Gavin menatap Wintari lekat-lekat. "Nggak ada hubungannya antara permasalahan perusahaan dengan pengobatan Pak Wanajaya. Bisa dikatakan aku sangat berharap beliau cepat pulih dan menyelesaikan masalah di antara kami lebih cepat."
"Pak Gavin nggak dendam?" tanya Wintari lemah.
"Untuk apa, Bu. Dendam nggak akan mengubah keadaan. Justru aku takut Bu Wintari yang akan salah terima dengan semuanya. Niatku baik, untuk kesembuhan Pak Wanjaya. Kecuali, memang Ibu tidak ada keinginan melihat suamnya cepat sembuh."
"Tentu saja ada, dan aku juga sangat ingin," sergah Wintari cepat.
Gavin menaikkan sebelah alis, menatap perempuan itu. "Lakukan kalau begitu, jangan tunda lagi."
Wintari mendekap kartu nama di dada sedangkan Serena tercengang tak mampu bicara. Percakapan dan perdebatan antara sang mama dan Gavin, membuka banyak pemikiran di hati dan benaknya. Sebenarnya, mereka lebih dari mampu membiayai sang papa berobat ke luar negeri tapi Wintari tidak ingin meninggalkan dirinya. Serena merasa bersalah karena itu. Namun, yang dikatakan Gavin benar, di luar negeri peralatan medis jauh lebih canggih. Kemungkinan sang papa sembuh akan lebih besar.Serena menghampiri mamanya dan berbisik lembut. "Maa, pergi saja. Bawa Papa berobat. Aku akan baik-baik saja sendiri. Ada Indra dan Jenice."
Wintari mengangguk. "Kamu benar, memang sudah semestinya mama membawa papamu berobat ke tempat yang lebih baik." Ia mengusap bahu dan pipi Serena. "Kamu akan baik-baik saja bukan, sendiri di sini?"
"Mama jangan kuatir, aku akan baik-baik saja."
Mereka bergerak sigap, begitu Wintari menyatakan setuju menmbawa suaminya ke luar negeri, Gavin menelepon langsung kepala rumah sakit. Tentu saja, namanya dikenal di sana karena pernah membawa sang mama berobat berulang kali. Setelah itu, ia mengurus masalah pesawat dan Wintari pergi ke kantor untuk mengurus dokumen kepindahan.
"Terima kasih, Pak. Sudah bantu bujuk Mama," ucap Serena saat tertinggal hanya mereka berdua di sisi ranjang.
Gavin mengangkat bahu. "Ini bukan apa-apa, Serena. Mamaku dulu juga sakit, aku yang merawat. Jadi, sedikit banyak, aku paham."
Serena tersenyum lega, mengulurkan tangan untuk mengusap bahu Gavin. "Kamu memang hebat, Pak."
"Ckckck, ternyata kamu baru tahu."
Keduanya saling berpegangan tangan sambil bertukar senyum dan langsung melepaskan diri saat pintu mendadak terbuka.
"Kak, kamu di sini?"
Indra mengeryit saat melihat Gavin. Ia menunjuk laki-laki itu sambil bertanya pada Serena. "Siapa dia, Kak?"
Serena menunjuk Gavin. "Indra, kenalkan, beliau adalah Pak Gavin dari—"
"Pt. Ultima," sela Indra cepat. "Ngapaian orang kejam dan tangan besi ini datang? Mau apa dia? Mau memastikan kalau Om masih hidup? Taku utangnya nggak kebayar, gitu?"
Serena mengepalkan tangan. Mencubit pinggang Indra untuk menghentikan ocehannya. "Apa-apaan, sih? Pak Gavin datang dengan niat baik, tahu!"
"Niat baik apa? Aku nggak percaya orang kayak dia ada niat baik, Kak. Lo jangan sampai ketipu?"
Serena ingin sekali mencubit ginjal Indra, karena sudah membuatnya malu. Sepupunya itu memang terbiasa bicara ceplas-ceplos sampai nggak lihat situasi. Masalahnya adalah, mereka dalam keadaan baru saja berdamai dengan Gavin, dan Indra datang merusak semuanya.
"Indra, kalau kamu teriak lagi, aku pukul!" Serena dengan terpaksa mengangkat tangan untuk mengancam.
Indra mencebik lalu menutup mulut. Meski begitu, pancaran matanya yang tertuju pada Gavin masih penuh dengan kebencian dan kecurigaan. Ia tidak percaya kalau orang seperti Gavin datang ke rumah sakit tanpa ada maksud apa-apa. Bukankah mereka bermusuhan? Penyebab perusahaan berantakan karena Gavin dan Indra tidak akan pernah mau berdamai dengan laki-laki itu.
"Pak, jangan diambil hati perkataannya. Indra memang julit," ucap Serena.
Belum sempat Gavin menjawab, Indra menyentakkan lengan Serena dan menyeretnya ke dekat pintu. Meskipun begitu, percakapan mereka masih terdengar sampai ke telinga Indra.
"Ngapain baik-baik sama dia?"
"Kenapa, sih? Orang dengan niat baik datang."
"Niat baik? Nggak ada yang baik dengan PT. Ultima dan sebangsanya. Ingat, jangan tertipu dengan wajah tampannya. Marcello juga tampan dan menghancurkan hatimu!"
Serena menghela napa panjang, menahan maul karena perkataan Indra pasti terdengar oleh Gavin. Ia melirik sesaat lak-laki itu lalu berbisik pada sepupunya.
"Saranku, sebelum kamu malu sebaiknya jaga bicaramu. Jangan sampai pas mamaku kembali dan mengatakan semua, kamu akan malu!"
"Hah, apa yang bikin aku malu soal dia? Nggak akan ada!"
"Awas nanti, jangan sampai nelen ludah sendiri!"
Serena kembali ke sisi Gavin dengan tidak enak hati. Indra mengacaukan semuanya dan berharap Gavin tidak memasukkan ke dalam hati semua perkataan sepupunya.
"Maaf, Pak."
Gavin tersenyum. "Ngapaian minta maaf? Reaksi sepupumu wajar."
Saat Wintari datang dari kantor dengan wajah berseri-seri dan mengucapkan terima kasih pada Gavin, Indra tercengang. Ia menatap bingung ke arah mereka, tidak mengerti apa yang terjadi.
"Pak, semua sudah diurus."
Gavin tersenyum. "Bisa berangkat besok, Bu?"
"Bisa, Pak."
"Baiklah, akan ada staf yang nanti membantu Bu Wintari soal pesawat dan administrasi rumah sakit,. Tidak usah kuatir."'
Tanda sadar Wintari meraih tangan Gavin dan menggenggamnya. "Terima kasih sekali, Pak. Anda luar biasa."
"Tantee! Apaa, sih?" Indra berteriak.
Serena menonton dengan tenang saat Indra yang kebingungan bertanya pada sang mama apa yang terjadi dan mamanya menyenmprot sepupunya itu. Indra bertambah bingung tentu saja, dan Wintari yang semula marah, kini menjelaskn dengan lembut apa yang terjadi.
"Pak Gavin menolong Om kamu biar dirawat di luar negeri. Bukankah itu hal baik, Indra?"
Indra mengangguk. "Iya, Tante. Tentu saja hal baik."
"Kamu masih marah sama Pak Gavin? Buat apa? Semua yang terjadi karena kesalahan kita. Beruntung Pak Gavin bersedia menolong."
Serena mau tidak mau merasa salut saat Indra dengan gagah mendatangi Gavin dan meminta maaf secara langsung. Gavin hanya mengangguk kecil, menganggap kecil masalahnya dengan Indra. Keputusan sudah dibuat, Wintari akan terbang ke luar negeri untuk membawa suaminya berobat.
Marta datang bersama Ayu, dan bertanya detil dengan heboh. Untung saja Gavin sudah pergi, entah apa yang terjadi kalau Marta melihatnya. Ia tidak sanggup lagi harus menerangkan panjang lebar perihal Gavin pada setiap keluarganya.
Serena akan menemani orang tuanya selama beberapa hari di rumah sakit, setelah itu akan kembali untuk mengurus perusahaan.
"Kalau memungkinkan, aku akan datang tiap Minggu, Ma."
Wintari mengangguk. "Yang terpenting, jaga kesehatan selama kami nggak ada."
Marta berdecak. "Jangan kuatir soal itu, Kak. Ada aku yang akan menjaga dan merawat Serena."
Dalam hati Serena merasa ngeri, berdoa pada Tuhan agar tidak sering bertemu Marta saat nanti kedua orang tuanya tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping With The Enemy
Lãng mạnKiss antara Serena, Gavin, dan gejolak hubungan tanpa logika.