Ketika Zoro keluar dari ruangan Robin, dua pasang mata itu saling berpandangan. Salah satunya berjalan mengikuti Zoro yang sedang diliputi emosi tak berbendung sedangkan yang satunya menghampiri Robin dan memeluk perempuan itu memberinya penguatan.
Zoro melangkahkan kakinya kearah taman rumah sakit yang terlihat sepi. Ia hanya ditemani oleh cahaya lampu taman yang menyoroti dirinya yang tengah menundukkan wajahnya. Kedua tangannya mengepal, deru nafasnya tak beraturan. Rasanya begitu sesak. Begitu banyak hal yang ia terima hari ini.
Semua yang awalnya kebahagiaan, kini diterpa oleh rasa sesak yang bertubi.
Sumpah, ia baru saja mendapatkan cinta dari istrinya hari ini. Ia baru saja menemukan segala kepastian yang diberikan istrinya untuknya. Tapi kenapa semuanya memiliki cela?
Rasa cinta yang ditunjukkan Robin padanya kenapa harus menutupi segala hal yang selama ini ia nantikan? Mengapa rasa kehilangan itu harus muncul terlebih dahulu dari rasa bahagia yang ia dambakan? Apakah terlalu banyak keinginannya untuk mendapatkan kebahagiaan? Apa ia terlalu egois untuk mengharapkan cinta istrinya dan kehadiran dia di waktu yang sama?
Zoro meluapkan semuanya malam itu. Derai air mata dibiarkannya mengalir tanpa berusaha dihentikan, dengan harap mampu meluruhkan rasa sakit, kecewa, dan marah yang ada di hatinya.
Malam ini Zoro menunjukkan sisi terlemahnya di hadapan seseorang yang selama ini telah membesarkannya. Pria itu hanya diam, berdiri tak jauh dibelakang keponakannya yang terlihat sangat rapuh. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Mihawk melihat kesedihan yang begitu mendalam dari diri Zoro.
Mihawk dan Perona malam itu hanya diam. Membiarkan keduanya meluapkan segala hal yang mereka rasakan.
Perona hanya mampu memeluk Robin dengan erat. Memberikannya rasa percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia mendekap Robin tatkala Zoro belum mampu mendekapnya kembali.
Mihawk hanya menemani Zoro dalam bayang. Ia tak menghampiri maupun meninggalkan keponakannya — yang telah ia anggap sebagai putranya sendiri — yang tengah bersedih. Ketika Zoro sudah mampu mengendalikan dirinya, barulah pria itu berjalan menghampirinya. Menepuk bahunya, memberikan keyakinan bahwa ia akan mampu menghadapinya.
***
Hari ini adalah hari ketiga Robin berada di rumah sakit. Ia melewati hari-hari kemarin dengan penuh kekosongan. Pikirannya masih berkecamuk dan hatinya masih belum tertata.
Tapi, di hari ketiga ini, ia kembali menemukan keberanian. Ia melangkahkan kakinya menuju bangsal ibu dan anak. Robin mengigit bibir dalamnya dengan kencang, menahan air matanya agar tidak luruh ketika melihat beberapa bayi mungil yang tengah tertidur lelap di boxnya masing-masing. Tangan Robin terangkat untuk menyentuh jendela yang menjadi pembatas dirinya dengan bayi-bayi itu.
Ia tak mampu. Air matanya kembali luruh. Tangannya mengepal, menepuk-nepuk dadanya berusaha mengurangi sesak yang ia rasakan. Ia berjalan mundur, mencari penopang. Ia terduduk di kursi yang berada di lorong rumah sakit. Tangannya mencengkram surai hitamnya yang berantakan dengan erat.
Pandangannya kembali mengedar. Bangsal ini terlalu ramai dan membuatnya kembali sesak.
Beberapa pasang suami istri sedang menunggu di depan ruangan dokter kandungan. Sang suami mengelusi perut istrinya, menyapa anaknya yang masih bersembunyi. Suami istri itu berpandangan kemudian tertawa begitu merasakan calon buah hati mereka bergerak. Wajah berseri yang terpatri pada keduanya, membuat Robin semakin tak kuasa menahan tangis.
Kemudian terdapat sepasang orang tua yang tengah berdiri dengan bahagia dihadapannya. Sang suami merangkul pundak istrinya dengan mesra sambil memandangi bayi mungil yang ada di dalam box dibalik kaca. Keduanya tersenyum sambil menunjuk anaknya yang baru saja lahir di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
(One Piece Zorobin FF) We Never Get Fu*king Married
FanfictionCerita tentang Zoro dan Robin yang tidak pernah tertarik dengan yang namanya pernikahan. Karena terpaksa dan pusing mendengar omongan orang lain mengenai pernikahan, keduanya pun menyetujui untuk menikah. Berjanji tidak untuk saling membenci dan men...