23. Kembang Api di Malam Abadi

43 9 0
                                    

Viatrix terbang memunggungi kapal besar yang baru datang. Kami berusaha untuk pergi sejauh mungkin, setidaknya aman dari jarak tembak kapal itu. Suara si pemimpin kapal masih terdengar dari saluran komunikasi.

Aku memperhatikan wajah serius Kapten. Matanya menyipit, menatap tajam wajah yang muncul di layar.

"Aku tak ingin berurusan denganmu," ucap Kapten.

"Setelah kau hancurkan kapal bawahanku?" balas Cox, seseorang yang muncul di saluran.

"Bawahanmu membunuh rekan perompakku. Kau harus tahu itu!" Kapten membentaknya.

Cox tersenyum licik. "Aku turut berduka."

"Dengar kau!" ucapku. "Kami tak ingin terlibat apa pun denganmu lagi, dan akan pergi dari sini. Jika kau membiarkan kapal ini pergi, kau tak akan melihat kami lagi, dan kau bisa menghabiskan masa pensiunmu di Erenam dengan damai."

"Sayangnya aku datang ke sini bukan untuk tawar-menawar," balasnya.

Saluran komunikasi terputus. Wajah orang terkutuk itu tak tampak lagi. Sementara Kapten terlihat sedang berpikir keras.

"Maksimalkan pertahanan. Buat jalur memutari kapal musuh, dan perhatikan jaraknya," perintah Kapten.

Viatrix memperkuat perisai energinya. Sembari mencari cara untuk melarikan diri dari kapal Cox, Kapten memberi perintah untuk bertahan. Menyerangnya tak akan efektif dan hanya buang-buang tenaga.

Kapal itu panjangnya dua kali lipat dari Viatrix, juga lebih lebar. Dengan konstruksi dinding kapal yang jauh lebih tebal, atau bahkan perisai daya yang lebih kuat, sebuah tembakan dari Viatrix mungkin hanya terasa seperti sentilan jari.

Kapal itu mengirimkan serangan pembuka. Anjungan langsung berguncang. Meski begitu, serangan masih bisa diredam oleh perisai daya.

"Kecepatan penuh!" teriak Kapten. Fokusnya saat ini adalah menjauhi kapal besar yang ada di belakang.

Kami berhasil memperlebar jarak, sehingga Viatrix tak berada dalam jarak tembaknya. Pergerakan kapal yang lebih kecil akan jauh lebih lincah ketimbang yang lebih besar. Dan kami berhasil menggunakan keunggulan itu.

"Kapten, apa yang akan kita lakukan?" aku bertanya.

Kapten berdiri menopang dagu. "Biarkan aku berpikir." 

Pantauan radar menunjukkan pasukan pesawat tempur yang mengarah kepada Viatrix. Mereka memberi tembakan, tetapi tak memberi kerusakan yang berarti. Perisai daya Viatrix masih bisa meredam serangan yang datang, tetapi bukan saatnya untuk terdiam.

Saviela berteriak dari posnya. "Kapten, musuh mengirimkan pasukan kepada kita!"

Kapten menggebrak meja kendali. "Mereka benar-benar tidak datang untuk main-main."

Pesawat tempur yang dikirim musuh tak berhenti menyerang Viatrix. Jika dibiarkan, kerusakan bisa saja terjadi.

"Kapten, aku akan urus yang datang," ucapku.

Kapten menoleh ke arahku dan memberi tatapan tajam. "Kau yakin?"

Aku mengangguk. "Aku akan baik-baik saja."

Aku melangkah meninggalkan anjungan. Kapten menarik tanganku, sehingga langkahku harus terhenti. Aku menatap wajahnya yang tampak khawatir. Tatapannya kosong, serta ekspresinya begitu datar.

"Kembalilah dengan selamat. Aku tidak mau kehilangan lagi."

Aku terdiam sembari mencoba meyakinkan Kapten. Sepertinya, dia masih teringat apa yang terjadi pada Kaal ketika kami di Gundarna. Saat ini, aku dihadapkan pada situasi yang sama seperti saat itu. Namun kali ini, aku tak bisa hanya diam di anjungan.

Viatrix Space PiratesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang