Author POV
"Jennie Adira dan Naraja Lalisa. Untuk hari ini kalian ibu gabungin jadi satu kelompok ya, buat rangkuman mengenai materi Hereditas, lalu kumpulkan dalam bentuk power point."
Dan itu adalah kalimat sederhana yang berakhir membuat Jennie sekarang harus terpaksa duduk berduaan dengan Lisa, pada kursi yang berhadapan dalam satu meja yang sama.
Kelas mereka sedang diberi tugas kelompok. Dengan maksimal dua orang anggota dari masing-masing kelompok itu.
Awalnya sempat terjadi kericuhan.
Murid yang lain berbondong-bondong protes kenapa si juara-juara kelas justru malah digabungkan dalam satu materi yang sama.
Namun akhirnya sang guru itu hanya memberikan jawaban bahwa, beliau tak memiliki banyak waktu. Setelah pembagian kelompok selesai pun, beliau langsung berlalu pergi. Meninggalkan amanah pada si ketua kelas untuk jangan terlalu ribut nantinya.
Berada dalam satu kelompok yang sama dengan Lisa bukanlah hal yang baru lagi untuk Jennie. Mereka kerap kali digabungkan, namun baru kali ini. Jennie benar-benar tidak bisa berkompromi dengan perasaannya.
Melihat kondisi tangan Lisa yang tengah disangga—sesekali gadis itu pun kesusahan saat ingin melakukan sesuatu—membuat hati Jennie jelas makin merasa bersalah. Separah itu ternyata perbuatannya.
"Menurut lo kenapa manusia punya golongan darah yang berbeda-beda?"
Seketika lamunan Jennie terhambur. Sorot matanya lantas membalas tatapan Lisa.
"Ya karena kan manusia juga memiliki antigen yang berbeda-beda di setiap sel darah mereka."
"Kalo golongan darah lo apa?"
"B."
"Gue B juga."
Lisa tersenyum di hadapan Jennie. Sebuah senyuman yang tampak tak ada guratan dendam sedikitpun di dalamnya, yang membuat perasaan Jennie terus gelisah. Ia makin merasa bersalah.
"Kali ini gue yang ngerangkum materi, nanti lo aja yang ngetik ya? Pake laptop lo dulu, nanti ppt-nya boleh lo pindahin aja ke flashdisk gue biar gue yang ngumpul."
Jennie sekedar mengangguk. Menuruti segala instruksi dari Lisa.
Gadis itu kemudian kembali tersenyum, matanya dengan setia masih memperhatikan Jennie.
"Lo lagi kenapa deh? Kok tumben ga cerewet? Biasanya protes terus, pengennya lo aja yang nyari materi." Sapa Lisa.
"Gapapa, lagi ga mood doang."
"Ga moodnya kalo bisa jangan dibawa ke kerjaan kelompok ya, nanti ganggu."
Tak sampai satu detik, raut muka Jennie berubah masam. Sedangkan Lisa justru tengah menertawakannya.
"Becanda."
"Ngeselin lo. Gue udah mau minta maaf buat soal tadi malem, tapi ga jadi ajalah. Males."
"Iya gapapa, lagian ini juga ngga sepenuhnya salah lo kok."
Jennie tidak lagi perduli. Fokusnya kini terarah pada sebuah laptop yang sedari tadi masih menyala di hadapan Jennie. Ia lalu meraih benda persegi itu.
Mulai memainkan jari-jarinya di atas keyboard laptop. Mengetik lebih dulu tentang judul dari materi yang akan mereka ambil, lalu mencari berbagai macam tema apa yang cocok untuk tampilan power point mereka nantinya.
"Jen."
"Hm?"
"Hereditas itu menurut lo berpengaruh ke pola tingkah laku manusia juga ga?"
Jennie menatap Lisa.
"Ngga." Jawabnya.
"Kenapa gitu?"
"Karena hereditas itu kan arah penurunannya adalah ke bentuk fisik. Bukan penurunan tingkah laku dari si orang tua."
"Tapi ada loh teori yang ngejelasin kalo hasil dari pewarisan hereditas itu akan berpengaruh ke tingkah laku seseorang?"
"Iya, kalo lo nanya soal pengaruhnya ya pasti ada. Maksud lo itu kaya misalnya dia buta warna, otomatis dia ngerasa penglihatan yang dia rasain itu udah paling bener sedangkan menurut kita itu apa ya—ga bisa dibilang salah juga sih—tapi beda gitu. Nah itu tuh berdampak ke tingkah laku dia yang harus nyesuain diri terhadap lingkungan sekitar, kan? Kaya gitu?" Jelas Jennie.
"Iya, maksud gue kaya gitu." Lisa mengangguk sambil tersenyum.
Jennie itu juga memiliki sisi yang anggun menurut Lisa.
Seperti barusan, mungkin Jennie sendiri tanpa sadar ia telah menjelaskan pada Lisa dengan nada suara yang sangat halus serta begitu alun. Paham sekali Lisa setelah mendengarnya.
"Lisa."
"Apa?" Lisa menaikan alis, tetap memandangi raut wajah Jennie.
"Jangan malah liatin gue terus. Cepet selesain tugas lo, gue udah gerah banget duduk di sini. Pengen pindah."
"Udah selesai kok dari tadi."
"Cuma gue penasaran aja pengen nanya-nanya. Pengetahuan lo tentang biologi ternyata emang luas banget ya, lo cocok kalo jadi psikolog."
Jennie mendengus. Tak sepenuhnya percaya pada perkataan Lisa yang tengah memujinya. Sebab gadis itu sudah sering sekali hanya sekedar mempermainkannya saja.
Kemudian Jennie mengarahkan layar laptop ke hadapan Lisa. Memperlihatkan sebuah tema untuk powe point yang sudah Jennie pilih dan tinggal meminta persetujuan dari gadis di hadapannya.
"Temanya yang ini mau ga?"
"Lucu banget ada peach-peach gitu."
"Setuju ga?"
"Iya, gue ngikut lo aja."
"Okay."
Layar laptop itu lalu Jennie putar lagi untuk menghadapnya. Jari-jari Jennie kembali menari-nari di atas keyboard, omong-omong perihal menulis juga adalah salah satu kesukaannya.
"Jen."
"Bentar, gue selesain ini." Balas Jennie sembari atensinya masih terpusat pada layar laptop.
"Liat deh."
"Bentar ih kata gue."
"Coba liat dulu, lima detik aja."
Terdengar sebuah helaan nafas berat dari bibir Jennie. Tetapi kemudian ia tetap mengikuti perintah Lisa. Jennie menatap Lisa sejenak.
Namun ternyata gadis itu hanya sedang tersenyum. Tak ada sesuatu apapun yang ditunjukkan olehnya. Satu alis Jennie lantas terangkat naik, raut wajahnya begitu datar.
"Apaan?"
"Gapapa."
"Serius, Lisa. Apa?"
"Gapapa, lo lucu aja kalo lagi nurut."
"Dih? Ga jelas."
Jennie sudah berniat akan memalingkan wajah. Tapi tak sampai dua detik kemudian, Lisa tiba-tiba saja memegangi tangan Jennie.
Membuat kedua tatapan mereka lantas saling bertemu kembali.
Namun itu tak bertahan lama ketika Lisa yang perlahan-lahan mendekatkan bibirnya ke telinga Jennie. Suara maskulin Lisa setengah berbisik dengan teramat lembut di sana.
"I like your eyes, chér."
••••••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBISIUS - JENLISA ✔
General Fiction❝ Pernah ga liat dua cewe pinter berantem karena teori? Kalo belum, sini kenalan sama mereka. ❞