7. Board

129 21 1
                                    

Ketika sebuah kain putih terbuka disitulah permulaan dari sesuatu yang besar terjadi. Entah itu sesuatu yang buruk atau justru kebalikannya.

Generasi baru telah memulai petualangan menyelesaikan misi demi misi yang akan dihadapi. Gudang samping sekolah telah menjadi saksi bisu dimulainya awal yang baru.

Di whiteboard depan mereka kini telah terpampang nyata grafik sebuah kasus yang akan mereka selesaikan.

Heksa tercekat ketika melihat foto Angkasa Pradipta ukuran 3×4 tertempel dengan posisi paling atas pada papan itu.

Yuto mengamati raut wajah rekan-rekannya yang menunjukkan berbagai macam ekspresi. "Kalian tentunya tahu mengenai kasus ini, bukan?"

"Kenapa harus kasus itu? Bukannya kasusnya udah selesai?"

Yuto tersenyum karena merasakan lonjakan antusiasme dari semua orang yang ada di ruangan ini. "Pertanyaan yang bagus, Irish. Seperti yang kalian ketahui bahwa polisi sudah menutup kasus ini dan menyimpulkan penyebabnya hanya kecelakaan yang tidak disengaja. Supir truk yang menabrak juga sudah diberikan hukuman, tapi apa kalian yakin dengan hal itu? Tidakkah dari kalian ada yang merasa hal ini begitu mengganjal?"

Mereka semua diam, tidak ada yang berani menyuarakan pendapat.

Zio menatap ke arah Zoe sesaat dengan pandangan yang tak dapat diartikan kemudian kembali menatap Yuto. "Kenapa sampai repot-repot membuka kasus yang sudah diadili? Apa ga ada kasus lain yang lebih penting sedikit?"

"Jika memang kasusnya tidak sepenting itu maka Ornamen tidak akan mungkin mau mencampurinya, Robin," jawab Yuto.

Marka mulai membuka suara. "Yuto bener, gue udah ngerasa dari awal kalau kasus ini ada hubungannya sama Ornamen."

Shan seketika teringat akan sesuatu mengenai Angkasa Pradipta, hingga refleks bersuara. "Lo temennya Angkasa kan, Sa? Pasti lebih tau apa yang terjadi."

Heksa menatap Shan sekilas, ini adalah interaksi pertama mereka setelah beberapa lama tidak saling menegur.

"Panggil dengan nickname. Don't forget, Irish!" Tegur Yuto membuat Shan menyadari kesalahannya dan merutuki mulutnya sendiri.

"Sorry, gue belum terbiasa."

"It's okay, bisa pelan-pelan," ucap Marka menengahi.

Bukan karena Shan adalah adiknya jadi ia membela, tetapi karena Marka memaklumi semua anggota yang masih asing dengan nickname baru mereka, apalagi jika sebelumnya sudah mengenal satu sama lain sebagai sosok di kehidupan sehari-hari.

"Orca, lo ada tanggapan soal ini ngga?" Tanya Marka mengulangi inti yang telah ditanyakan Shan tadi.

"Yang gue tau Ornamen berurusan sama kejadian itu. Gue pernah liat orang yang ada tato naga di lengan kirinya waktu gue diselidiki sebagai saksi, itu identitas petinggi Ornamen kan?"

Wiora melirik Heksa yang berada di sampingnya. "Itu doang?"

"Ya cuma itu yang gue tau, kalo semisal gue tau lebih dari ini mungkin sekarang gue gak sama kalian dan sibuk nyari pelakunya sendiri."

Yuto menganggung paham, dia kemudian memilih untuk duduk lagi di kursinya.

"Biar gue jelasin dikit," Marka, sang leader beranjak dari kursinya, mengambil spidol dan berdiri di depan papan putih.

"Menurut informasi yang gue terima, Angkasa merupakan anak pengacara yang sering disewa oleh beberapa petinggi di negara ini. Ada informan Ornamen yang bilang kalau anak ini tau sesuatu tentang organisasi ini, Angkasa sendiri yang ngomong langsung ke informan ini lewat chat. Mereka akhirnya bikin janji temu tepat ketika kecelakaan itu terjadi."

OrnamenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang