Bab 14a

1.8K 310 5
                                    

Serena ternganga, saat kendaraan yang mereka naiki berhenti di tempat bermain. Ia menoleh cepat ke arah Gavin dan bertanya heran.

"Ngapain kita kemari, Pak?"

Gavin tersenyum. "Apalagi? Mau tentu saja."

"Tapi, bukannya Pak Gavin nggak mau? Tempat ini rame dan berisik."

Gavin mengangguk. "Memang, bukan berarti nggak bisa dicoba. Ayo, turun. Kita senang-senang."

Serena tidak mengerti konsep bersenang-senang bagi Gavin. Ia sendiri memang ingin sekali bermain kemari. Tidak menyangka kalau Gavin akan menganggap serius ajakannya. Ia bergegas turun dari mobil.

"Pak, sebelum main kita beli dulu kaos sama topi."

Gavin menggeleng. "Nggak usah. Kamu aja yang beli."

"Eh, nggak boleh gitu. Sekalian kita udah di sini."

Gavin tidak dapat menolak saat Serena menyeretnya ke toko souvenir. Gadis itu dengan wajah berbinar, memilih kaos dan topi untuk mereka berdua. Gavin berusaha menolak saat disodori topi dengan gambar area bermain, begitu pula kaos hitam tapi Serena bersikukuh. Dua puluh menit kemudian, ia memakai kaos hitam menutupi kemeja putih.

"Kita mau main apa dulu, Pak?"

Masuk ke dalam arena sambil berdesakan dengan pengunjung lain, Gavin mengernyit saat tanpa sengaja bersentuhan dengan mereka. Dalam sekejap, tubuhnya bersimbah keringat karena terik matahari. Meski begitu, ia tidak mengatakan apa-apa karena senang melihat binar bahagia Serena.

"Pak, kita naik kuda-kudaan!"

Mereka antri, Gavin mendesah pasrah saat ditarik naik ke komidi putar, berdiri di samping kuda yang dinaiki Serena.

"Pak, ini asyik banget. Nggak bohong!"

Gavin hanya tersenyum tidak berdaya. Ia mengikuti Serena mencoba semua permainan tapi menolak untuk naik. Hatinya merasa tentram melihat bagaimana perempuan itu tertawa riang seperti anak kecil menemukan mainannya. Ia sendiri merasa sangat tidak nyaman karena tidak pernah berpanas-panas di bawah, dan menahan ketidaknyamanan itu demi Serena.

Satu permainan yang berhasil dicobanya adalah perahu yang meluncur dari atas untuk membelah air. Memang menyenangkan dan tanda sadar membuatnya tertawa.

"Kenapa mendadak ngajak kemari?"

Mereka duduk di restoran untuk minum es dan makan cemilan. Gavin sendiri tidak tahan untuk merokok.

"Lagi senggang aja."

Serena mengangkat sebelah alis. "Pak, orang seperti Anda kalau senggang itu ke klub, bukan ke taman bermain."

"Kamu sendiri? Nggak suka ke klub?"

"Suka, sesekali ke sana. Tapi, akhir-akhir ini lagi malas."

Melihat Serena bicara sambil menunduk ia bertanya ingin tahu. "Ada masalah?"

"Nggak ada tapi, beberapa teman yang biasa ke sana, itu, nggak ada."

"Maksudnya nggak ada itu?"

Serena menghela napas panjang, mengaduk minumannya dengan pandangan menerawang. Menatap halaman luas dengan orang-orang yang berlalu lalang menembus panas. Serombongan anak muda lewat dan mereka tertawa saling menggoda satu sama lain. Serena iri melihatnya. Orang-orang muda yang kepahitan hidupnya hanya berkisar cinta monyet atau pelajaran, bukan hal nyata tentang kehidupan.

"Serena, kenapa diam?"

Serena tersenyum. "Nggak ada apa-apa, Pak. Tapi, semenjak terdengar kabar kalau perusahaanku bangkrut dan keluarga jatuh miskin, banyak yang menghindar."

Gavin mengangguk, mengerti sekarang. Memandang Serena dengan wajah muram. Memang banyak tipe manusia seperti itu, hanya melihat sesuatu dari harta. Bahkan orang yang kita kira sahabat sekalipun, yang seharusnya tidak meninggalkan kita dalam keadaan duka. Tapi, memang tidak bisa berharap pada manusia, selain diri kita sendiri.

"Aku pernah mengalami apa yang kamu rasakan." Gavin berkata dengan tenang. Rokoknya sudah selesai diisap. Ia menahan diri untuk tidak mengambil sebatang lagi.

Serena mengernyit. "Dijauhi orang-orang? Kenapa, bukannya Anda anak orang kaya?"

"Memang, tapi pada suatu waktu mamaku bertengkar hebat dengan papa. Lalu, mama tiriku masuk dalam pertengkaran mereka. Saat itu aku masih kecil dan tidak mengerti urusan orang dewasa. Banyak teman-teman kami menjauh, tidak lagi mau berkunjung setelah pertengkaran itu. Rumah yang biasanya ramai oleh tamu, mendadak sepi. Belakangan kami tahu kalau ternyata sudah menyebar rumor yang entah dari mana asalnya, yang mengatakan kalau kedua orang tuaku akan bercerai. Aku dan mama akan dikirim ke luar kota."

"Siapa yang menyebarkan desas desus itu?"

"Aku punya dugaan tapi tidak ingin mencari tahu. Membiarkan saja masalah itu berlalu, sampai waktu membuktikan kalau kedua orang tuaku tidak bercerai. Bukan hanya teman-temanmu yang bergaul karena harta, seperti rata-rata manusia memang seperti itu."

Mereka datang untuk mencari hiburan tapi atmosfer berubah cepat dari awalnya ceria mendadak menjadi melankolis. Serena mengubah topik pembicaraan, membahas hal-hal kecil tentang permainan dan juga mengomentari apa pun yang lewat depan mata mereka.

"Besok aku pergi menjenguk Papa. Mungkin tiga hari di sana."

"Mau pakai privat jet?"

"Nggak, Pa. Naik pesawat komersil saja, Pak."

Mereka meneruskan sisa hari dengan berjalan-jalan menikmati pemandangan taman bermain. Serena berusaha mengajak Gavin menjalani hari dengan santai. Meski begitu, sama sekali tidak ada kata santai dalam diri sang direktur. Telepon yang tidak berhenti berdering, asisten yang terus menerus menghampiri mereka untuk bertanya banyak hal.

Serena sendiri merasa lebih santai memimpin perusahaan semenjak keadaan membaik. Ada Misda yang sangat bisa diandalkan dan juga Indra. Sepupunya itu sekarang jauh lebih serius dan rajin dalam bekerja. Membuat banyak orang terkesan karena ketekunannya. Bagi orang tua Indra sendiri, itu adalah perubahan besar.

"Bagus kalau Indra bisa kamu bombing. Namanya kakak, sudah seharusnya kamu melakukan itu pada adikmu!"

Meskipun diucapkan dengan nada bersungut-sungut, tapi secara tidak langsung Marta mengakui kemampuan Serena untuk membuat Indra berubah. Pemuda yang dulunya malas dan slengean, kini menjadi penurut dan serius.

"Kalau bisa, kamu bawa sekalian Ayu kerja di tempatmu."

Tentu saja, untuk usulan yang kedua Serena tidak bisa menerimanya.

"Kalian punya perusahaan sendiri, kenapa harus aku yang mengajari?" tanya Serena.

Marta terdiam, bibirnya mengerucut. "Kamu jadi kakak, pelit ilmu."

Kalau sudah begitu, Serena memilih untuk mengalah. Berdebat dengan Marta sama saja menjerumuskan dirinya dalam kubangan lumpur masalah. Lebih baik ia mengalah, demi membuat dirinya tetap waras.

"Serena, apa kita sudah selesai? Aku lelah sekali."

Perkataan Gavin menyadarkan lamunan Serena. Ia mengangguk, dan mulai berkemas. "Iya, Pak. Kita pulang sekarang. Aku sudah puas main."

Mereka memutuskan untuk keluar dari arena bermain dan pergi ke pantai. Tidak banyak yang bisa dilihat, selain debur ombak karena pantai sudah dikelilingi beton. Serena yang kelelahan meminta diantar pulang tapi Gavin membawanya ke apartemen. Mereka memesan makanan sebelum tertidur karena lelah.

Gavin berusaha menghapus gundah saat terbangun dari tidur dan melihat Serena di kamarnya. Ia bahagia kala perempuan itu bernyanyi saat di kamar mandi, menata pakaiannya yang berantakan di lemari, dan juga melakukan beberapa pembersihan kecil. Rasanya seperti punya istri, yang mencereweti semua hal yang dilakukannya. Serena tidak segan untuk marah, kalau dirasa ada hal yang menganggunya. Entah kenapa, semua sikap dan perlakukan perempuan itu padanya membuat Gavin justru merasa senang. Padahal, mereka bersama baru beberapa bulan, tapi terasa sudah seperti pasangan tua.

.
.
.
.Tersedia di google playbook.

Sleeping With The EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang