9. Bambam?

5.8K 1.1K 80
                                    

Author POV

Bunyi dentuman sebuah bola basket yang memantul di lapangan semen itu terdengar seirama.

Menggunakan satu tangannya, ia berlari-lari kecil sambil menggiring bola basket itu hingga sampai jarak satu meter dari tiang ring. Dan, sudut bibir Bambam lantas tersenyum bangga ketika lemparan dari bola basketnya berhasil masuk sempurna ke dalam sana.

Bola itu kemudian digiringnya lagi. Menghampiri eksistensi Lisa yang sedang duduk tak jauh darinya.

Sedari tadi, gadis jangkung itu hanya melihat permainan Bambam. Sebab satu tangannya masih disangga, sehingga dia tidak bisa ikut bermain basket seperti biasa.

"Gue makin ngerasa keren aja kalo lo lagi lumpuh gitu."

Sebuah decakan malas terdengar dari belah bibir Lisa. Bambam balas tertawa, lalu ia memilih untuk duduk sejenak di samping Lisa.

"Kalo tangan gue udah sembuh, kita taruhan deh. Misal lo menang, lo bakal gue traktir makan di Starbucks." Ucap Lisa.

"Deal. Tapi kalo lo yang menang, gue ga berani traktir apa-apa. Lo kan udah punya segalanya, kecuali Jennie."

Sekali lagi Bambam tertawa gelak melihat perubahan raut wajah Lisa yang kemudian mendelik sedikit tajam ke arahnya.

Kemudian Lisa menghela nafas.

Punggungnya bersandar di sandaran kursi panjang yang sedang ia duduki. Sedangkan Bambam, pemuda itu tengah meminum sebotol air mineral.

Meskipun hawa dingin dominan menyelimuti, karena jam saat ini sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Namun Bambam justru merasa sebaliknya. Ia begitu gerah dan kehausan.

Mungkin karena telah bermain basket hampir dua puluh menit tadi, sehingga kini badannya pun dipenuhi oleh tetesan keringat. Baju kaosnya agak basah.

Lisa sendiri hanya memakai atasan hoodie tebal serta celana hitam sebatas paha. Tidak merasa terusik sama sekali dengan hawa dingin itu, meski setiap pergerakannya harus tetap berhati-hati. Sebab satu tangannya masih memakai alat penyangga.

"Bam." Panggilnya kemudian.

"Apaan?"

"Kita temenan udah dari kapan sih?"

"Ga tau, gue ga ngitung."

Sekali lagi, Lisa menghela nafas.

"Emang kenapa?" Tanya Bambam singkat. Matanya sesekali melirik Lisa yang tengah mengguratkan raut wajah tidak bersemangat.

"Menurut lo, gue itu orangnya gimana?"

"Ya baik, pinter."

"Itu doang?"

"Apa ya—lo itu ga pelit sih anaknya. Humble banget kalo udah akrab, effort lo gede, lo juga royal, murah senyum di mata gue. Dan lo termasuk seorang pendengar yang baik, lo itu ya intinya baik deh."

"Ada lagi?"

"Itu baru yang positifnya doang, kalo yang negatifnya pasti juga ada."

"Apa?"

Bambam nampak terdiam sejenak. Ia memandangi wajah Lisa.

Hingga kemudian pemuda itu terkekeh ringan, tatapannya lalu beralih ke atas langit. Menikmati indahnya hamparan bintang-bintang.

"Lo itu anaknya keras kepala, sering sombong soal kepintaran, ga mau banget dibantah. Mungkin orang-orang yang selama ini ngeliat lo pasti banyak yang ngga sadar, kalo lo itu sebenernya egois banget, susah dibilangin. Lo selalu mau apa yang lo omongin itu diterima sama semua orang."

Bambam menjeda kalimatnya. Menarik nafas sejenak, lalu ia hembuskan.

"Dan gue rasa, cara Jennie Adira mandang lo juga sama kaya gimana gue mandang sisi negatif lo." Kepala Bambam lalu menoleh ke arah Lisa.

"Jadi karena itu menurut lo yang ngebikin dia sampe sebenci itu ke gue?"

"Maybe, tapi gue juga ga tau sih. Cuma pendapat gue doang."

Ada keheningan yang seperkian detik tercipta ketika Lisa hanyalah tengah diam di sana, dan Bambam pun sama.

Keduanya kini saling memandangi banyaknya bintang-bintang yang ada di atas langit. Sampai kemudian, suara Lisa kembali berbicara dengan dalam.

"Bam, Jennie nolak tentang perjodohan gue sama dia."

Raut muka Bambam seketika menatap Lisa penuh rasa tidak percaya.

"Seriously?"

Lisa menoleh. Kepalanya mengangguk singkat. Sedetik kemudian ia menunduk, memainkan kerikil-kerikil kecil yang ada di bawah pijakannya.

"Satu hal yang lo ga tau tentang gue, Bam. Gue itu bego banget kalo soal jatuh cinta." Lirih Lisa.

"Tapi serius? Jennie nolak perjodohan yang dicita-citain sama bokap lo?"

"Iya."

"Gimana ceritanya?"

"Ya gitu deh, pas bokap gue bilang ke dia—dia langsung nolak perjodohan itu mentah-mentah. Bokap gue sama bokap dia ga bisa maksain apa yang jadi jawaban Jennie. Akhirnya perjodohan itu dibatalin."

"Lo sedih?"

"Ya lo ga liat muka gue sekarang?" Lisa menatap Bambam.

Satu tangan pemuda itu refleks terangkat untuk mengusap-usap punggung Lisa. Berusaha untuk memberikan sedikit kekuatannya di sana.

"Kan udah gue bilang dari awal, coba lo deketin dia dulu pelan-pelan."

"Udah, bam. Tapi yang jadi masalahnya itu, bokap gue yang ngebet banget pengen gue buat cepet-cepet ditunangin sama Jennie." Ditengah raut wajah sedihnya, Lisa merengek.

Bambam lantas terkekeh. Tangannya kemudian beralih dari punggung Lisa.

"Terus sekarang apa yang bakal lo lakuin?"

Lisa mengidikkan bahu. Dirinya sendiri saja bahkan merasa bingung sekali untuk pertanyaan yang sesederhana itu.

Apalagi setelah penolakan tadi, Jennie benar-benar tidak ada lagi menoleh ke arahnya. Gadis itu langsung berlalu pergi keluar rumah tanpa sepatah kata.

Pemuda yang masih setia duduk di samping Lisa itu lalu menumpukan kedua tangannya pada sisi kursi. Keringatnya pun perlahan-lahan mulai terasa menghilang, kini  hanyalah hawa dingin yang kian menyelimuti.

"Lisa."

"Hm?"

"Kalo gue bilang Jennie itu straight, lo percaya ga?"

Lisa segera menoleh, kepalanya langsung menggeleng sebagai jawaban bahwa ia sangat tidak percaya.

"Walaupun gue tau Jennie belum pernah pacaran sama sekali, tapi gue yakin kalo dia itu ngga straight." Kata Lisa.

Namun ucapan Bambam selanjutnya berhasil membuat Lisa seketika bungkam seribu bahasa.

"Tapi Lisa, gue rasa Jennie itu emang lagi have a crush on someone, deh. Makanya dia nolak mentah-mentah soal perjodohan dari bokap lo. Dan Irene pun juga pernah ga sengaja nyinggung kalo Jennie itu sama sekali ga ada tertarik ke cewe."

"I think, she's a homophobic like her dad."
















••••••
TBC

hobiku adalah gantungin cerita.

AMBISIUS - JENLISA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang