2. Gun

197 23 18
                                    

Suara derit pintu yang terbuka memecah keheningan di sebuah apartemen. Zoe membawa Shan untuk masuk ke dalam apartemennya sebelum menguncinya pintunya dari dalam.

"Masuk aja, ga usah malu-malu kek tai kucing" ucapnya ketika menyadari kalau Shan terlihat canggung ketika memasuki apartemen sepi miliknya.

"Lo beneran tinggal sendirian di apartemen seluas ini?"

Mata Shan menelisik ke semua sudut ruang. Walaupun tidak terlihat rapi-rapi amat tapi cukup bagus untuk ditinggali seorang berandalan seperti Zoe. Lalu ia memilih mendaratkan tubuhnya di sofa depan tv.

"Kenapa kalo sendiri, lo mau numpang hidup di sini?"

"Boleh emang?"

Sebuah bantal sofa melayang ke badan Shan, ia yang tidak cekatan membuat bantal itu mengenai langsung ke arahnya. Sementara pelakunya dengan tidak berdosanya berdiri di ujung sofa sambil berkacak pinggang menatapnya.

"Ga tau diri lo"

"Santai elah mbak, gue cuma nanya"

"Bacot, mending bantu gue keluarin makanannya"

Zoe mengambil satu paper bag yang ada di meja dapur lalu menaruhnya di meja depan Shan. Mereka tadi sempat delivery ke toko makanan cepat saji sebelum ke apartemen untuk mengisi perut, karena sudah jelas bahwa Zoe sang pemilik apartemen tidak akan bisa memasakkan sesuatu untuk Shan. Skill memasaknya benar-benar sangan hebat, hebat karena bisa membuat satu apartemen terbakar.

Setelah semua makanan berjejer rapi di sana, Zoe ikut duduk bergabung dengan Shan.

Shan dan Zoe sudah berteman sejak tahun pertama masuk SMA, tapi mereka belum seterbuka itu satu sama lain. Kedekatan mereka hanya sebatas teman main dan rekan belajar saja. Soal keluarga, Shan hanya tau kalau Zoe memiliki kembaran dari kelas sebelah yang bernama Zio. Menurut Shan gadis di sampingnya ini hidupnya terlalu misterius, jadi sebuah keterkejutan sendiri ketika ia sendiri mengundangnya ke tempat pribadi milik gadis itu.

"Mau ngobrolin apa sampe repot-repot ngajak gue ke istana lo yang ga seberapa ini?" Shan mencoba memulai percakapan yang sepertinya akan berlangsung agak lama kali ini.

"Gabut aja"

"Lo kalo gue pukul marah ga, Zoe?"

_____________

Hari masih pagi bahkan matahari pun masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Dinginnya suhu tidak membuat seorang Marka mengurungkan niat untuk mandi pagi.

"ABANG MANDINYA CEPETAN, JANGAN MAIN-MAIN MULU!"

Teriakan Dio, sang kepala keluarga begitu kencang terdengar hingga ke telinga Marka yang masih berada di kamar mandi. Ayahnya sudah seperti perempuan di saat seperti ini, terlalu cerewet.

Tak lama dari suara teriakan itu, Marka keluar dari kamarnya dengan mengenakan baju santai. Karena hari ini weekend jadi dia tidak memiliki jadwal apapun.

Marka mendudukkan pantatnya ke salah satu kursi yang ada di ruang makan. Di depannya kini sudah ada menu sarapan buatan ayahnya. Omelet sayur dengan sedikit taburan bubuk cabai di atasnya, tampilannya sangat menggoda tapi tidak tau dengan rasanya.

"Kamu hari ini ga ada jadwal kan? tolong nanti anterin galon ke mang Baron ya," pinta Dio. Ia lalu memilih duduk di kursi yang posisinya berhadapan dengan Marka.

Sudah menjadi konsumsi publik jika keluarga Marka membuka jasa pesan antar galon. Jika dilihat dari luar, mereka hanyalah keluarga sederhana yang tinggal di rumah dengan satu lantai. Padahal ada filosofi tersendiri yang orang awam tidak ketahui. Marka juga tidak perlu malu dengan kondisi keluarganya walaupun posisinya sekarang adalah seorang ketua OSIS yang sangat disegani oleh seluruh warga sekolah.

OrnamenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang