Cerita ini sudah mencapai akhirnya. Sekarang adalah saatnya membuka lembaran yang baru.
Atau, mungkin kasusnya tidak sepenuhnya begitu. Masih ada beberapa hal yang harus kuutarakan, beberapa hal yang belum kujelaskan.
Ini bukan epilognya, omong-omong.
Kembali ke momen saat kami berempat sedang berjalan pulang dari sekolah. Atau, daripada "kembali", bukankah lebih cocok untuk menggunakan kata "kemudian" mengingat latar waktu di bab sebelumnya?
Bagaimanapun juga, setelah kami pergi dari sekolah, kami tidak langsung pulang. Ada satu hal yang harus kami lakukan terlebih dulu, yaitu mengunci gerbang depan Sekolah Alpha—sekolah dasar di mana aku dan Stella pernah belajar.
Itu tidak memakan waktu terlalu lama.
Aku menceritakan perjalananku dari kelas lima kepada Stella, Jim, dan Rose sembari kami melakukan itu, dan ketika aku sedang melakukan itu, aku teringat akan sesuatu yang terjadi dalam mimpiku.
Bukan mimpi-mimpi anehku, tapi "mimpi itu".
Aku teringat akan bagian ketika aku sedang di dalam ruang kelas, diteriaki oleh seisi kelasku. Di tengah keributan itu, sebuah suara melengking keras.
Hei, David tidak melakukannya seorang diri! Berhenti menyalahkan dia!
Stella bilang dia menyesal karena dia tidak mengeluarkan suaranya pada kejadian itu. Tapi, kalau perkataan itu tidak keluar dari mulut Stella, lalu dari siapa?
Tidak ada gunanya memikirkan hal sepele seperti ini—ini tidak penting.
Ini adalah cerita untuk lain hari.
Waktu sejak hal itu terjadi dengan saat ini sangatlah jauh, dan dengan cara yang sama, waktu sejak saat ini sampai aku kembali ke sebuah fasilitas yang disebut "sekolah"—di mana berbagai kejadian telah mengubahku secara drastis—juga masih sangat jauh.
Itulah akhir dari pikiran yang melintasi kepalaku ketika aku sedang bercerita.
Kini adalah giliran Stella untuk bercerita.
Menelusuri jalan-jalan perkotaan yang sepi, kami menarik sepeda kami.
Langit biru.
Kicauan-kicauan burung.
Suara Stella terdengar di antara semua itu.
"Ya, aku pertama kali bertemu dengan David saat kami masih TK."
Di bangku TK, Stella benar-benar tidak memiliki teman satu pun. Aku, yang memiliki banyak teman, merasa seperti ada yang aneh dengan Stella. Makanya aku, untuk pertama kalinya, mendekati Stella pada saat itu.
Kata Stella, impresi pertamanya tentangku adalah—dia menganggapku sebagai seorang "ekstrovert yang menyebalkan."
Aku tidak tahu harus merasa bagaimana tentang hal itu.
Sejak TK, Stella memang sudah selalu memasang senyuman palsu di wajahnya. Keluarganya sudah retak bahkan sebelum Stella bisa mengerti keadaannya. Ibu Stella mengandungnya saat berumur 24 tahun, di luar pernikahan.
Entah karena alasan apa yang bahkan Stella sendiri tidak tahu, orangtuanya memutuskan untuk menikah dan melahirkan dirinya.
Stella sendiri memiliki sebuah asumsi mengenai alasan ibunya mengambil keputusan itu, yaitu karena ibunya bermuka dua terhadap ayahnya sebelum mereka menikah, dan ibunya juga memiliki kehidupan sosial yang bisa dibilang palsu karena muka-duanya itu.
Ibu Stella selalu berlagak seperti orang baik di hadapan teman-temannya, dan dia sangat menjunjung tinggi pandangan orang lain terhadap dirinya.
Ibu Stella selalu menjaga gambarannya dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor Series
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari, mimpimu menjadi kenyataan? Bukan impian dalam hatimu, tapi mimpi saat kau tidur. Itulah yang terjadi kepada David, seorang anak SMA biasa dengan sebuah trauma dari masa lalunya yang membuatnya merasa takut untuk berteman...