Di hari terakhir mereka bersama, Serena mendapat kejutan. Duan pelayan mengantar bungkusan dan tumpukan kotak."Itu gaunmu, pakailah buat ganti."
Serena membuka bungkusan yang diberikan Gavin untuknya. Berisi sebuah gaun berbahan sutera biru yang indah dan pas ukurannya.
"Maaf, sudah merusak jaket panjangmu. Sepertinya ada kancing yang rusak."
Serena tersenyum pada sepasang pakaian dalam warna krem, itu ukurannya juga. Gavin rupanya sangat cermat dalam memperhatikan sesuatu. Tidak hanya itu, ada tiga kotak berisi dua set perhiasan dengan berlian, dan satu buah jam tangan mahal.
"Ini untuk apa, Pak?" tanyanya.
Gavin mengambil jam tangan dan memasangkan di pergelangan tangannya.
"Jam dan perhiasan ini untukmu. Saat aku katakana kalau kita akan bertemu secara berkala, bukan hanya saat bercinta, Serena. Tapi kamu juga akan menemaniku ke pesta, pertemuan, dan semacamnya."
Serena menatap jam di pergelangan tangannya. "Bisakah begitu? Maksudku, kita saingan, musuh dalam bisnis."
Gavin mengangkat dagu Serena dan mengecupnya. "Apa salahnya? Kita bisa menjadi sepasang musuh yang saling meniduri satu sama lain. Kita juga saling memuaskan. Bukan begitu?"
Tidak ada bantahan, Serena mengikuti semua perkataan Gavin demi kepentinga yang lebih besar. Mereka berpisah dengan Serena keluar lebih dulu, Gavin menyusul satu jam kemudian. Semua dilakukan untuk berjaga-jaga kalau ada mata-mata. Menjaga hubungan tetap rahasia, adalah janji mereka. Akan terlihat bersama saat di tempat umum bukan sebagai teman tidur melainkan rekan bisnis. Serena merasa sedang terlibat perjanjian terlarang dengan setan dari neraka.
Begitu keluar dari hotel, tempat pertama yang ditujunya adalah rumah sakit. Ia bernapa lega saat sang papa sudah keluar dari ruang ICU ke ruang rawat biasa. Ia meraih tangan sang papa, dan menggenggamnya. Berbisik lembut, berharap sang papa mendengarnya.
"Pa, PT. Ultima setuju untuk atas perpanjangan waktu pembayaran utang. Mereka juga menghapus bunga, dan membiarkan kita tetap berproduksi. Pa, jangan kuatir. Perusahaan dan pabrik kita akan baik-baik saja. Papa harus cepat sehat dan pulih seperti dulu. Aku kangen bercengkrama dengan Papa seperti dulu."
Serena memekik bahagia saat merasakan jemari papanya bergerak. Memang sangat lemah, tapi itu membuktikan kalau sang papa bisa merespon. Harapan kalau sang papa akan segera sadar membuncah di dadanya.
**
Gavin mendengarkan dengan tekun, presentasi dari depertemen pengembangan teknologi. Mereka sedang mengembangkan robot baru untuk keperluan rumah tangga. Chip yang lebih modern dan bisa menggerakkan alat lebih cepat dan efesien. Kalau inovasi mereka berhasil, kelak akan membajiri pasar dengan alat-alat kebutuhan rumah tangga buatan mereka. Produk mereka akan menguasari pasaran. Sebelum itu terjadi berbagai uji coba dilakukan dan hasilnya diharapkan sepadan.
"Kapan semua ini akan siap?" tanya Gavin menginterupsi presentasi laki-laki berjubah putih yang sedang berdiri di depan layar proyektor.
"Dalam setengah tahun, Pak," jawab laki-laki itu.
Gavin mengangguk. "Waktu yang ideal untuk menyempurkan semua. Jangan terburu-buru dan menghasilkan alat yang cacat."
"Baik, Pak."
Gavin membubarkan rapat, membuka satu pesan yang masuk ke ponselnya. Dari Serena. Perempuan itu mengatakan terima kasih karena Gavin membantunya mencari pemasok. Dan kini, pabrik Serena bisa berjalan normal Minggu depan. Gavin menjawab singkat, sudah tugasnya menepati perjanjian.
Beberapa hari berlalu dari semenjak mereka berpisah di hotel, dan Gavin merasa kalau dirinya merindukan tubuh Serena hampir setiap waktu. Ia berencana mengajak perempuan itu kembali menginap dalam dua Minggu kedepan. Tidak mau terlalu sering, takut mengganggu pekerjaan. Meskipun ia mau melakukannya setiap hari, bercinta dengan Serena.
Gavin tertegun saat melihat seorang perempuan menunggu di kantor. Ia mengeluh karena melupakan janji dengan perempuan itu.
"Andrea, sudah lama menunggu?"
Andrea membalikkan tubuh, menatap adik tirinya tanpa senyum. "Kamu membuatku menunggu lama."
Gavin melewatinya. "Aku sibuk."
"Harusnya kamu mengubah jadwal. Bukannya kamu tahu aku mau datang?"
Gavin membanting tas ke atas meja. "Ada apa sebenarnya? Aku masih banyak pekerjaan dan malas bertengkar denganmu. Kalau tidak ada yang sibuk, lebih baik kamu pulang!"
Andrea mengepalkan tangan, menghampiri meja dan menekan kedua telapaknya ke atas meja. Menatap Gavin lekat-lekat.
"Jangan sombong dan songong, Gavin. Ingat, kamu hanya anak haram!"
Gavin mendengkus. "Kamu pikir aku peduli dengan status itu? Tidak!"
"Aku tahu kamu tidak peduli. Sama seperti mamamu yang dipungut papaku dari rumah bordil, kamu tak ubahnya anak pelacur yang tidak tahu diri."
Gavin menyipit, menatap Andrea dengan penuh kebencian. "Tadi kamu mengatakan aku anak haram, lalu anak pelacur. Kalau kamu datang hanya untuk memakiku, pergilah! Pintu kantorku, selamanya tertutup untukmu!"
Andrea tidak peduli, seakan tidak mendengar kata-kata Gavin, mengenyakkan diri di kursi hitam depan meja. "Aku datang untuk bicara soal Wanajaya. Aku menginginkan perusahaan itu. Produknya, cocok denganku!"
Gavin menegang, menatap kakak perempuan yang tidak pernah dianggap saudara. Tanpa senyum dan keramahan, ia menjawab tegas.
"Tidak! Keluarga Wanajaya termasuk perusahaannya adalah milikku. Tidak ada yang boleh menyentuhnya!"
**
Bagian dari bab yang hilang, bisa kalian baca di Karyakarsa. Terlalu hot untuk diposting di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping With The Enemy
RomanceKiss antara Serena, Gavin, dan gejolak hubungan tanpa logika.