PULANG

1 1 0
                                    

ALO POV

Tubuhku lelah pikiranku letih, selama di pesawat aku tidur tanpa menikmati penerbangan ku. Aku terbangun karna announcer menginfokan landing pesawat dengan nomor penerbangan 34587E pesawat yang kutumpangi akan mendarat sepuluh menit lagi. 

Aku menuruni anak tangga dengan nanar, kantukku belum reda. Setelah pemeriksaan dan pengambilan barang, aku langsung berjalan keluar bandara Soekarno-Hatta. Entahlah pikiranku semakin kacau saja, aku menaiki taksi berlogo biru. Aku memang sudah berada di Jakarta, rasanya ada sesuatu yang tertinggal di Surabaya pun sudah terbagi dengan yang ada di Sorong.

Perlu tujuh kali bagi si sopir untuk membangunkanku. Usai membayar tarif taksi, aku segera membuka pintu rumah dan menyelonong ke kamarku. Aku melempar tubuhku ke kasur memeluk guling sambil memejamkan mata. Beberapa barangku masih berdiri di pintu kamar.

                          ✍️✍️

Aku terbangun ketika jam bekerku berteriak, tanda waktu shalat sudah masuk. Mataku terbuka dengan otomatis, usai berputar dan merusak sepraiku. Aku melangkah menuju dapur, hanya ada setumpuk piring dan gelas. Aku memutuskan untuk segera mandi dan bergegas keluar mencari apapun yang bisa menyumpal lambungku. 

Pukul 16.30 WIB, aku menikmati sepiring nasi Padang full dan lengkap. Rasa letih terbayar dengan menu di depanku, aku melahapnya tanpa ampun tidak lupa berteriak "tambuah" ketika nasi berkuah di piringku habis. Setelah tandas sepiring dendeng kering cabe ijo khas Minang berikutnya habis pula gulai kuning daun singkong. Perihal masalah usus memang sudah diamankan, tapi tidak dengan tetangganya yang belum bisa diobati. Hati!

Air di dalam gelas laksana laut yang memisahkan aku dan Zain. Sedang aku dengan yang di Surabaya pun terpaut jarak yang membingungkan. Gelas ditanganku menari-nari layaknya globe yang berputar. Dentang jam sudah tidak terdengar di telinga, lantunan azan menyadarkan aku dari lamunan. Aku menarik napas panjang dan berusaha memasukkan banyak oksigen ke otak agar tidak terus berlarut dalam pikiranku sendiri. Aku mengeluarkan ponselku mengetikkan pesan pada Zayn walaupun harga diriku saat ini tengah diskon sembilan puluh lima persen.

Hatiku harap-harap cemas, aku lega namun juga resah. Tidak akan ada apotik yang menjual obat untuk mengatasi ini, jadi mau tak mau aku tidak memberinya obat. Satu menit terasa bagai satu bulan, aku hanya berjalan tidak tau tujuan. Apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi, aku terjebak rasa di zona nyaman. Lucunya, dulu aku menolak mengakui perasaanku, aku menertawakan logika. Kini malah terperangkap dalam keangkuhan rasa.

Jika google map menyediakan rute putar balik aku mau menempuhnya agar segera enyah dari jalan rindu. Entah sejatinya atau hanya sementara, ini benar-benar sangat melelahkan.  RINDU.....!!

                         ✍️✍️

Aku menyeruput kopi hangat bersama atasan baruku di Rumah Kopi tak jauh dari kantor.
Orangnya cukup gentle, rambutnya merah cokelat dengan gaya mesy, matanya hitam tajam, garis wajahnya mirip Robert Pattinson. Gagah, hanya saja hatiku tidak bisa berpindah rasa. Aku heran, sudah dua kali ia mengajakku makan siang di luar. Tapi aku selalu menolak, naasnya seniorku membuatkan janji agar kami bisa minum bersama. Aku menyumpahi Bang Aldi setengah mati karna teganya dia menjebakku! Iya dialah biang keladi, parasit tak berotak!!

"Ananta..?" Sadar, Robert Pattinson palsu ini melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku hanya melirik sekilas dan bersikap cuek saja. Semoga saja dia cepat berlalu dari fase hidupku.

"Ananta, kamu oke?"

"Oke."

"Seriously?"

"Matamu siwer apa gimana?" Jawabku mulai kesal.

Keningnya mengerut, "Sorry, sorry. Aku salah ngomong ya..," ucapnya mencoba ramah. Bodo amat, aku tidak peduli dengan dia.

Aku menatap sekitar untuk mengalihkan waktu, aku menunggu telpon agar bisa dijadikan alasan untuk segera pergi. Anehnya tak ada satupun panggilan, pasti si kutu Aldi sudah mewanti-wanti temanku agar tidak menelepon. Daneswara, bule palsu di depanku mencoba bicara apa saja namun aku tidak menanggapinya sehingga pengunjung kedai kopi ini menatapnya aneh sampai kasihan.

"Kamu menunggu apa Ananta?" tanyanya.

"Menunggu anda berhenti bicara," ujarku tanpa rem.

"Saya mengganggumu?" ujarnya memastikan. Tanpa rasa berdosa aku mengangguk yakin sekali.

Wajahnya yang tadi ramah mulai membuka topeng, matanya menajam menghujamku. Semoga saja dia tidak memakanku karna rupanya seperti Edward yang ingin melawan Aro di serial Twilight.

"Kamu bisa menghargai saya?!!" ucapnya berteriak jengkel mengundang perhatian seisi kedai.

"Berapa hargamu?" tanyaku kelewat santai.

"Ananta Lo Firma!!!" 

                          
                           ✍️✍️

DIALOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang