Ini adalah sekolah di mana aku belajar saat SD.
Ini adalah ruang kelas di mana aku melihat kehidupan David hancur, tapi tidak membantunya. Ingatanku akan kejadian itu masih jelas, tertanam di belakang kepalaku.
Aku masih ingat ekspresi wajah David saat ia mencari-cari seseorang untuk membantunya selagi ditarik keluar dari kelas dengan paksa. Aku masih ingat kemarahannya saat tidak ada yang peduli kepadanya.
Tidak bisa dimaafkan! Kalian semua! Setiap dari kalian! Pengkhianat! Kalian semua pengkhianat!
Walaupun aku mengetahui kebenarannya, bahwa bukan David saja yang melakukannya, aku tidak melakukan apa-apa.
Tak akan pernah kumaafkan! Mati saja kalian semua! Mati saja!
Kalau saja aku membelanya pada saat itu, mungkin kehidupanku tidak akan menjadi seperti ini.
Aku tidak akan pernah memaafkan setiap dari kalian! Satu pun tidak akan pernah kumaafkan!
Kalau saja aku dapat meneriakkan suaraku dengan keras waktu itu, apakah semuanya akan lebih baik sekarang?
Aku benci setiap dari kalian! Aku benci kalian semua! Dasar pengkhianat!
Apakah semuanya salahku? Karena aku hanya melihatnya dari tempat yang aman?
Apakah itu alasan mengapa hal-hal buruk terus terjadi kepadaku sejak kejadian itu?
Di dalam ruang kelas yang gelap itu, aku merenungkan satu kejadian yang mengawali kehancuran hidupku yang rapuh.
Rasa sakit menusuk dadaku, rasa sesal membelenggu jantungku.
Menutup pintu kelas itu, aku berlanjut dengan berjalan menaiki tangga. Kunci atap sekolah dasarku masih kusimpan sampai sekarang. Dengannya, aku membuka pintu atap.
Suara hujan yang memenuhi udara dari awal, kini terdengar semakin besar di telingaku.
Aku berjalan ke pinggir atap dan melihat ke bawah.
Rasanya akan seperti apa kalau aku terjatuh dari atas sini? Akankah aku menderita?
Tidak—itu tidak penting.
Untuk apa seseorang sepertiku takut akan penderitaan?
Aku telah menyebabkan begitu banyak orang menderita, tentunya penderitaan sebanyak ini hanyalah normal untuk kualami.
Tapi, ini bukanlah tempat di mana aku harus menerima hukumanku.
Ada tempat lain di mana aku seharusnya berada.
Tempat di mana aku telah diberikan kesempatan untuk menebus dosaku, meski hanya sedikit. Dari tempat itu, aku bisa bertemu dengan David dan membuatnya tersenyum kembali.
Kalau aku bisa mengakhiri semuanya di sana, kurasa semuanya akan selesai dengan mudah.
Dengan pikiran-pikiran itu, aku mulai menggerakkan tubuhku untuk berbalik, tapi angin membawa debu masuk ke dalam mataku. Aku berkedip beberapa kali dari rasa sakitnya. Dan, di tengah pemandangan yang berkelip-kelip itu, aku melihat suatu objek menerobos hujan dalam kecepatan tinggi.
Sebuah sepeda.
Di atasnya adalah seseorang.
Tidak—dua orang.
Dua orang yang mengenakan jas hujan.
Yang satu berwarna putih, dan yang lain berwarna merah.
Mereka menuju persis ke tempat ini.
Di depan gerbang itu, mereka berhenti, dan berlari memasuki area sekolah.
Melihat itu, aku terkesiap.
“S-siapa mereka?” gumamku kepada diriku sendiri. “Kenapa mereka ke sini pada waktu ini?”
Aku berbalik dan bergegas ke lantai dua setelah menutup dan mengunci pintu atap. Cahaya bulan remang-remang memasuki bangunan melalui jendela. Di balik dinding di samping tangga, aku bersembunyi.
Suara langkah-langkah mulai terdengar, beserta suara dua orang yang bernapas berat.
Mereka berlari menaiki tangga, dan dari samping, aku akhirnya melihat mereka.
Dua wajah yang familier, bahkan baru kulihat beberapa jam yang lalu.
Mereka adalah David dan Rose.
Kelelahan tampak jelas pada wajah mereka, terutama untuk David.
--Kenapa mereka ada di sini?
Mereka lewat tanpa melihatku. Tepat saat mereka mulai berlari menaiki tangga ke lantai di atasku, aku juga berlari, tapi ke bawah.
--Sungguh, kenapa mereka ada di sini?
Pertanyaan itu terulang di kepalaku.
Bagaimana mereka bisa tahu aku ada di sini?
Tidak, aku tidak bisa bertemu dengan mereka. Bukan sekarang ….
Tapi, kalau aku tidak bertemu dengan mereka sekarang, kapan aku akan mengucapkan selamat tinggalku kepada mereka?
Apakah aku tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi?
Dengan banyak pikiran melewati kepalaku, aku berlari ke arah gerbang sekolah.
Tanganku terkepal erat di depan dadaku.
Di bawah derasnya hujan dan petir yang menyambar di mana-mana, aku keluar dari sekolah itu.
Tempat ini sangat penting bagiku, tapi aku tidak bisa mengakhiri semuanya di sini.
Sepeda Rose tergeletak di samping sepedaku. Atau mungkin, daripada sepedaku, itu adalah sepeda David yang kupinjam.
Aku menaiki sepeda itu dan mulai melaju secepat mungkin. Suara samar-samar dua orang bergema dari belakangku. David dan Rose pasti sedang mengejarku saat ini. Suara mereka ditutupi hujan deras dan angin yang sedang kuterjang dengan segenap kekuatanku.
Tidak, jangan kejar aku! Kenapa kalian berdua harus ada di sini? Semuanya akan terasa lebih sulit kalau ada kalian berdua. Tapi, kalau aku menghilang dari dunia ini, aku yakin semuanya akan menjadi lebih baik.
Aku yakin mereka akan lebih bahagia tanpaku.
Aku telah menyebabkan begitu banyak kesengsaraan bagi orang-orang di sekelilingku. Semua orang yang pernah bertemu denganku selalu berakhir terluka. Mereka semua selalu tersakiti karenaku.
Untuk kedua orangtuaku, mereka terpaksa hidup bersama karena aku.
Untuk Rose, dia mendapat perlakuan yang buruk dari orang-orang di sekolah karena menemaniku.
Untuk David, aku telah menghancurkan kehidupannya.
Aku adalah sebuah hama, sebuah parasit yang perlahan membunuh.
Aku tidak layak akan seorang kesatria berbaju zirah untuk menyelamatkanku.
Kalau tidak ada yang membasmi diriku ….
Kalau tidak ada yang menyingkirkan keberadaanku, maka aku ….
Aku akan melakukannya seorang diri dan menghilang dari dunia ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor Series
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari, mimpimu menjadi kenyataan? Bukan impian dalam hatimu, tapi mimpi saat kau tidur. Itulah yang terjadi kepada David, seorang anak SMA biasa dengan sebuah trauma dari masa lalunya yang membuatnya merasa takut untuk berteman...