Berilium

3 3 0
                                    

Makanan bersama pagi, tidak menunjukkan kehangatan sedikitpun. Suara sendok dan piring yang menjadi saksi keheningan tersebut.

Pagi yang membuat suasana itu begitu menegangkan. Novela merasa canggung, mungkin bisa dibilang lumayan sering makan bersama dengan ayah dan adiknya. Tetapi pasti akan berakhir seperti ini, keheningan dan tidak ada topik pembicaraan, jikapun ada tidak jauh-jauh dari sekolah, prestasi, dan nilai.

Sungguh Novela muak sekali,  bukanya ditanyain tentang keadaannya anaknya justru yang ditanyakan itu nilai. Yang sudah jelas nilai, itu angka yang bisa berubah, gak selamanya harus sempurna.

"Novela, kapan ujian sekolah?", tanya Purwapada.

Novela menghembuskan nafas perlahan, selalu saja begini pembicaraannya "Hari ini, Yah. Waktu itu aku udah bilang ke ayah".

"Nilai harus sempurna, dan ayah akan pantau nilai kamu" , ucap Purwapada tetap fokus pada makanannya.

"Jangan lupa keputusan Ayah waktu itu, tidak ada bantahan", lanjutnya

Novela  tidak bisa membantah, dan tidak pernah membantah keputusannya ayahnya. ia menganggukkan kepalanya, tanda bahwa iya menyetujui keputusan ayahnya.

"Kalau diaja bicara itu ngeluarin suara, bukan cuman anggukin kepala" sentak Purwapada, Novela terkejut, begitu pula dengan Sagara dan Nawala.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ayah Novela melangkah kakinya, meninggalkan maknanya yang masih tersisa banyak, "Nawala cepat, ayah tunggu di depan" teriak ayah Novela dari depan.

"Liat kak, tadi mood ayah lagi bagus. Tapi kakaknya yang suka cari masalah mulu. Kenapa kak Ela gak langsung iyain perkataan ayah aja si", ucap Nawala lalu berdiri menggendong tas ranselnya dan pergi.

Sagara terdiam jujur saja, dia lelah. Benar-benar dirinya malas sekali jika pagi-pagi harus mendengarkan perdebatan seperti ini, tapi ia paham perasaan kakaknya.

"Enggak usah dipikirin kak, mungkin ayah lagi pusing karena kerjaan jadi kebawa di rumah. Ucapan Nawala jangan dimasukin ke hati, diakan emang anaknya begitu, Kak", jelas Sagara sambil tersenyum menatap kakaknya, bagaikan setrum listrik senyum manis Sagara membuat Novela juga tersenyum.

"Iya, semangat belajarnya adiknya kakak" kata Novela sembari menjunjung tangannya yang terkepal itu, seolah-olah menunjukkan semangat.

Sagara mengacungkan jempolnya, dan tersenyum. "Sagara cepetan" teriak Nawala yang begitu keras

"Dadah, Kak Ela. Semangat" ucap Sagara lantas pergi menyusul Nawala dan ayahnya. Novela tersenyum, setelah tubuh Sagara tidak terlihat senyum Novela pun ikut menghilang.

Novela membersihkan meja makan serta mencuci peralatan makan, karena tidak ada pembantu yang membantu pekerjaan rumah, setelahnya ia akan langsungnya berangkat saja.

Sekolahan Novela dengan Sagara dan Nawala berbeda, lebih jauh sekolah Novela sebenarnya. "Ayok, semangat Novela, pasti bisa", ucap Novela pada dirinya sendiri.

Sekarang Novela sudah sampai disekolahannya, dirinya sedang duduk ditempat duduknya. Hari pertama melaksanakan ujian sekolah. Keringat dingin sedari tadi membanjirnya pelipisnya.

"Bismillahirrahmanirrahim" ucapnya sembari menatap kertas dihadapannya, ujian sekolah telah dimulai beberapa menit yang lalu.

Semuanya fokus pada kertas didepannya masing-masing begitu pula dengan Novela yang berusaha fokus dan tenang dalam mengerjakan soal-soal.

Menurut Novela jika mengerjakan terburu-buru maka resiko kesalahan besar, karena pasti akan melakukannya kecerobohan. Sebab itu Novela berusaha tenang.

"Aku enggak boleh panik, nanti yang ada aku ga fokus", ucapnya menyakinkan dirinya sendiri.

Tangan bergerak kesana kemari menulis satu persatu huruf-huruf yang sedang ditulis hingga menjadi kalimat-kalimat sebagai jawaban.

Tatapan mata yang begitu fokus pada jawaban yang Novela kerjakan, Novela yakin dia merasa sangat yakin jika jawabanku benar, karena yang semalam ia pelajari keluar semaunya.

Tanpa sadar seseorang siswi sedari tadi fokus pada Novela bukan kertasnya sendiri, seolah-olah mengikat tangan Novela bergerak kemana. Ketika Novela mengangkat sedikit lembar jawabnya ia melihat dan menyakinnya.

Novela merasa ada janggal ia pun menoleh kebelakang, dan tatapannya bertemu dengan seorang yang juga mantapnya, bukan menatap dirinya tetapi menatap selembar kertas yang Novela pegang.

Sungguh Novela kesal, sudah ketahuan menyontek tetapi dengan tidak malunya justru tetap menyontek. Dengan segera Novela menutupi jawabannya dengan tangannya, dapat Novela liat bahwa siswi tersebut menatap Novela tidak suka.

Novela melangkahkan kakinya, menuju meja pengawas. "Maaf pak tadi meja nomor 37 menyontek jawaban saya", ujar Novela

tiba-tiba saja siswi tersebut berdiri dan menjambak rambut Novela, "Kamu jadi manusia jangan nuduh ya, kalaupun aku mencontek apa masalah sama kamu" ucapnya menggebu-gebu.

"Aku enggak nuduh, kalau kamu enggak merasa mencontek seharusnya gak perlu jambak aku dong. Dan kamu gak perlu repot-repot nyamperin aku juga, jawaban kamu belum selesai, kalau mau mengumpulkan jawaban waktunya masih banyak dan kamu masih cukup waktu untuk mengisi semuanya",  kata Novela sembari menatap lawan bicaranya. Dapat Novela lihat muka merah karena emosi dan menahan malu menjadi satu.

"Stop. Silahkan kalian ikut saya kita keruang panitia", ucap salah satu panitia yang baru datang, sebab dihubungi oleh pengawas.

"Oke ayok aku enggak takut, mencontek sangat merugikan dan aku enggak terima" ucap Novela sembari tersenyum tipis

Siswi yang mencontek kepada Novela mengepakkan tangannya, tatapan benci ia tujukan kepada Novela begitu kentara.

Novela dan siswi yang ternyata bernama Laras, sekarang sedang berada diruang guru. Orang tua Novela dan Laras dipanggil untuk menentukan jalan keluarnya.

Ibunya Laras datang dengan muka khawatirnya, ia langsung menghampirinya anaknya, Laras. Kemudian mental tajam Novela, tanpa diduga ibunya Laras mendekati Novela.

Plak

Tamparan keras yang begitu memberikan pipi Novela perih dan ngilu, bekas tamparan yang begitu terlihat dengan jelas, lima jari yang begitu jelas membekas.

"Tolong, Bu. Jangan melakukan kekerasan terhadap anak, saya bisa laporkan ibu", ucap panitia.

"Mari kita dengerkan penjelasan dari Novela dan Laras nggih, Bu. Sebelumnya kita tunggu orang tua dari Novela datang", lanjutnya.

"Percuma ditunggu, paling juga orang tuanya gak akan datang. Soalnya anaknya itu gak berguna", ujar Ibunya laras pedas

Novela hanya bisa menundukkan kepalanya, ayahnya tidak mungkin akan datang. Benar kata ibunya Laras, dirinya tidak berguna.

Salahkah jika Novela melaporkan kegiatan Laras yang mencontek?

Novela tidak mau mencontekan, ia sudah berusaha untuk belajar, dengan enaknya Laras hanya mencontek. Ia tidak terima.

Tetapi mengapa kesannya bahwa yang salah disini itu Novela?.

LUKA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang