Jilid 2: Bab 2: R

2 2 0
                                    

Hari ini adalah Kamis, 24 Desember, 2018.

Aku datang ke rumah David lagi bersama Stella, seperti yang telah kulakukan setiap hari sejak Sabtu lalu. Bisa dibilang, ini sudah menjadi kebiasaanku selama libur musim panas, tapi ada satu hal yang berbeda untuk hari ini.

Aku sekarang punya kucing!

Namanya Onyan, kucing oranye gendut dengan sebuah lonceng emas kecil yang dicantolkan pada kalungnya. Dia lucuuuu~ sekali. Aku ingin memeluknya setiap hari.

Tapi sayangnya, dia tidak suka denganku. Dia hanya suka dengan Stella—itulah alasan mengapa dia mempersilakan Stella untuk menggendongnya, tapi tidak denganku.

Dan yang lebih menyebalkannya lagi, saat aku dan Stella membawanya ke rumah David, dia menempel pada David! Kenapa dia tidak mau melakukan itu denganku juga? Kenapa dia membenciku?

--Tolong cintai aku juga, Onyan ..., aku berharap dengan sangat ketika melihat adegan tersebut, sebuah kesedihan berat dalam hatiku.

Kami semua makan siang seperti biasa (kecuali Onyan, dia makan sendiri di lantai), dan kemudian Stella, aku, dan kakakku bermain di kamar David.

Onyan dibiarkan mengelilingi rumah David sesuka hatinya, jadi aku tidak bisa menikmati keberadaannya. David bahkan menutup pintu kamarnya hanya agar Onyan tidak bisa masuk.

Aku merasa sangat kecewa tidak bisa membawa Onyan ke dalam sini.

Waktu menunjuk sekitar jam dua lewat.

Kami sedang berbicara berempat pada saat itu.

David duduk di tempat tidurnya seperti biasa, dan kakakku masih duduk di kursi kecil itu. Sedangkan, aku tengkurap di lantai bersama Stella.

Stella menggunakan tangannya untuk menopang kepalanya, dan sebelum aku menyadarinya, aku juga melakukan hal yang sama.

Aku menyadari bahwa David sekali-kali melirik ke arah Stella. Pipi dan telinganya tampak sedikit merah, mungkin dari sinar matahari yang menembus melalui jendela kamar.

Tapi sungguh, ekspresi bodoh macam apa itu, David?

“Hei, tutup mulutmu, nanti lalat masuk. Ibuku pernah berkata begitu kepadaku.”

Aku berkata seperti itu kepada David yang langsung terkesiap seperti ia tidak menyangka aku menyadarinya.

Bagaimanapun juga, kami berbicara mengenai banyak hal, dan dengan tidak kusangka, perbincangan kami mengalir lumayan halus.

Kenapa aku tidak menyangkanya?

Yah, itu karena David bisa dibilang cukup terlibat dalam obrolan ini, walaupun tidak secara ekstrem—berbeda dari beberapa hari yang lalu di mana dia seakan selalu berusaha untuk mengucilkan diri dari percakapan.

Buktinya: ini.

“Baru dua hari yang lalu kita membicarakannya," protes David kepada kakakku dengan ekspresi sirik. "Kenapa kau menanyakan memoriku lagi tentang saat kita pertama kali bertemu?”

“Siapa tahu kau sudah lupa, Sobat. Lagi pula, kau terkadang melupakan beberapa hal, benar?”

“Hei, memoriku tidak sejelek itu!”

“Ya, memorimu memang bagus, tapi memoriku tidak kalah jauh, jadi jangan sombong dulu, Sobat.” Kakakku membusungkan dadanya dengan bangga.

Melihatnya, aku merasa sedikit sebal, jadi aku menyelipkan komentarku juga dengan wajah datar.

“Kau hanya bisa menghafal, tapi tidak bisa berpikir, Kak.”

Kakakku terlihat jengkel terhadap komentarku. “Siapa bilang aku tidak bisa berpikir?! Aku ini pintar, lo! Tanya saja pada David!” tunjuknya dengan jari telunjuk.

Traitor SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang