Kamar kakakku merupakan satu-satunya kamar tidur yang tidak memiliki panel dengan tulisan “Kamar Ben” atau semacamnya, tidak seperti kamarku dan kamar orangtuaku.
Di rumahku juga tidak ada foto keluarga dan semacamnya yang digantung, benaran tidak ada satu pun (alasannya adalah orangtuaku tidak suka mengambil foto).
Mungkin itulah alasan mengapa Rose berkata “aku kira ruangan di sebelah kamarmu itu gudang biasa,” karena dia sebelumnya tidak tahu aku memiliki seorang kakak, dan juga karena letak ruangan itu adalah di ujung rumahku.
Jika aku harus menjelaskan tata letak ruangan-ruangan di lantai dua, mungkin akan seperti ini: kamar mandi berada di samping kiri tangga, tapi jika daripada berbelok ke kiri, aku memilih untuk berbelok ke kanan, aku akan sampai pertama ke kamar tidurku, dengan kamar orangtuaku persis di depannya, dan kemudian di ujung lorong, barulah terdapat kamar kakakku yang kini sudah terlantar.
Kami berempat berjalan di lorong yang relatif gelap itu.
Onyan tidak terlihat sama sekali di lantai dua, jadi kemungkinan besar dia sedang menjelajahi lantai bawah atau tertidur entah di mana.
Kubuka pintu kamar kakakku, dan kami berempat memasukinya.
Gorden kamar kakakku tebal. Cahaya dari luar tidak bisa masuk, jadi aku menyalakan lampunya.
Tepat di depan mata kami, adalah—sebuah kursi kayu dan meja belajar kakakku.
Menempel pada dinding di kiri kami adalah rak buku kakakku yang kosong, dan di dinding tepat di sebelah kanan dari pintu kamar adalah tulisan-tulisan yang kulihat pada hari Sabtu saat aku baru sampai ke rumah dari taman. Lemari baju kakakku berada tepat di sebelah tulisan itu, menempel pada dinding rumah bagian samping, menghadap ke arahku.
Ruangannya sedikit berdebu, tapi debunya tidak terlalu menumpuk karena ibuku sudah membersihkannya sebelum kakakku datang untuk menginap.
Omong-omong, dinding samping rumahku tidak memiliki jendela atau apa pun semacamnya—yang sedikit aneh, menurutku. Sejak dulu memang sudah seperti itu, sih. Oleh karena itu, hanya ada satu jendela di kamar kakakku—yang menghadap ke arah jalanan.
Melihat semua hal itu, kalimat pertama yang akan dikatakan sepertinya cukup mudah diprediksi. Itu adalah—
“Hei, David, tulisan apa-apaan itu?” Rose menunjuk kepada tulisan yang ditinggalkan kakakku.
Ya, itulah tulisan mengenai Bonman beserta deskripsi jilid, bab, dan panel.
Kakakku memiliki obsesi yang menjijikkan.
“Entahlah. Mungkin itu bagian cerita favoritnya yang dia catat supaya bisa melihatnya kembali sesuka hati.”
Jim tertawa. “Aku tidak menyangka seseorang seperti kakakmu menyukai Bonman.”
“Aku sendiri bisa membaca Bonman dan beberapa komik lain karena dia, jadi jangan terlalu terkejut.”
Kemudian, aku mendengar suara Stella dari sampingku.
“David, seingatku, kakakmu adalah seseorang yang menjaga kerapihan ruangan, bukan? Lalu, kenapa meja itu berantakan sekali?”
Aku menghadap ke arahnya sejenak dan menyadari bahwa dia sedang menunjuk ke arah meja yang disebutnya. Aku memutuskan untuk melihat apa yang Stella maksud, dan ….
Pada saat itu, aku baru sadar, bahwa di hadapanku, terdapat sebuah meja kayu dengan berbagai barang tidak jelas di atasnya, benar-benar berantakan.
Itulah meja kakakku.
--Eh, benar juga, ya. Kenapa si Ben itu bisa meninggalkan mejanya dalam kondisi seperti ini?
“Hmmm ….”
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor Series
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari, mimpimu menjadi kenyataan? Bukan impian dalam hatimu, tapi mimpi saat kau tidur. Itulah yang terjadi kepada David, seorang anak SMA biasa dengan sebuah trauma dari masa lalunya yang membuatnya merasa takut untuk berteman...