uang dari ayahnya tetapi tidak dengan kasih sayang ayahnya.
Nafasnya memburu, dari rumah sampai sekolah membutuhkan waktu 15 menit jika menggunakan kendaraan, tetapi ini berlari kurang lebih 50 menit untuk berlari benar-benar melelahkan.
"Aduh, capek sekali", keluh Novela sambil mengelap peluh di dahinya.
Novela sampai didepan gerbang sekolahnya yang ternyata hendak ditutup oleh satpam.
Dengan sekuat tenaga mengeluarkan semua tenaganya, dia berhasil melewati gerbang yang hendak ditutup oleh satpam walau celah sedikit.
"Neng Ela kebiasaan deh, berangkat mepet sama bapak tutup gerbang", ucap satpam tersebut, Naryo. Yang kerap dipanggil Pak Yo oleh Novela.
Novela tersenyum menunjukkan deretan giginya, "Hehe. Iya kesiangan lagi ini, Pak Yo", kata Novela.
Novela berpamitan kepada Pak Naryo untuk menuju kelasnya.
Saat di perjalanan menuju kelasnya, Novela harus melewati beberapa lorong-lorong yang sepi, sebab kegiatan pembelajaran telat dimulai beberapa menit yang lalu.
Hingga untuk sampai dikelasnya, novela harus melewati satu lorong lagi. Tetapi ia justru harus berhadapan dengan seseorang yang sangat ia hindari, Walgita Asmara. Manusia yang selalu menyakiti Novela jika di sekolahan.
Novela memilih menghindari daripada dirinya habis-habisan disiksa oleh Walgita, sungguh sakit ditubuhnya karena pukulan ayahnya pun belum kering, ditambah jika Walgita melakukan kekerasan juga terdapat dirinya.
Sebelum novela melangkah untuk pergi, tangannya sudah dicekal oleh Walgita, tatapan mata Walgita seakan-akan ingin melenyapkannya.
Novela meringis, karena cekalan ditangannya begitu kuat, "Kamu mau apa si, Git. Kenapa kamu gangguin aku terus?", tanya novela sembari memberanikan diri menatap Walgita.
"Kamu tanya mau ku apa?. Aku mau kamu hancur, senang aja kalau melihat kamu nangis dan kesakitan", kata Walgita, tangan yang tadi digunakan untuk mencekal Novela, kini telah berpindah mencengkeram dagu Novela dengan keras. Dapat dilihat pula bahwa kuku panjang Walgita melukai dagu Novela.
Novela hanya bisa diam, jika melawan pun percuma. Walgita punya kekuasaan, sedang ia tak memiliki kekuasaan apapun.
Benar-benar menyediakan, di mana semuanya dapat dikalahkan dengan kekuasaan.
"Aku ada salah apa si sama kamu", dengan mengumpulkan keberaniannya Novela mengeluarkannya suara sembari menepis tangan Walgita yang ada didagunya.
Walgita mendorong Novela hingga jatuh tersungkur, Walgita menundukkan kepalanya menatap Novela dari atas, "Akupun tidak tau apa kesalahanmu, tapi yang pasti aku tidak suka kau bahagia, Novela."
Perasaan benci yang Walgita tujukan pada Novela begitu jelas dari pancaran matanya.
"Awas kalau kamu berani bilang kepada siapapun, aku akan buat hidupmu tidak tenang, Novela", ancam Walgita.
Walgita pergi meninggalkan Novela sendirian yang masih diam dan terduduk dilantai yang dingin itu. Ia masih merenungi apa kesalahan-kesalahannya. Mengapa banyak orang yang membencinya, Kenapa dunia tidak adil padanya. Apakah ia tidak pantas untuk bahagia?.
Novela bangkit dan melangkah kakinya menuju kelasnya, yang ada di lorong pojok.
♪♪♪
Kini Novela berdiri di depan pintu kelasnya, di depan sana terdapat guru paruh baya, yang sedang mengajar.
Tok tok tok
Novela mengetuk pintu yang terbuka, sehingga semua teman sekelasnya menatap dirinya, guru yang sedang mengajar itupun menghampiri Novela. Kacamata yang bertengger manis dihidungnya, dan jangan lupakan penggaris kayu yang selalu guru wanita itu bawa.
Dengan sedikit menurunkan kacamatanya, "Novela, kemana saja kamu?. Jika memang kamu tidak berminat dalam mata pelajaran yang saya ajarkan, tolong jangan mengganggu kegiatan mengajar saya", ucap guru tersebut, yang kerap dipanggil Bu Cika.
"Maafkan saya, Bu", tidak ada jawaban dari Bu Cika, teman sekelasnya pun terang-terangan menatapnya dengan sinis dan tatapan seolah-olah mengatakan bahwa Novela tidak pantas dikelas mereka.
Novela melangkah kakinya masuk, namun baru beberapa langkah. Suara Bu Cika, mengejutkannya, "Siapa yang menyuruhmu masuk kelas saya?" tanya Bu Cika, tanpa menatap Novela.
"Silahkan pergi, jangan masuk kelas saya sampai saya selesai mengajar", tanpa ingin membantah Novela pergi, meninggalkan kelasnya.
Tujuannya yaitu satu ruangan yang pasti sepi karena semua siswa-siswi sedang berada di dalam kelasnya masing-masing, Perpustakaan. Tempat yang Novela menyenangkan baginya.
Sesuai dugaannya, perpustakaan terlihat sepi. Sekarang Novela sedang duduk di salah satu meja yang disediakan. Terdapat novel yang berada digenggamanya.
Ia melihat sekitar, hingga tatapannya tertuju pada seorang siswa yang ternyata juga sedang duduk di meja pojok, dengan buku-buku tebal di hadapan siswa tersebut. Beberapa menit Novela menatap siswa tersebut, ternyata siswa itu pun menyadari keberadaan Novela, tatapan mereka saling bertubrukan, seakan-akan tidak ada hari esok untuk menatap ciptaan Sang Pencipta itu.
Sepertinya Novela mengenalkan siswa tersebut, ia sungguh terkejut siapa yang sedang ia tatap itu, Aksara.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA (SUDAH TERBIT)
RandomBerawal dari perbandingan dan dirinya harus dituntut menjadi sempurna oleh orang tuanya, agar bisa menjadi kakak yang baik bagi adik-adiknya. Dia tidak terlalu berharap di sekolah SMA yang bukan impiannya, ia terpaksa masuk ke SMA pilihan orang tuan...