Serena menyantap sarapan dalam diam, di depannya sang bibi sibuk mengoceh dan mengkritik banyak hal. Dari mulai sarapan yang dianggap terlalu hambar dan kering, lalu kerja para pelayan yang dianggap lambat dan tidak beres. Terakhir tentu saja adalah Serena, sasaran favorite dalam mengkritik. Seandainya bisa, Serena yakin kalau kata-kata bibinya ditulis dalam kertas, pasti panjangnya lebih dari satu kilo meter.
"Lihat kamu, Serena. Mentang-mentang kedua orang tuamu nggak ada di rumah, kamu hidup seenaknya. Jam berapa kamu bangun?"
Serena mengangkat kedelapan jarinya, menyesap kopi dan menguatkan diri untuk mendengar omelan Marta lebih lanjut.
"Jam delapan kamu baru bangun? Terlalu siang. Memangnya kamu nggak ke kantor?"
"Setengah hari," jawab Serena dengan enggan. Tidak mengerti dengan sikap sang bibi yang mengomentari semua hal. Bahkan urusan pribadinya tentang jam tidur.
"Kamu pimpinan perusahaan Serena."
"Juga manusia," ucap Serena lugas. "Aku sedang flu, apa salahnya datang agak telat."
"Hanya flu!"
"Bisa jadi penyakit lain kalau nggak disembuhkan." Serena mengutip kata-kata Gavin.
Marta melotot lalu mendengkus kesal. Semakin banyak bicara dengan Serena, semakin emosi dirinya. Padahal niatnya baik, datang karena peduli dengan keponakannya. Ternyata, sikap Serena sangat kurang ajar. Ia membanting tas di meja, menatap tajam pada Serena yang sedang menandaskan roti dan minum kopi. Mengamati keponakannya dengan tidak puas. Selalu merasa kalau pakaian yang dikenakan Serena terlalu terbuka. Terlalu sexy untuk seorang pimpinan perusahaan. Setelah putih dengan rok di atas paha, Bagaian atas adalah blus yang mengembang, dengan lengan pendek yang menampakkan lengan.
"Indra sudah berangkat dari pagi dan kamu masih santai di rumah. Apakah itu adil?"
Serena mengangguk sambil lalu. "Beda pekerjaan. Nggak ngaruh kalau kami beda jam datang."
"Kamu membantah terus."
"Tante juga mengomel terus. Padahal masih pagi, nggak takut kena serangan darah tinggi apa?"
Marta tersenyum kecil. "Sok hebat kamu, ya? Setelah menjadi pemimpin sementara. Padahal, perusahaan juga berjalan di tempat biarpun kamu yang memimpin."
Serena menaikkan sebelah alis. "Kalau begitu Tante salah. Coba tanya Indra, dalam beberapa bulan ini apa saja yang kami lakukan. Kami adalah aku, Indra, dan seluruh karyawan. Kami kerja keras dan Tante seenaknya bilang kalau perusahaan jalan di tempat."
"Nyatanya, kalian masih berutang dengan PT. Ultima!"
"Tersisa hanya utang pokok tanpa bunga. Pihak PT. Ultima memberi kami keringanan pembayaran!"
Marta ternganga, kehabisan kata untuk mencela. Ia tahu Serena mengatakan yang sebenarnya, juga pernah mendengar tentang ini dari Indra. Tetap saja ia merasa tidak puas dengan sikap sang keponakan yang suka sekali menentangnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengerucutkan bibir saat melihat Serena memoles lipstick.
"Ayu sudah punya pacar. Kamu, usia di atas 30 masih belum ada kekasih. Jangan bilang kamu patah hati karena Marcello."
Serena mengeluh dalam hati, merasa bosan karena setiap orang yang bicara tentang hubungan dengannya selalu mengaitkannya dengan Marcello. Padahal, hubungannya dengan Marcello tidak pernah benar-benart terjalin. Ia sempat kecewa karena Marcello menolaknya, hanya itu dan tidak ada hal lain. Tapi nyatanya semua orang menganggap kalau ditolak itu hal memalukan dan terus menerus mengingatkannya.
"Ayu mau pacarana atau nikah, nggak ada hubungannya sama aku, Tante. Kalau nanti aku punya pacar, aku akan kasih pengumuman pada keluarga besar, kalau perlu disiarin radio dan TV. Biar orang-orang tahu kalau aku sama sekali nggak pernah patah hati karena Marcello!"
Serena bangkit dari kursi, mengambil tasnya. Ia merasa bis agila kalau berlama-lama bicara dengan Marta.
"Sebaiknya, dalam beberapa hari terakhir Tante nggak usah datang."
"Kenapa? Kamu melarangku datang? Ini rumah kakakku."
Memang, dan kakak Tante adalah papaku. Nggak usah datang, karena aku nggak akan pulang. Banyak urusan di kantor, lagi pula aku harus jenguk orang tuaku. Daah, Tante."
Serena bergegas pergi, sialnya Marta mengikutinya dari belakang.
"Kamu sibuk, trus nginap di mana kamu?"
Serena membuka pintu mobil, mengedipkan sebelah mata pada Marta. "Banyak tempat untuk ditinggali, Tante. Rumah Jenice, hotel, apartemen."
"Tapi—"
Percuma Marta bicara, karena Serena sudah melajukan kendaraan keluar dari garasi. Ia mengentakkan kaki ke lantai, menghela napas panjang, lalu berbalik dan masuk lagi ke rumah. Mencari sasaran kemarahan yang lain. Paling apes adalah pelayan, dengan terpaksa mendengarkan ocehannya selama berjam-jam tanpa henti.
**
Gavin berkonsetrasi dengan dokumen yang terbuka di atas pangkuannya. Beragam proposal kerja sama yang menggiurkan dengan menawarkan beragam keuntungan. Ia cukup tahu perusahaan yang menawarkan ini, di pertemuan kemarin sempat berkenalan dengan pimpinannya. Sebuah perushaan nasional yang cukup besar. Kalau mereka bekerja sama, pasti akan menjadi tim hebat.
"Nas Food, kenapa terpikir untuk bekerja sama dengan kita?" Gavin menutup dokumen, menatap sang papa. "Padahal, pangsa pasar mereka sudah sangat luas."
"Bisnis," jawab Chandra lugas. "Tidak akan pernah puas hanya dengan menguasai satu hal. Kalau bisa banyak, kenapa nggak?"
Gavin mengangguk. "Masuk akal memang. Papa setuju?"
"Belum, ada satu kesepakatan dan ini memerlukan persetujuanmu."
Gavin menatap sang papa dengan bingung. "Kenapa, Pa? Ada hubungannya dengan aku?"
"Tentu saja, Gavin. Kamu tahu bukan kalau Nas Food punya lima anak? Empat laki-laki dan satu perempuan."
"Iya, kemarin berteme juga dengan si sulung."
"Di antara mereka berlima, hanya dua yang belum menikah. Anak nomor tiga, laki-laki dan anak nomor empat perempuan. Ajakan kerja sama sudah pernah terlontar beberapa tahu lalu, termasuk perjanjian untuk mengikat hubungan dengan pernikahan. Aku meminta Andrea bertemu dengan anak nomor tiga. Barangkali akan ada kecocokan, tapi nyatanya salah. Bukannya cocok, mereka kini malah bersaing dan saling membenci. Entah apa penyebabnya."
Gavin menunggu dalam diam, mencoba menerka arah pembicaraan sang papa. Entah kenapa, ia punya firasat buruk tentang ini dan biasanya, intuisinya tidak pernah salah.
"Gagal sudah perjodohan mereka dan tinggal satu kesempatan lagi. Gavin, papa ingin kamu menemui si nomor empat."
Gavin menggeleng. "Nggak. Bukan jamannya lagi perjodohan!"
"Ini demi kita!"
"Paa, perusahaan kita sudah besar. Apalagi yang Papa inginkan? Yang pasti, aku tidak akan menjual diriku untuk perjodohan tidak masuk akal!"
Chandra menatap Gavin lekat-lekat, menepuk pundaknya dengan lembut. "Papa tidak memintamu untuk menikah sekarang, tapi maukah kamu menemui gadis itu? Sekali saja, kalau memang ternyata kalian tidak cocok, aku nggak akan maksa. Papa janji, Gavin."
.
.
.
Tersedia di google playbook.Ingat, bacanya saat sudah buka puasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping With The Enemy
RomanceKiss antara Serena, Gavin, dan gejolak hubungan tanpa logika.