Bab 9a

2.2K 359 4
                                    

Rapat berkedok makan malam, itulah yang dirasakan Gavin saat berkumpul bersama sang papa dan saudaranya. Mereka memesan sebuah restoran di hotel bintang lima, di ruang VVIP yang khusus untuk mereka. Hidangan yang disajikan enak dan melimpah tapi Gavin merasa nasfu makannya terbang entah kemana.

Andrea sibuk berdiskusi dengan sang papa. Mama tirinya hanya menatap tanpa ada keinginan untuk menyapa. Perempuan 60 tahun dengan wajah oval dan rambut cokelat itu memang tidak pernah menyukainya. Tidak membuatnya heran kalau tidak pernah bertegur sapa. Bagaimana pun, ia hanya anak istri kedua. Perempuan yang dianggap tidak sederajat untuk menjadi bagian dari keluarga Chandra.

Chandra menangkap pandangan anak keduanya. "Gavin, kenapa makanmu hanya sedikit?" tegurnya.

"Sakit gigi, Pa. Kebanyakan makan manis." Yang menjawab adalah Andri. Anak ketiga Chandra, selisih hanya satu tahun lebih muda dari Gavin.

Gavin mengangkat sendoknya. "Ini lagi makan, Pa."

Chandra mengangguk. "Dari tadi papa perhatikan, kamu makan hanya sedikit. Kenapa? Ada masalah dengan bisnismu?"

Inilah yang terjadi setiap kali mereka bertemu, selalu bertanya soal bisnis dan tidak ada hal yang lain. Kehidupan mereka seolah hanya berkubang di antara perusahaan, tanpa ada rasa kekeluargaan. Seingat Gavin, terakhir bertemu sang papa adalah sebulan yang lalu dan sekarang, kala makan bersama yang ditanya hanya soal bisnis.

Mengabaikan perasaan sentimental dalam dada, Gavin menjawab sambil tersenyum. "Bisnis lancar."

"Bagaimana dengan keluarga Wanajaya?"

"Sudah ditangani, Pa."

Chandra mengangguk. "Bagus, memang harus begitu menghadapi relasi yang curang. Mereka pikir bisa melawan kita?"

"Sebenarnya, aku ingin membantu Gavin memberi pelajaran pada keluarga Wanjaya. Agar mereka tidak semena-mena pada kita, tidak lagi meremehkan kita, tapi Gavin menolak, Pa." Andrea menyela percakapan."

Gavin menjawab tanpa menatap sang kakak. "Tidak semua hal kamu boleh ikut campur, Kak. Ini urusanku, dan bisa aku selesaikan sendiri."

"Tapii—"

"Kamu nggak ada niat bantu. Kamu hanya ingin merebut, karena tahu kalau mereka punya prospek yang bagus."

Andrea mendengkus kesal, menatap sang papa. "Lihat'kan, Pa? Dia sombong dan keras kepala!"

Chandra terdiam, menerima udang yang sudah dikupas oleh istrinya. Menusuk udang dengan ujung garpu, dan memakannya. Matanya menatap Gavin yang makan dengan tenang. Ada keengganan yang terlihat jelas dari sikap pemuda itu. Ia tahu kalau anak-anaknya selalu bertentangan satu sama lain. Mengerti juga kalau tidak mudah untuk membuat mereka akur, ada banyak penyebab.

"Andrea, makan dulu. Jangan marah-marah terus." Sang mama menengahi, mengambil satu iris daging panggang dan meletakkannya di atas piring anak perempuannya. "Makin hari kamu makin terlihat kurus, kurang makan dan terlalu banyak bekerja. Kamu sudah bersikap baik pada orang lain, kalau dia nggak terima, kenapa masih maksa?"

"Maa, ini perusahaan kita."

"Sudah dibagi-bagi. Urus saja bagianmu sendiri, jangan buang-buang tenaga untuk orang yang tidak tahu diri!"

Tidak ada yang membatah perkataan Gita. Istri Chandra itu punya kepribadiaan kuat dan mendominasi. Lidahnya tajam, dengan mulut pedas. Tidak banyak orang yang tahan bicara dengannya. Berbeda dengan ibunya Gavin yang cenderung lembut. Banyak orang mengatakan, salah satu alasan Chandra memiliki istri muda karena tidak tahan dengan sikap keras Gita. Meskipun begitu, mereka hanya bisa menduga tanpa tahu kebenarannya.

Gavin terdiam, tahu kalau perkataan itu ditujukan untuknya. Peduli setan pikirnya, terbiasa dengan cacian dan makian, sebuah sindiran tak berarti apa-apa untuknya. Ucapan-ucapan pedas dari Gita sudah sering didengarnya, tidak perlu dimasukkan ke dalam hati.

Pelayan masuk membawa hidangan berikutnya. Gavin menatap miris pada makanan yang banyak tersisa. Ia tidak tahu, kemana sisa makanan itu akan dibuang, berharap diberikan pada yang membutuhkan. Orang-orang kelaparan, dengan uang dan penghasilan tidak seberapa. Gavin merasa geli sendiri dan menganggap terlalu bijak.

Andrea yang belum puas ingin menyerang Gavin, menyipit ke arah adik tirinya. "Di dunia ini memang banyak orang tidak tahu diri. Sudah diberi kehidupan yang layak malah ngelunjak!"

"Andrea," tegur Chandra. "Jaga bicara."

"Memangnya apa yang salah, Pa? Emang benar begitu."

Andri yang sedari tadi terdiam, mengangguk ke arah sang papa. "Yang dikatakan Kakak benar, Pa. Ada banyak orang yang menggunakan kesempatan yang diberikan untuk bertingkah. Selalu menganggp diri mereka paling baik, paling suci, tapi kenyataannya apa?"

Gavin tersenyum, mengangkat gelasnya. "Wah-wah, apa kamu sedang bicara tentang dirimu sendiri, Andri? Terakhir aku dengar Papa harus menyelamatkanmu dari meja judi sebelum mereka melumatmu habis-habisan di sana. Orang suci yang suka menghamburkan uang untuk judi!"

"Tutup mulutmu! Apa yang aku lakukan tidak ada hubungannya denganmu," geram Andri. Matanya melotot ke arah Gavin dengan penuh kebencian.

"Tutup mulutmu juga," ucap Gavin tenang. "Jangan ikut campur urusanku kalau tidak ingin orang lain melakukan hal yang sama!"

"Kamu pikir kamu hebat?" desis Gita. "Berani mengancam anakku?"

Gavin mendengkus. "Tante yang hebat, aku hanya remahan kue di dasar kaleng tua yang berkarat. Tidak ada apa-apanya dibandingkan Tante."

Melihat istrinya ingin mendebat, Chandra mengangkat tangan. "Cukup! Siapa yang berani bicara lagi, aku akan lempar keluar dari sini!"

Selanjutnya, tidak ada lagi yang bicara. Meskipun Gita merasa tidak puas, tapi menahan diri untuk tidak lagi melontarkan kata-kata pedas. Ia selalu membeci Gavin, karena lahir dari perempuan sok suci yang telah merebut suaminya. Perempuan keparat yang menggunakan kelembutan dan kepolosan untuk memperdaya Chandra, hingga hamil dan melahiran satu anak laki-laki angkuh. Ia tidak pernah puas karena suaminya memberi Sebagian perusahaan untuk Gavin, tapi keputusan Chandra tidak pernah bisa diganggu gugat dan itu sangat menyebalkan baginya.



Sleeping With The EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang