Mimpiku hari ini tidak begitu menarik, jadi kurasa aku tidak akan menceritakannya. Tapi, ya—aku kembali melihat sebuah mimpi yang benar-benar terasa seperti nyata.
Itu adalah hari Minggu, 20 Desember 2018, seperti yang tercantum dalam ponselku. Pagi itu, aku berjalan ke toko buku di dekat rumahku untuk membeli komik favoritku: Bonman. Komik ini tidak mahal maupun murah—harganya cukup standar jika pengetahuanku mengenai harga komik pada umumnya tidak salah.
Mengingat bahwa kemarin, aku bahkan tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli roti lapis, aku terpaksa memecahkan celengan di ruang tamuku demi membeli komik Bonman hari ini. Hatiku cukup tersakiti ketika aku melakukan itu—sejak tahun berapa aku menabung dalam celengan itu?—tapi, semua orang memiliki tabungan untuk dipakai suatu saat nanti ketika mereka benar-benar membutuhkannya.
Dan ya, aku sedang benar-benar membutuhkan komik ini—ini adalah hal yang sangat penting, bahkan lebih penting dari makanan, jadi aku bahkan tidak terpikir untuk memecahkan celenganku kemarin ketika aku tidak memiliki uang yang cukup untuk makan siang.
Komik Bonmanku lebih penting daripada makanan. Aku tidak akan mati hanya karena tidak makan selama beberapa hari, bukan?
“… Sungguh, kenapa aku memecahkan celenganku hanya demi komik Bonman?!” teriakku di sebuah jalan kosong.
Bagaimanapun juga, hari ini adalah hari yang benar-benar panas. Keringat mengucur deras dari kepalaku. Udaranya begitu panas. Tidak hanya itu, udaranya begitu pengap sampai ke titik di mana diriku mengalami sedikit kesulitan bernapas.
Kepalaku panas, punggungku panas, tanganku panas.
Semuanya panas.
Mungkin itu juga disebabkan hoodie hitam yang kukenakan beserta masker dan kacamata hitamku. Aku harus mengenakan semua ini supaya tidak terjadi apa-apa jikalau aku bertemu dengan orang-orang dari sekolah.
Melihat ke belakang sekarang, mungkin aku seharusnya menggunakan sepedaku. Tapi, mana kutahu temperaturnya akan setinggi ini? Tentu saja aku sudah merasakan panasnya tepat ketika aku berjalan ke bawah sinar matahari, tapi aku tidak menyangka udaranya akan sepengap ini juga.
Negaraku memang tidak bisa dibilang memiliki humiditas yang tinggi, jika aku mengingat dengan benar. Jadi, bagaimanapun juga, mungkin kesalahan awalnya terdapat padaku.
Sembari berjalan, aku melihat berbagai tanaman hijau di sepanjang jalan. Dengan begitu, aku teringat kepada mimpi yang kulihat tadi pagi.
“Apa-apaan mimpi itu? Mana mungkin hal semacam itu terjadi hari ini? Ada-ada saja.”
Aku pun kembali ke rumahku untuk menikmati komik Bonman. Waktu berjalan sangat cepat ketika aku membacanya, sampai kudengar bunyi bel rumahku dipencet berkali-kali.
DING DONG DING DONG DING DONG!
Ah, aku tahu cara memencet bel ini! Pasti Jim! Oh, iya. Hari ini mereka bertiga mau datang ke rumahku lagi. Hampir saja aku lupa!
Seperti biasa, Jim menyambutku dengan pelukan keras di pintu depan rumahku.
“Hei, Sobat! Kau tidak lupa kalau hari ini aku akan datang, ‘kan? Ayo main FAFI lagi!”
“Oi! Harus kubilang berapa kali kalau kita bukan teman?! Dan juga, lepaskan aku!”
Jim melepaskanku kemudian cengar-cengir seperti orang bodoh. Kulihat Rose berjalan dari belakang Jim. Hari ini, Rose tidak mengenakan jeans pendeknya, melainkan rok. Bajunya masih sama seperti kemarin—blus merah tua itu.
“Hai, David. Aku mau baca Bonman lagi. Apa boleh?” Rose tersenyum tipis.
“Boleh, kok. Omong-omong, Stella di mana? Kemarin, dia bilang dia akan datang lagi, bukan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor Series
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari, mimpimu menjadi kenyataan? Bukan impian dalam hatimu, tapi mimpi saat kau tidur. Itulah yang terjadi kepada David, seorang anak SMA biasa dengan sebuah trauma dari masa lalunya yang membuatnya merasa takut untuk berteman...