Aku mengejar Stella bersama Rose.
Stella menuju ke arah yang berlawanan dari sekolah SD tadi. Kalau aku tidak salah, dia sedang menuju ke SMA kami.
Aku bisa tahu karena ini juga jalan yang kulalui setiap kali aku pergi ke sekolah.
Tapi kenapa?
"David, kau tidak bisa lebih cepat dari ini?" tanya Rose panik.
"Aku sedang berusaha sebisaku!"
Seluruh kekuatanku kukerahkan untuk menggowes pedal sepeda. Aku membawa Rose bersamaku, jadi aku tidak bisa melaju lebih cepat lagi. Karena itu, Stella semakin jauh di depan kami.
Di depan kami, terdapat sebuah perempatan. Stella telah mengambil belokan ke kiri, jadi aku berencana untuk melakukan itu juga. Namun, ada Jim di sana, sedang berlari ke arahku.
"Ganti arah, Jim!" teriakku dari jauh. "Pergilah ke sekolah kita yang sekarang!"
"Eh? Kenapa?" sahut Jim.
"Stella sedang ke sana sekarang!"
Setelah pertukaran informasi singkat kami, aku melewati Jim.
--Tolong sempatlah! Aku harus menyelamatkan Stella bagaimana pun caranya!
Sebuah guntur menyambar jauh di depan Rose dan aku, menerangi kegelapan yang sedang kami terjang untuk mencapai Stella.
"Hah? David, dari mana kau tahu Stella sedang menuju ke sekolah kita?" tanya Rose.
"Kalau dia mengambil belokan ke sini, apa lagi destinasinya? Jalan ini langsung mengarah ke sekolah, bukan?"
"Ah, iya, kau benar."
Sosok Stella mulai mengecil dari pandanganku, sampai akhirnya, dia sudah terlalu jauh untuk dapat kulihat.
Jauh di benakku, aku sadar akan fakta ini sepanjang waktu: jika kita tidak sampai tepat waktu, kegelapan akan melahap Stella. Sayapnya telah patah, terganti oleh warna hitam yang ia kini kenakan; Stella tidak bisa lagi terbang keluar. Tanpa sebuah tangan untuk menariknya keluar, tanpa tanganku untuk menariknya keluar, dia akan menghilang selamanya dari dunia ini. Dan bukan dari dunia ini saja, tapi juga dari kehidupanku.
Setelah beberapa waktu, aku dan Rose akhirnya sampai ke dekat sekolah.
Dengan setiap gowesanku, datang juga sepercik air dari beton di bawah kakiku.
Hujan mengguyur deras, dan angin bertiup sangat keras seakan-akan ingin menerbangkan diriku. Aroma hujan sungguh kuat di hidungku, tapi di antara wewangian itu, terdapat satu bau yang berbeda.
Angin membawa aroma suatu bunga dari kananku.
Setelah melacak sumber bau itu, kulihat bunga-bunga lili terlambai-lambai oleh angin di pinggir pagar kawat di kananku, dan jauh di belakang pagar kawat itu, terdapat sekolahku.
Cahaya lampu jalan menerangi tubuhku yang kelelahan. Lampu itu menerangi Rose juga, pastinya.
Di depan gerbang sekolah, terdapat sepedaku yang telah dipinjam Stella.
"Hei, David, bukannya itu sepedamu yang dipinjam Stella?"
"Benar, dia pasti ada di dalam sekolah!"
Sekolah SMA Swasta Sunshine.
Tutup sementara.
Pengantar/penjemput hanya sampai di sini.
Aku melihat sebuah celah kecil pada gerbang yang terbuka itu. Tanpa pikir panjang, aku melambat sedikit dan mencoba untuk masuk melalui celah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor Series
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari, mimpimu menjadi kenyataan? Bukan impian dalam hatimu, tapi mimpi saat kau tidur. Itulah yang terjadi kepada David, seorang anak SMA biasa dengan sebuah trauma dari masa lalunya yang membuatnya merasa takut untuk berteman...