Beberapa ratus hari kemudian...
Wanita bersurai hitam itu melangkahkan kakinya memasuki rumah yang telah menjadi tempatnya menghabiskan waktu luang selama beberapa bulan terakhir. Di tangannya terdapat sebuah tas yang berisikan peralatan melukis miliknya. Melihat kedatangannya, beberapa anak langsung berlari kearahnya sambil terus memanggilnya.
"Bundaa!"
"Bunda Robin!"
"Bunda, sini aku bantuin bawa tasnya."
Wanita itu mengangkat sudut bibirnya begitu mendengar seruan anak-anak yang terus memanggil dirinya. Sambil tersenyum lebar, Robin segera melihat kearah mereka. "Halo anak-anak, kalian semangat banget yaa."
Begitu seorang gadis remaja membantunya membawa barang bawaan miliknya, ia langsung menolehkan wajahnya. "Terima kasih, Chimney."
"Sama-sama, bunda. Adik-adik dari tadi udah gak sabar nungguin bunda dateng, makanya pada heboh gitu," jelas remaja yang biasa dipanggil kakak oleh anak-anak yang lain.
Begitu mereka berada di halaman belakang, beberapa bocah yang mengikuti mereka segera duduk diatas rerumputan yang dialasi dengan tikar.
Robin segera melepaskan alas kaki yang ia pakai dan ikut duduk diatas tikar tersebut.
"Aduh bu Robin, di atas aja duduknya. Nanti perutnya kenapa-napa," ujar Rebecca, seorang gadis yang menjadi pengurus tempat itu dengan penuh kekhawatiran.
"Enggak apa-apa kok. Begini lebih nyaman." Robin menatap kearah Rebecca sambil tersenyum. Mendengar ucapan Robin, Rebecca hanya membalasnya dengan anggukan. Ia ikut duduk di atas tikar sambil terus memperhatikan anak-anak yang mengelilingi mereka.
"Bunda! Aku kemarin abis gambar gunung!"
"Bunda! Hari ini kita mau gambar apa?"
"Bundaaa! Aku udah bisa warnain laut!"
"Bunda! Kata ibu guru gambar aku bagus, terus dipajang deh di kelas."
Mendengar celotehan yang sedari tadi memenuhi indra pendengarannya, Robin hanya tertawa. Ia begitu bahagia dengan segala antusiasme yang diberikan oleh anak-anak itu pada dirinya.
Sambil melihat kearah anak-anak itu satu persatu, Robin segera menyebutkan aktivitas apa yang akan mereka lakukan hari ini.
Di saat anak-anak lain tampak asik mengambar cita-cita, seperti yang ditugaskan oleh Robin tadi, seorang gadis berusia tujuh tahunan berjalan menghampiri Robin dan berdiri dihadapannya. Gadis kecil itu menundukkan wajahnya sambil menatap kearah perut Robin.
"Bayinya udah mau lahir ya, Bunda?" tanyanya dengan pelan.
Mendengar pertanyaannya, Robin tersenyum. Ia mengangguk sambil memandang kearah Tama yang masih menundukan wajahnya.
"Masih dua bulan lagi, Tama." Robin mengusap kepala Tama dengan lembut. Bocah itu pun mengadahkan wajahnya, melihat kearah Robin yang masih tersenyum kepadanya.
"Kalau bayinya udah lahir, bunda bakalan kesini lagi gak?" tanyanya lagi.
"Pasti, sayang. Bunda pasti bakal tetap kesini lagi sambil bawa adik bayi."
Mendengar jawaban Robin, bocah itu mulai tersenyum. Ia menatap Robin dengan mata yang berbinar.
"Janji bunda?" ucapnya penuh harap. Untuk meyakinkan gadis kecil yang ada dihadapannya, Robin menunjukkan jari kelingkingnya di hadapan Tama. "Janji."
Begitu mengkaitkan jemarinya, Tama yang tertawa pun segera memeluk Robin dengan erat.
***
"Terima kasih atas kunjungannya hari ini ya, Bu Robin," ujar Viola, sang pengurus panti asuhan.
Mendengar ucapannya, Robin menganggukan wajahnya sambil tersenyum sopan. "Sama-sama, Bu. Saya juga senang karena bisa terus datang kesini."
Setelah melanjutkan perbincangan mereka, keduanya mendengar ketukan yang berasal dari pintu ruangan Viola. Begitu menyadari siapa yang mengetuk, Robin langsung mengangkat sudut bibirnya sambil melihat kearah Viola. "Sepertinya suami saya sudah jemput. Kalau begitu saya pamit ya, Bu."
Robin bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu sambil diikuti oleh Viola yang hendak mengantarkannya keluar.
Begitu Robin telah berada diluar, ia menemukan suaminya itu tengah mengkaitkan jari kelingkingnya pada gadis kecil yang tadi sempat melakukan hal yang sama dengannya. Setelahnya, Tama segera berlari meninggalkan suaminya yang melambaikan tangan mengiringi kepergian bocah itu.
Merasa seseorang yang sedari tadi ia tunggu telah keluar, pria bersurai kehijauan itu kembali menolehkan wajahnya kearah pintu ruangan Viola. Pria itu menemukan istrinya yang melangkah mendekat kearahnya sambil tersenyum.
Keduanya saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya tangan Zoro bergerak untuk mengambil jemari istrinya lalu menggenggamnya dengan erat.
"Ayo kita pulang, Sayang."
- TAMAT –
***
Haloo, terima kasih buat teman-teman yang udah mampir ke cerita ini!!
Aku ingetin lagi, cerita yang ada di wattpad ini hanyalah narasi dalam cerita seluruhnya.
Kalau kalian mau baca cerita ini dengan versi lengkapnya (ada bagian story chat) kalian bisa mampir ke Twitter aku di @meowllorine yaaaa!!!
Kalau di twitter lebih seru lagi doalnya kalian bisa liat versi zorobin dan yang lainnya dalam bentuk chatan heheheee...
JADI, JANGAN LUPA MAMPIR KE TWITTER AKU YAAAAA!!!!!!
- Salam hangat, Meowllorine.
KAMU SEDANG MEMBACA
(One Piece Zorobin FF) We Never Get Fu*king Married
FanfictionCerita tentang Zoro dan Robin yang tidak pernah tertarik dengan yang namanya pernikahan. Karena terpaksa dan pusing mendengar omongan orang lain mengenai pernikahan, keduanya pun menyetujui untuk menikah. Berjanji tidak untuk saling membenci dan men...