"Eddy acih cakit?" Tanya Nono.
Setelah bertemu dengan Tyara, mereka memutuskan untuk pulang. Namun, Jendral memilih untuk menghubungi sopir di rumahnya, karena apa yang dilakukan oleh Tyara kepada 'adik'nya tidak main-main. Jendral benar-benar merasa kesakitan, hingga dia merasa, jika dirinya menyetir, bisa saja dia tidak fokus.
"Masih." jawab Jendral yang meringkuk di atas ranjangnya.
"Apanya yang sakit Daddy?" Marcello ikut bertanya.
Jendral mendesis menahan sakit. Ingin rasanya mengusir kedua putranya itu agar keluar dari kamarnya, dan membiarkannya sendirian. Namun, melihat wajah keduanya yang tampak khawatir, membuat Jendral tidak tega, dan membiarkan keduanya menemaninya.
"Adiknya Daddy sakit."
"Daddy punya adik? Kata nenek sama kakek, Daddy anak tunggal."
"Abang ... jangan tanya-tanya Daddy terus. Daddy masih sakit. Udah sana, kalian keluar dulu. Daddy mau tidur."
"Nono mau ijit-ijit Eddy ya?"
"Nggak usah. Udah sana keluar."
Terdengar suara Nono yang mulai merengek.
"Ya udah, ya udah, sini pijitin Daddy."
"Ijit apa?"
Jendral mencoba duduk, lalu menepuk pahanya. "Pijit ini, tapi pelan-pelan ya?"
Nono mengangguk semangat, lalu naik ke atas ranjang.
"Abang mau pijit paha Daddy yang sebelahnya ya?"
"Iya, boleh."
Kedua tangan Jendral masih mengelus bagian selatannya, hingga berangsur-angsur dirinya merasa lebih baik. Terlebih lagi, kedua putranya itu saling bernyanyi saat memijat masing-masing pahanya, dengan riangnya.
"Eddy! Eddy! Angan cakit ya?"
Jendral tersenyum simpul, lalu mengusap kepala Nono dan Marcello bergantian. "Emang kenapa, kalo Daddy sakit? Kamu khawatir ya?"
"Yang cali uang ciapa?"
"Kirain khawatir, malah mikirin duit." cibir Jendral.
"Tapi kan, Daddy emang selalu sibuk cari uang? Makanya nggak pernah mau nemenin abang sama Nono main."
Diam.
Hanya itu yang bisa dilakukan Jendral. Dia tidak bisa mengelak, jika dirinya memang selalu sibuk, hingga jarang ada waktu untuk kedua putranya.Ada perasaan bersalah yang hinggap di hati Jendral, mendengar ucapan putra sulungnya. Nada bicara Marcello memang terdengar biasa saja, namun entah mengapa tiba-tiba hatinya merasa sakit.
"Eddy!"
"Kenapa?"
"Nono mau ain cama onty ya? Tadi, Nono kan, ndak ain cama onty!"
"Kenapa Nono suka main sama aunty itu?" Tanya Jendral penasaran.
Laki-laki itu merasa tidak habis pikir dengan putra bungsunya itu. Bagaimana bisa, anak itu diam saja, saat dibawa oleh Tyara. Padahal mereka tidak saling kenal? Malah Nono tampak sangat akrab dengan Tyara, padahal putra bungsunya itu bukan anak yang mudah berbaur dengan orang asing.
"Onty cantik, kayak omy! Ajunya agus. Kata bang, omy cuka ake aju agus."
"Iya! Abang juga suka liat aunty tadi! Cantik kayak mommy. Siapa namanya Daddy?"
"Aunty Tyara. Tapi, buat Daddy, mommy lebih cantik." jawab Jendral ogah-ogahan. Dalam hati, laki-laki itu merasa jengkel dengan kedua putranya. Apa mereka tidak tau atau lupa, kalo wanita bernama Tyara itu telah menghancurkan masa depannya?
Jendral melihat ke arah selatannya dengan nelangsa. 'Nggak bisa! Gue harus minta kompensasi dari apa yang udah dia lakuin! Gue bakal tuntut lo lagi Tyara! Cewek sial***!'
"Eddy, Nono capek. Mau ain aja!"
"Nono, main mobil-mobilan yuk?" Ajak Marcello.
Wajah Nono tampak berbinar. Keduanya lalu pergi begitu saja, tanpa berpamitan kepada Jendral, dan menutup pintu kamarnya. Namun, Jendral sendiri merasa tak peduli.
"Akhirnya, gue bisa istirahat." gumam Jendral. Laki-laki itu kembali mendesis menahan sakit, saat mencoba mencari posisi yang nyaman untuk istirahat.
Baru sepuluh menit Jendral menutup matanya. Laki-laki itu kembali berteriak kesakitan. Dan penyebabnya adalah Nono, yang tiba-tiba saja kembali masuk ke kamar dengan membawa mobil-mobilannya yang berukuran cukup besar, lalu melemparkannya tepat di atas selangkangan ayahnya.
"NONO!!!"
***
"Jadi gimana? Sukses, kan?" Tanya Tenesya.
Tyara mengacungkan jempolnya. Wajahnya tampak puas, karena telah menjalankan ide dari Tenesya. "Makasih banget, ide lo emang selalu top! Persis banget sama apa yang lo bilang, dia pasti bakal bikin negoisasi soal tuntutan itu. Tapi, gue nggak ngerasa rugi, karena rasanya udah setimpal sama rasa malu gue yang udah punya catatan kriminal di kepolisian, gara-gara si bajin*** itu! Kalo bukan karena rasa kasihan sama anaknya, ogah banget gue ambil jalur damai begini. Walaupun gue belum pernah punya anak, tapi gue masih ada hati."
"Dan mulai saat ini, gue yakin, dia bakal mikir dua kali buat nikah lagi."
Kedua wanita itu saling tertawa, karena ucapan Tenesya.
"Udah jelas. Masa depannya udah cacat begitu, nggak bakal ada yang mau sama dia! Jadi, nggak mungkin dia kepikiran bakal nikah lagi dan punya anak." balas Tyara.
"Tapi ya Ty, menurut gue, si Jendral itu nggak jelek-jelek amat. Untuk ukuran duda, hmm ... lumayan sih. Cakep, tajir melintir, dan produknya nggak ada yang gagal! Anaknya masih pada bocil, tapi udah keliatan kalo gedenya mereka bakal good looking kayak bapaknya."
Tyara memutar bola matanya malas. "Kebiasaan banget lo! Bisa nggak sih, jangan liat cowok dari tampang sama dompetnya doang?"
"Ya nggak bisalah! Gue udah capek-capek kerja, ngumpulin aset buat masa tua, masa iya dapetnya cowok-cowok nggak ada modal? Yang cuma ngomong, 'kamu mau kan, berjuang sama-sama dari nol sama aku?' Dih, amit-amit sama cowok modelan begitu! Kalo emang nggak ada modal buat nafkahin anak orang mah bilang aja, sok-sokan bilang mau ngajak berjuang dari nol. Kalo kata pepatah, udah jatuh, tertimpa tangga pula!"
"Tapi kan, cowok ganteng sama kaya raya nggak ada jaminan setia."
"Bodo amat! Biarpun dia nggak setia, tapi gue masih bisa foya-foya pake duitnya dia, disambi ngumpulin aset. Kalo dia mau cerai, ya udah, terserah! Laki juga banyak kali! Yang penting gue nggak rugi! Coba aja lo bayangin, diajak nikah sama cowok yang bilangnya mulai dari nol kayak SPBU. Belum lagi kalo ternyata dia juga nggak setia! Duit nggak ada, nggak bisa foya-foya, nggak punya aset, makan ati tiap hari! Buang-buang waktu aja ngeladenin cowok modelan begitu! Males banget, rugi bandar coy! Mending idup sendiri!"
"Tapi, kalo si cowoknya jelek tapi kaya gimana?" Tanya Tyara.
"Nggak masalah! Jaman sekarang, yang penting itu duit! Tampang urusan belakangan, selama dia punya duit! Tapi, kalo tampang doang dan finansial nggak mendukung, skip! Apalagi kalo tampangnya amburadul, finansialnya juga acak-acakan! Dah lah, mending jadi perawan tua yang bergelimang harta hasil kerja keras diri sendiri!"
Tenesya berhenti sejenak, untuk meminum teh hijau di cangkirnya. "Gue mah sebagai cewek, mau yang realistis aja! Ogah banget makan cinta! Cinta nggak bisa buat beli beras, minyak, telur, susu, pampers, baju, perawatan, bayar listrik, air, pajak kendaraan dan lain-lain. Oh iya, yang lebih penting lagi, cinta nggak bisa buat ngutang di bank! Jangankan di bank, mau ngutang pake cinta ke sesama manusia aja nggak bisa! Yang ada ntar malah masuk penjara! Bayangin aja, lo mau ngutang sama orang, terus ditanya jaminannya apa? Lo jawab, kalo lo cinta sama laki lo, hmm ... itu namanya mengundang keributan!" Lanjutnya.
Tyara hanya tersenyum mendengar ucapan Tenesya. Sedikit banyak, apa yang dikatakan wanita di depannya ini memang benar adanya. Bahwa kehidupan yang realistis itu memang seperti ini. Ada uang, maka semua masalahmu pasti akan beres.
Hidup terlalu remeh, jika hanya untuk memikirkan cinta. Seseorang bisa saja meninggalkanmu besok. Namun, apa yang sudah kamu bangun untuk dirimu hingga saat ini, adalah selamanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Me vs Your Daddy [Miss Independent Series]
FanfictionJAEYONG GS LOKAL!!! AYO BELAJAR MENGHARGAI SEBUAH KARYA, DENGAN FOLLOW, VOTE & KOMEN!!! KARENA SEMUA ITU GRATIS!!! 🥰 Sebut saja Tyara seorang Miss Independent. Sebab, diusianya yang sudah kepala dua, gadis itu tidak punya keinginan untuk menikah s...