Dua pelayan yang membersihkan apartemen Gavin dibuat kaget saat mendapati seorang perempuan cantik di dapur. Selama dua tahun bekerja di sini, belum pernah sekalipun sang tuan rumah membawa tamu. Serena memakai kemeja Gavin untuk menutupi tubuhnya, mengangguk sambil tersenyum malu pada mereka.
"Selamat pagi," sapa Serena lembut.
Dua pelayan yang baru datang, keduanya perempuan muda dengan seragam merah muda.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa kami bantu?" Salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya.
Serena mengamti dapur yang bersih dengan peralatan makan dan memasak yang tidak pernah disentuh sebelumnya.
"Apa di sini ada supermarket?" tanya Serena.
Kedua perempuan itu mengangguk bersamaan. "Ada, Nona. Di lantai bawah."
Serena berpikir sesaat. "Bisakah kalian mengantarkan aku ke sana? Ada beberapa barang yang ingin aku beli."
Keduanya mengangguk bersamaan, senang bisa membantu Serena. Mereka yakin kalau perempuan cantik ini adalah kekasih Gavin. Memakai kemeja Gavin yang kebesaran, dan celananya sendiri, Serena pergi ke supermarket bersama dua pelayan itu. Ia teringat kulkas Gavin yang hanya berisi air mineral dan berniat mengisinya. Ia membeli buah, cemilan, dan bumbu-bumbu. Tidak lupa beras, daging, serta sayuran. Beberapa alat masak yang diyakini tidak ada di dapur Gavin, ia pun membelinya. Hingga saat tiba di depan kasir, mereka mendorong tiga troli yang penuh barang-barang. Serena menbayar dan meminta ijin pada supermarket untuk meminjam dua troli. Rasanya seperti ia pindah rumah dan sedang mengisi dengan barang-barang. Padahal jelas-jelas ini apartemen orang lain. Tidak masalah, Serena senang melakukannya.
Gavin menggeliat, meraba tempat di sampingnya. Kosong, Serena rupanya terbangun lebih awal dari pada dirinya. Ia bangkit dari ranjang dengan malas, ke kamar mandi untuk membasuh tubuh, wajah dan menggosok gigi. Memakai kemeja lengan pendek dan celana khaki selutut. Ia baru saja selesai menyisir saat ponselnya berdering.
"Ya."
"Siang, Pak."
"Ada apa?"
"Saya baru saja menerima jadwal pertemuan dengan Pak Menteri. Minggu depan di sebuah cottage."
Gavin berpikir sesaat. "Baiklah, kita akan ikut pertemuan itu. Ngomong-ngomong, kakakku akan datang?"
"Belum ada konfirmasi dari siapapun, mungkin sebagian besar masih menyesuikan dengan jadwal mereka."
"Bisa jadi. Kamu atur saja semua. Kita akan berangkat ke sana."
Satu panggilan dari asistennya, dilanjut dengan dua panggilan lain. Masing-masing dari manajer pabrik, dan juga kepala bagian. Selesai bicara dengan mereka, Gavin merasa perutnya keroncongan. Ia heran karena Serena sama sekali tidak ke kamar, meskipun kaosnya masih tergantung di kamar mandi, tapi tas dan celana perempuan itu tidak ada. Jangan-jangan, perempuan itu pulang tanpa berpamitan.
Gavin mengernyit saat mendengar suara-suara percakapan dari dapur. Aroma masakan menguar di udara dan membuat hidungnya mengembang.
"Serena, kamu ngapain?"
Gavin berdiri di pintu yang mengubungkan dapur dan ruang tengah, menatap heran pada Serena yang memakai celemek dan berdiri di depan kompor. Ia mengenali kemejanya yang dipakai Serena.
"Pak, makan siang sudah siap. Ayo, duduk."
Kedua pelayan yang semula membantu Serena memasak, pamit untuk membersihkan kamar. Gavin menarik kursi, menatap nasi dan tumisan sayur di atas meja. Serena mengambil piring besar putih dari rak, meletakkannya di depan Gavin. Tidak lupa mangkok dan sendok.
"Makan dulu sopnya, steak sebentar lagi selesai." Ia menuang sop ke dalam mangkok Gavin.
"Kamu bisa bikin steak?" tanya Gavin.
Serena mengangguk. "Steak sederhana, Pak. Nggak seenak restoran."
Baru kali ini Gavin makan steak dengan sayur tumis. Bisanya sayur pendampingnya salad atau kentang. Steak sederhana dengan bumbu instan, tapi menurut Gavin rasanya cukup enak. Ia menikmati berbagai tumisan sayur yang dibuat Serena.
"Ternyata, kamu benar-benar bisa memasak," ucapnya takjub.
"Hanya masakan biasa, Pak."
"Justru yang bias aini enak. Mirip seperti masakan mamaku."
Serena tersenyum, bisa merasakan kerinduan Gavin terhadap sosok sang mama yang sudah tiada. Laki-laki itu pasti kesepian, tinggal di apartemen besar sendirian dan hanya sebagai tempat istirahat.
"Pak, di kulkas ada buah dan cemilan. Kalau malam lapar, bisa dimakan."
Gavin mengangguk. "Terima kasih, tapi sejujurnya aku jarang pulang. Sibuk tiap hari, aku lebih sering tidur di hotel dari pada di sini."
Serena ternganga. "Oh, begitu. Sayang sekali, padahal belinya banyak."
Gavin tersenyum. "Nggak masalah. Kamu bisa makan kalau datang nanti. Makanya, sering-sering datang, barangkali aku kelaparan."
Serena mengangguk, menghasikan makanannya. Merasa senang karena Gavin menyukai masakannya. Ia teringat akan reaksi mamanya, saat sang papa memuji masakannya. Rupanya, begini rasanya kalau hasil masakan kita disukai. Cukup memuaskan bagi Serena.
"Kamu mau ke rumah sakit setelah ini?"
Serena mengangguk. "Kebetulan jam besuk siang, Pak."
"Aku akan mengantarmu."
"Baiklah, kalau nggak ngerepotin."
"Ngomong-ngomong, aku lupa tanya. Tadi malam kamu ke pasar malam naik taxi bukan?"
"Iya, Pak Gavin yang nyuruh bukan?"
Gavin mengangguk, puas dengan rencananya yang berhasil. Ia sengaja meminta Serena datang menggunakan taxi, dengan begitu ia punya kesempatan untuk mengantar perempuan itu pulang, atau menbawanya ke apartemen. Semua yang diinginkannya terkabul. Serena datang ke apartemen, selain bercinta juga memasak untuknya. Senang di hari libur begini, ada yang menemani.
"Aku baru sadar, kamu pakai kemejaku."
Gavin mengamati Serena yang sedang mencuci piring. Ia sudah meminta Serena meninggalkan piring kotor di westafel dan pelayan yang akan melakukannya tapi ditolak. Serena mengatakan, ingin sedikit bergerak setelah makan.
"Kebesaran." Serena mengembangkan lengannya.
Gavin mendekat, dan memeluk dari belakang serta berbisik. "Coba celananya dilepas, pasti sexy."
Serena tergelak. "Jangan memberi praduga pada dua pelayan itu."
"Iya, juga. Tapi, aku punya satu ide luar biasa."
"Ide apa?"
Gavin mengigit lembut bahu dan leher Serena, jarinya membuka kancing kemeja dengan cepat dan mengusap dada yang tertutup bra.
"Paaak, ada orang!" bentak Serena.
"Ups, lupa." Gavin mengaitkan kembali kancing kemeja Serena. "Aku suka melihatmu memakai celemek. Bagaimana kalau sesekali kamu pakai itu, memasak, dan tanpa menggunakan apa pun di baliknya."
Serena mendengkus, menyipit ke arah Gavin dengan tatapan tak percaya. "Pak, aku masih sayang saama kulitku. Kalau terkena air atau minyak panas, rasanya sakit."
"Benar juga. Kalau gitu pakai saja, dan kita bercinta di dapur. Rasanya pasti menyenangkan."
Serena tidak habis pikir, dengan ide Gavin yang tidak ada habisnya tentang gaya bercinta. Ia tidak tahu siapa yang mengajari laki-laki itu soal sex, tapi diakuinya sangat luar biasa. Pikirannya seketika tertuju pada Alexa yang cantik, dan dadanya berdenyut tidak nyaman.
**
Bab lengkap di Karyakarsa
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping With The Enemy
RomansaKiss antara Serena, Gavin, dan gejolak hubungan tanpa logika.