4. Who?

157 22 18
                                    

Heksa menapakkan kakinya di sebuah ruangan serba putih. Di tengah meja terdapat nametag dari seorang dokter bergelar M.Psi.

"Udah datang kamu?"

Seorang pria paruh baya yang duduk di kursi kebanggaannya itu menyapanya. Heksa menutup pintu ruangan yang tadi ia lewati.

"Sorry telat, Yah"

"Duduk!" Perintah sang paruh baya.

Heksa menuruti perkataannya dan duduk di kursi yang berseberangan dengan posisi orang yang ia panggil 'ayah'.

"Are you okay, boy?" Tanya sang ayah langsung pada intinya. Melihat cekungan hitam di bawah mata anaknya saat ini membuatnya sedikit khawatir.

Mereka jarang bertemu akhir-akhir ini dikarenakan kesibukan si ayah yang berprofesi sebagai psikolog. Hanya ada beberapa kesempatan waktu yang diambil untuk bertemu seperti saat ini. Heksa bahkan masih memakai seragamnya karena baru balik sekolah.

"Yeah...you know it"

Sang ayah memindahkan satu paperbag yang ada di bawah meja menjadi di atas meja. "Steak dari restoran kesukaanmu, jangan lupa di makan buat makan siang"

Heksa menerima paperbag itu dengan senang hati. Ia lalu menatap nametag bertuliskan nama ayah-nya yang tergeletak di meja depannya.

Partanca M.Psi.

"Tanda pengenalmu sudah mulai usang, Yah," ucapnya sambil mengelus kayu persegi panjang dengan ukiran nama di atasnya.

Panca, itulah nama yang kerap dielu-elukan orang di sekitar ayah Heksa. Banyak orang menghormati pak tua itu karena sudah menjadi senior di dunia psikologis. Berbagai jurnal dan buku yang ditulisnya berhasil membantu banyak orang di luar sana yang membutuhkan ide dan gagasannya. Tapi entah kenapa selama kurang lebih dua puluh tahun ini ia bekerja tidak pernah sekali pun berniat mengganti nametag yang ada di mejanya. Yang biasanya banyak ditemui sekarang nametag terbuat dari bahan yang lebih modern seperti logam, tetapi berbeda dengan milik Panca yang masih menggunakan nametag berbahan kayu itu untuk dipajang di mejanya.

"Ga ada sesuatu di dunia ini yang selamanya akan indah Sa, termasuk tanda pengenal ini"

Heksa menatap ayahnya dengan pandangan bingung, dia mencoba memahami makna tersirat yang ayahnya coba sampaikan.

"Jika sesuatu sudah tidak lagi bisa digunakan maka ayah sendiri yang akan menggantinya dan hal itu tentunya membutuhkan sesuatu yang baru juga, benar bukan?"

Okay, sepertinya Heksa mulai menangkap sinyal yang ayahnya berikan, tetapi ia lebih memilih diam. Sudah cukup banyak perdebatan tentang topik itu, tetapi sampai saat ini Heksa masih belum berubah pikiran.

"Zero mengabari ayah lagi tadi, dia masih ingin merekrutmu di agent baru buatannya"

"Dan jawabanku tetap sama seperti sebelumnya"

Panca menghela napas, menghadapi sosok keras kepala seperti Heksa tidak akan ada habisnya. "Kamu sudah jadi anggota ornamen satu tahun yang lalu Sa, dan ini udah saatnya kamu berbaur dengan anggota lain serta melaksanakan misi yang diberikan"

Heksa meremat paperbag yang ada di depannya sebagai wujud rasa kesalnya. Entah sampai kapan ia akan dihantui oleh organisasi ini.

"Aku bergabung tidak atas dengan persetujuanku karena ayah sendiri yang mengajukan namaku," Heksa mengambil napas sedalam mungkin untuk mulai melanjutkan bicaranya.

"Aku gak mau berhubungan dengan organisasi bahaya kayak gitu, aku cuma mau punya kehidupan yang normal seperti orang pada umumnya"

Heksa berdiri dan meraih paperbag-nya. "Udah cukup pembicaraannya, kalau ayah mengundangku cuma karena ini mending kita gak usah ketemu sekalian karena keputusanku sudah bulat. Terima kasih makanannya"

OrnamenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang