"Apa alasanku berada di dunia ini? Apakah aku berharga? Bagaimana rasanya menjadi bahagia?"
Hal-hal seperti itulah yang kupikirkan setiap hari. Entah sejak kapan hari-hariku dipenuhi kekosongan, dan malam-malamku dipenuhi tangisan. Apa pun yang kulakukan, tidak ada yang dapat membuatku bahagia.
Perasaan apa ini?
"Kenapa aku tidak merasakan kebahagiaan ketika tertawa? Kenapa hanya kesakitan yang terasa dalam hatiku? Kenapa memahami diri sendiri bisa sesulit ini? Siapa pun ... tolong aku ...."
Air mata menghujani wajahku seperti air bah, sesaat sebelum aku terlelap di pojokan kamarku. Tanpa kusadari, aku sedang berjalan di sebuah trotoar panjang.
Atau haruskah kubilang, di jalan ke sekolah.
Jalanan yang terlihat familier ini biasanya kulewati setiap pagi dari hari Senin sampai hari Jumat. Kenapa aku bisa tiba-tiba tersadar di sini? Bukankah aku baru saja berada di kamar tidurku?
Aku tidak tahu.
Dan aku tidak begitu memedulikannya.
Tempat ini tidak sebanding dengan rumahku, karena di sana, kesakitan terasa semakin kuat dalam hatiku. Yah, meskipun tempat ini tidak buruk, aku yakin semuanya tetap akan memburuk di akhir jalan ini.
Semuanya akan memburuk di sekolah.
Angin pagi sepoi-sepoi dan kehangatan matahari yang menyinariku membuatku merasa tenang, meski hanya sedikit.
Aku berjalan sampai aku tiba di sebuah perempatan, dan di bawah sebuah lampu penyeberangan, diriku menunggu lampu hijau.
Mobil berlewatan di depanku dengan terburu-buru, menggambarkan dengan jelas kesibukan semua orang yang hendak pergi bekerja pada pagi hari ini.
Memang benar bahwa di bawah lampu penyeberangan jalan pada saat itu, terdapat beberapa orang yang sedang menunggu untuk menyeberangi jalan, tapi fokusku dengan segera tertarik oleh seorang gadis berambut cokelat di sebelahku.
Aku berada pada arah yang berlawanan dengan ke mana wajah gadis itu menghadap. Akan tetapi, bahkan dari sudut ini, aku dapat melihat sebagian dari wajahnya yang begitu elok. Hawa yang mengelilinginya terasa begitu bersih. Dan dengan begitu, aku termenung, menatap keindahannya. Matanya yang seperti laut biru mencuri pandanganku tanpa ampun.
Seorang gadis yang bercahaya.
Kini kulihat pakaiannya. Sepertinya gadis itu menggunakan seragam perempuan dari sekolahku.
Seorang murid seangkatanku.
Atau mungkin, itulah impresi yang kudapat saat pertama kali melihat dirinya.
Gadis itu sedang berbicara dengan temannya yang berada tepat di sebelahnya; mereka bercanda tawa dengan riang. Senyumannya manis, begitu memesona.
Seluruh perhatianku tertawan oleh gadis itu. Sudah berapa detik berlalu tanpa pandanganku berpindah dari sosoknya?
Tidak ada yang berarti lagi ketika aku melihat gadis ini-waktu pun tidak.
Setelah beberapa saat, gadis itu akhirnya menyadari tatapanku.
Ia menghadap ke arahku, dengan tubuh bagian atasnya disodorkan sedikit ke depan, kedua tangannya dilipat ke belakang, dan kepalanya dimiringkan ke samping.
Gadis itu jauh lebih cantik dari yang kukira setelah melihatnya persis wajah ke wajah.
Ia membuka mulutnya yang kecil, dan suara yang keluar dari sana pada saat itu terdengar begitu halus, bahkan kain sutra tidak bisa dibandingkan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor Series
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari, mimpimu menjadi kenyataan? Bukan impian dalam hatimu, tapi mimpi saat kau tidur. Itulah yang terjadi kepada David, seorang anak SMA biasa dengan sebuah trauma dari masa lalunya yang membuatnya merasa takut untuk berteman...