Bab 2b

4.2K 442 20
                                    

Hidup memang sedang bercanda dengan Serena, setelah pertemuannya dengan Gavin yang berujunbg dengan dirinya merasa terhina, ia memutuskan untuk bertemu dengan perwakilan PT. Duta. Yang datang benar sesuai dugaannya, laki-laki berumur lima puluh tahun yang membawa seorang sopir dan sekretaris perempuan. Laki-laki bernama Pramana Duta itu mengajaknya bicara empat mata. Awalnya, pembicaraan berjalan serius. Pramana menyatakan rasa prihatinnya atas kondisi sang papa. Mereka bicara tentang perusahaan, somasi dari PT. Ultima, serta banyak hal lain. Serena merasa kalau orang di depannya bisa diandalkan. Sampai akhirnya, pembicaraan mengarah tentang tuntutan ganti rugi dari Gavin.

"Bagaimana, ya, Serena. Bukan aku nggak mau bantu kalian, tapi aku sendiri tidak mampu kalau harus melawan PT. Ultima."

Serena berusaha meyakinkan laki-laki itu. "Kita nggak melawannya, Pak. Hanya memperjuangkan hak kita. Apakah Pak Pramana tidak ingin punya usaha yang tidak bergantung orang lain?"

Pramana mengangguk. "Aku mau, tapi tidak dengan kolega dan pemegang sahamku. Mereka pasti menentang kalau aku ikut campur urusan kalian."

"Tapi, Pak. Papaku justru memilih Anda dibandingkan PT. Ultima." Serena mulai dilanda kekuatiran.

"Memang, sayangnya tidak begitu pandangan orang-orang."

Serena mengaduk jus di depannya dengan murung. Sirna juga semua semangat, dan rasa senang saat berhasil bicara dengan Pramana. Tadinya, ia pikir akan terbantu. Ternyata ia salah. Benar kata Gavin, dalam bisnis tidak ada saling bantu, selain ingin keuntungan. Bukankah ia sudah tahu, kenapa masih berharap."

"Aku harus bagaimana, Pak?" ucap Serena muram.

"Serena, aku ada satu jalan keluar yang mungkin bisa menolongmu. Denga cara ini, aku membantumu tidak akan ada bantahan baik dari keluarga maupun orang-orang di perusahaanku."

Serena mengkat wajah dan menatap penuh harap. "Bagaimana, Pak? Semoga jalan yang baik."

Pramana menegakkan tubuh, menatap Serena dengan salah tingkah. "Ini memang cara yang sedikit aneh, tapia pa salahnya dicoba."

"Ya, Pak. Aku siap mencoba."

Mencondongkan tubuh, Pramana menatap Serena lekat-lekat. "Kamu cantik, pintar, dan penuh semangat. Cocok untuk menjadi istri mudaku. Maksudku istri ketiga."

Serena melongo bingung.

"Kalau kamu menikah denganku, ikatan di antara kita akan membantumu. Dengan menjadikanmu istriku, istilahnya membantu keluarga sendiri. Kedua istriku, dan jajaran direksi tidak akan keberatan. Bagaimana, Serena?"

Serena merasa nasibnya sungguh buruk. Bertemu Gavin yang ingin mengajaknya tidur, lalu Praman yang ingin menjadikannya istri ketiga. Apakah ia terlihat begitu lemah, sehingga orang-orang beranggapan bisa memperdayanya? Untuk kali ini, Serena menolak dengan tegas.

"Terima kasih tawarannya, tapi itu bukan jalan keluar yang baik."

"Serena, pikirkan keluarga dan papamu. Mereka membutuhkan aku."

"Awalnya aku pikir begitu, Pak. Tapi, sepertinya aku salah berasumsi."

"Serena, ini demi kebaikan berdua. Aku janji akan berlalu adil pada kalian. Terutama kamu, istri paling muda."

Tidak ada gunanya bicara berlama-lama, Serena meninggalkan Pramana. Pikirannya terombang-ambing tak menentu. Melangkah keluar dari restoran, ia berhenti sesaat di dekat mobilnya. Menatap sekeliling lalu berteriak keras. Membuat orang-orang menoleh bingung ke arahnya. Ia memacu kendaraannya menuju rumah sakit, dengan segudang rasa kesal di dada.

Tidak cukup soal Pramana yang membuatnya kesal, keluarganya pun melakukan hal yang sama. Marta dan Ayu berulah di rumah sakit, entah apa yang dibicarakan mereka tapi sepertinya terdengar oleh sang papa. Keadaan sang papa yang semula mulai stabil, kini kembali drop dan harus dirawat di ruang ICU. Membuat Serena sangat marah.

"Apa yang Tante bicarakan sebenarnya?"

Marta menggeleng tanpa rasa bersalah. "Nggak ada, aku hanya bilang soal kamu yang pontang panting cari pinjaman. Ngemis sana sini, mana aku tahu kalau papamu bisa dengar. Kirain pingsan!"

Serena mencengkeram jari jemari, ingin rasanya memukul tantenya. Melihat sang papa kembali terbaring di ruang ICU. Ia seolah kehilangan kekuatan untuk bicara.

"Makanya, jadi anak yang nurut. Coba dari dulu kamu mau kerja di perusahaan papamu, pasti sekarang nggak gini. Dasar nggak becus!" Ayu memaki, dan menambah kekesalannya.

Ia tidak punya waktu untuk marah dengan mereka karena mengkuatirkan kondisi sang papa. Saat mamanya keluar dan memeluknya, perkataannya membuat Serena terdiam.

"Serena, berusahalah, Sayang. Papa sepertinya kuatir dengan kita dan perusahaan. Mama berharap, kamu bisa berbuat sebaik mungkin untuk kita, Sayang. Mama mohon, berusahalah."

Selama beberapa hari Serena berpikir keras, tentang keputusan terbaik yang bisa diambilnya. Apakah menerima tawaran Gavin, atau menyerah dengan lamaran Pramana. Hatinya kacau balau, pikirannya kusut. Kondisi perusahaan yang tidak menentu pasti berpengaruh pada sang papa. Sementara itu, tidak ada orang yang bisa diminta tolong. Karena kini, semua orang berharap dan bersandar padanya.

Dalam keadaan paling menyedihkan dalam hidup, Serena memutuskan untuk mengambil pilihan paling gila dalam hidup. Satu keputusan besar yang diharapkan bisa membantu menyelamatkan sang papa dan perusahaan. Ia mencari kartu nama kusut di dalam tas. Mengeluarkannya dan menjabarkannya di atas meja. Dengan gemetar mengirim pesan ke nomor itu. Satu pesan singkat yang akan mengubah semuanya.

"Pak Gavin, ini Serena. Apakah tawaran masih berlaku?"

Tidak ada balasan, Serena menunggu dengan cemas. Berniat menelepon Gavin secara langsung tapi rasa malu menahannya. Hingga satu jam kemudian, sebuah pesan singkat datang.

"Hotel One Palace, suit room 112. Jumat malam, jam sembilan."

Serena membaca dengan mata memanas menahan tangis. Ia harus kuat, tidak boleh lemah. Ada banyak orang yang bergantung padanya. Sex bukanlah apa apa. Bukankan banyak orang melakukan sex di luar nikah, lalu apa yang ditakutkannya? Ini bukan apa-apa, hanya sex. Serena berusaha meyakinkan diri.

Di waktu yang disepakati, Serene memakai pakaian yang dianggap layak, menuju hotel tempat Gavin menginap. Di luar dugaan, asisen Gavin sudah menunggu di lobi dan mengantarnya ke atas. Tiba di depan pintu, sang asisten pergi. Serena berdiri termangu, mengepalkan tangan. Membutuhkan waktu hampir satu menit mematung, sebelum akhirnya memberanikan diri memencet bel.

Pintu membuka, Gavin muncul dalam balutan celana katun dan kemeja hitam. Menatap Serena sambil tersenyum. "Selamat datang, Darling."

Sleeping With The EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang