Perlahan-lahan, kubuka mataku. Kulihat sekelilingku, aku berada di kamar tidurku. Tubuhku lemas, mataku membengkak, dan wajahku basah.
“David …? Wah, David sudah bangun! Rose, Stella, David sudah bangun!” teriak Jim gembira.
Stella berlari masuk ke kamarku bersama Rose, kemudian mereka mendekat kepadaku.
Aku mengelap wajahku yang basah. Air yang berada pada wajahku itu terasa mengalir dari mataku.
“Mimpi buruk, David?” tanya Stella khawatir. “Istirahat saja terlebih dulu. Tadi, kau pingsan saat sedang pulang di sepeda.”
Mata Stella terlihat bengkak. Apakah dia menangis karena aku pingsan, sama seperti dua hari yang lalu?
“… Baiklah,” jawabku lemas.
Tunggu, bukannya buruk kalau aku terjatuh dari sepeda? Meskipun aspal di kota kami bisa dibilang berkualitas tinggi, dan meskipun kami melaju dalam kecepatan rendah tadi, bukannya jatuh ke permukaan yang keras setidaknya akan menyebabkan beberapa luka pada tubuhku?
Dan, itulah yang sebenarnya terjadi, meskipun aku telat menyadarinya.
Setelah memikirkan kemungkinan luka yang bisa kudapatkan dari terjatuh ke aspal, indra dalam tubuhku menyala dengan kuat, dan dengan begitu, rasa sakit pada tubuhku mulai terasa.
“Akh …!” Kulihat tangan kananku, dan, seperti yang kuekspektasikan, terdapat beberapa luka lecet dan memar di sana. Di tangan kiriku juga sama.
“… Aku benar-benar salah sudah membuatmu pergi memancing walaupun kau kelelahan kemarinnya, ya? Mohon maafkan aku, David ….”
Stella menaruh kedua tangannya di depan roknya, tampak gelisah. Matanya menatap pada kakinya sendiri, seperti dia sungguh merasa bersalah dan menyesal.
“… Tidak, aku pingsan tidak ada hubungannya denganmu, Stella,” tolakku. “Hari ini, aku tidak kelelahan sama sekali, kok. Sebaliknya, waktu yang kita habiskan bersama pada hari ini cukup menyenangkan bagiku.”
Ya, Stella tidak memiliki salah apa pun juga dalam hal ini.
Yang salah adalah ingatan itu.
Yang salah adalah mimpiku mengenai masa-masa itu.
Sudah berapa lama sejak terakhir kalinya aku mendapatkan mimpi itu? Seingatku, aku tidak pernah mendapatkannya lagi selama masa SMA-ku. Kenapa tiba-tiba mimpi itu muncul lagi? Apakah karena pertanyaan Jim tadi? Atau apakah ada sesuatu yang lain selain itu?
Jujur saja aku tidak tahu alasannya.
Dan, seperti dulu, suara seluruh teman-teman sekelasku terdengar aneh dan aku tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas.
Mungkin kalimat yang lebih tepat untuk menjelaskannya adalah: aku tidak bisa melihat segalanya tentang wajah mereka, kecuali ekspresi mereka.
Sahabatku bahkan tampak seperti sebuah bayangan, beserta teman dekatku yang satu lagi.
Pengecualiannya hanya untuk beberapa orang dari kelas itu yang masih berhubungan denganku sampai sekarang saat aku sudah kelas sebelas.
Jim sedang duduk di kursi kecil sambil bermain FAFI, sementara Rose dan Stella telah berjalan keluar dari kamarku.
Setelah beberapa waktu, mereka kembali dengan semangkuk penuh bubur.
“Bubur salmon itu baik untuk tubuhmu, lo. Makanlah.”
Stella duduk di pinggir tempat tidurku dan tersenyum hangat saat ia menyodorkan sesendok penuh bubur ke mulutku. Wajahku tersipu malu, dan aku terdiam sejenak, menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor Series
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari, mimpimu menjadi kenyataan? Bukan impian dalam hatimu, tapi mimpi saat kau tidur. Itulah yang terjadi kepada David, seorang anak SMA biasa dengan sebuah trauma dari masa lalunya yang membuatnya merasa takut untuk berteman...