Author POV
"I'm so mature, i'm so mature~ im so mature, i got me a therapist to tell me there's other men i don't want none, i just want you—"
"Cha, berisik." Tegur Jennie.
Namun gadis itu tidak perduli. Ia malah melanjutkan lagi kegiatan bernyanyinya sambil berjoget-joget, memegangi sapu lantai.
"If i can't have you, no one should~ I might, i might kill my ex~" Chahee semakin menyaringkan suaranya.
Irene terkekeh saja melihat Jennie yang memutar bola matanya, jengah.
Chahee memang terkenal memiliki suara yang merdu, ia suka sekali bernyanyi. Berbeda dengan Jennie dan Irene yang sifatnya dominan anggun, sifat Chahee justru agak centil.
"Jen, ntar malem jadi ya? Gue bakal chat lo sekitar jam tujuh, jangan lupa." Irene berucap sambil membereskan beberapa bukunya.
"Iya, nanti gue dateng bareng Chacha."
Jennie sudah bersiap-siap ingin pulang. Sambil menggendong tas miliknya di belakang bahu, Jennie sempat mengatakan kepada Irene dan Chahee, bahwa ia akan pulang lebih dulu.
Kedua gadis itu mengacungkan jempol. Setelahnya, Jennie pun mulai berjalan untuk menuju keluar kelas.
Hari ini Jennie sengaja tidak pulang bersama mereka, karena sang ayah telah menunggunya di depan gerbang sekolah.
Namun, belum sempat kedua kaki Jennie melangkah lebih jauh. Tubuhnya refleks berhenti. Ketika ada tubuh lain yang tiba-tiba saja menghalangi jalan Jennie. Ia lalu menengadah. Langsung menatap tajam mata Lisa, dengan raut wajah datarnya yang khas. Menandakan bahwa Jennie sangat tidak suka.
"Mau apa lo?"
"Gue diminta Bu Angeline buat ngajakin lo belajar bareng untuk persiapan olimpiade sains internasional."
"Ck, gue udah bilang, gue itu bisa belajar sendiri. Minggir deh, gue sibuk."
Jennie kemudian mengibaskan kedua tangannya. Menyuruh agar gadis jangkung itu tidak menghalangi jalannya.
Tetapi sepertinya Lisa sedang tertarik untuk mencari perkara.
Ia bukannya langsung membukakan jalan, yang ia lakukan justru malah melipat kedua tangan di atas perut. Balas menatap netra Jennie dengan tatapan yang dalam.
Tentu saja Jennie langsung naik pitam.
Air mukanya kian mengeruh tidak suka. Jika saja di hadapannya saat ini adalah seseorang yang tidak berpendidikan, mungkin Jennie sudah sejak tadi mendorong tubuhnya.
"Lo mau apa lagi sih?" Hardik Jennie.
"Kasih gue pertanyaan tersusah dalam pelajaran biologi. Kalo gue berhasil nemuin jawabannya, lo harus ikut gue buat belajar bareng."
"Gak. Ngapain ribet-ribet nantangin lo, lo kan udah pasti kalah kalo soal biologi."
"Bukannya kebalik ya? Lo yang lebih pasti bakal kalah kalo soal astronomi."
Kini keduanya menjadi sorotan satu kelas.
Sebagian dari mereka mulai bersorak-sorak. Ada yang memihak pada Lisa dan sebagian ada pula yang memihak pada Jennie.
Perseteruan antara dua gadis pintar ini memang nyaris setiap hari selalu terjadi.
Kehebohan itu sekarang kian membesar. Tidak hanya murid 12 IPS 1 yang menyaksikan, tetapi juga murid-murid yang melewati kelas di sana—mereka semua sengaja berhenti. Berusaha mengintip dengan penuh rasa penasaran lewat kaca-kaca jendela.
Jennie menatap tajam sorot mata obsidian Lisa. Apalagi ketika raut wajah gadis itu masih menyeringai tipis di hadapannya. Seolah-olah tengah meremehkan Jennie.
"Deal, gue terima tantangan lo. Tapi dengan syarat, kalo lo kalah, lo harus jadi babu gue selama tiga hari."
"Hukuman yang harus gue lakuin jadi ga fair dong kalo gitu? Sedangkan lo cuma harus belajar bareng sama gue doang." Sahut Lisa.
Ia adalah sosok yang begitu detail. Dirinya tentu tidak akan menerima begitu saja.
"Ya kalo lo menang, lo juga boleh minta apapun yang lo mau dari gue."
"Oke, deal." Lisa tersenyum.
Jennie menghembus nafasnya berat. Sejenak ia memandangi Lisa, Jennie akui gadis tinggi ini memang pintar. Tapi cukup menyebalkan juga sifatnya.
"Jadi, apa pertanyaannya?" Lisa berkata.
"Kali ini murni dari pemikiran gue sendiri. Dengerin baik-baik dan pasang telinga lo, karena gue ga akan ngulang pertanyaan ini lagi, even lo ngerengek dengan alasan ga denger."
Lisa masih sekedar tersenyum sudut bibirnya. Baiklah, ia akan mengikuti kata-kata Jennie.
Ruangan kelas mendadak jadi hening. Seisi murid yang ada di dalam kelas pun, mereka semua tidak ada lagi yang berani berbicara. Sampai-sampai beberapa di antara mereka bahkan ada yang bernafas dengan sangat pelan. Agar tidak menimbulkan suara barang sedikit saja.
Jennie perlahan-lahan melangkahkan kedua kakinya maju. Ia sama sekali tidak ada tersenyum.
Hingga gadis itu sampai di hadapan tubuh Lisa. Jennie berhenti tepat di sana. Netra tajamnya tampak menusuk dalam pandangan Lisa.
"Gimana persisnya dan kapan kehidupan di bumi ini berasal? Kalo Adam dipercayai adalah sosok manusia pertama yang fisiknya sempurna, terus manusia purba itu apa? Apakah dia termasuk dalam sebuah evolusi Darwin? Salah satu dari banyaknya hipotesis yang menurut lo paling bener, mana yang paling masuk akal?" Ucap Jennie lantang.
Melihat reaksi kedua tangan Lisa yang refleks turun di sana, Jennie menaikkan alisnya. Menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh Lisa.
Namun hingga sampai beberapa detik berlalu, Lisa ternyata masih saja terdiam di tempatnya. Tidak ada menjawab sepatah kata.
"Eh Lisa beneran ga bisa jawab?"
"Itu termasuk pertanyaan yang susah ga si?"
"Gila deh pemikiran Jennie, pertanyaan itu bahkan semua ilmuwan aja masih belum bisa mastiin tentang jawabannya."
"Jennie mah curang, palingan dia liat di google."
"Si tolol, Jennie aja dari tadi ga ada buka hp."
"Kira-kira Lisa bakal kalah ga ya?"
"Kayanya dia udah kalah deh, dari tadi kan dia cuma diem doang."
Sudut bibir Jennie lantas menyeringai. Ia kemudian berdehem singkat, membuat seluruh atensi yang ada di sekitarnya seketika langsung tertuju kepadanya.
"Semua orang yang ada di sini jadi saksi. Mulai besok, sampai tiga hari ke depan, Naraja Lalisa itu milik gue." Ucap Jennie telak, tepat di hadapan wajah Lisa.
••••••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBISIUS - JENLISA ✔
General Fiction❝ Pernah ga liat dua cewe pinter berantem karena teori? Kalo belum, sini kenalan sama mereka. ❞