Bab 12b

1.8K 326 8
                                    

"Nggak tahu, lo lebih paham. Mungkin, lo harus belajar gimana caranya goyang." Jenice berkata sambil mengerling dan membuat Serena terbahk-bahak.

"Goyang apaan? Dangdut?"

"Ah, sok polos. Sini gue ajarin, nggak tahu ap ague sama laki gue bisa betah berjam-jam gituan."

"Iya, gue percaya. Suhuuu, master, paling hebat."

Mereka terus mengobrol hingga tengah malam, dan tertidur berpelukan di karpet ruang tengah. Tidak ada pelayan yang berani membangunkan keduanya, hingga matahari menyingsing dan Jenice mengajak Serena pindah ke kamar. Mereka melewatkan hari libur dengan makan, menonton film, tidur, dan mengobrol tanpa henti tentang apa saja.

**

Gavin berdiri di depan cermin, dibantu satu asisten memasang rompi dan dasi. Sedangkan astu asistennya yang lain, membacakan jadwal pekerjaan yang padat. Dari mulai pertemuan dengan menteri, dan juga rapat dengan beberapa orang secara bergantian.

"Nona Andrea ada di sini, Pak. Beliau datang tadi malam."

Gavin mengangguk. "Sudah kuduga, kakakku tersayang pasti di sini. Ada orang lain yang aku kenal?"

"Pak Gavin kenal Pak Rainer? Dulu, Kakak Anda ingin menikah dengannya tapi tidak jadi."

Gavin menganggauk. "Aku ingat orang itu. Kalau nggak salah, istrinya terpaut umur yang cukup jauh dan sempat ada skandal?"

"Benar, istrinya menusuk laki-laki yang hendak memerkosanya."

"Tindakan yang bagus. Siapa lagi yang akan kita temui?"

"Pak Marcello dari Good and Food, beliau ini dulu pernah dijodohkan dengan Nona Serena."

Mata Gavin menerawang menatap bayangannya di cermin. "Aku pernah bertemu Marcello beberapa kali. Laki-laki yang hebat. Bukankah sekarang sudah menikah?"

"Sudah, Pak."

"Kalau begitu, tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku tidak bersaing dengan bapak-bapak."

Sebelum keluar dari kamar. Gavin menelepon Serena dan menanyakan keadaannya. Perempuan itu menjawab dengan setengah mengantuk, mengatakan sedang flu dan sekarang di rumah istriharat. Suaranya terdengar sangat parau.

"Kenapa bisa flu sampai parah begitu?" tanya Gavin.

"Begadang di rumah Jenice, eh, itu sahabatku. Tidur di lantai cuma beralas karpet. Pokoknya gitulah. Padahal, aku sering nginap di sana dan biasanya nggak ada masalah."

"Lusa aku pulang, dan nggak mau dengar kamu masih flu. Kamu ke dokter, atau aku panggil sekretarisku untuk menjemputmu dan membawamu ke rumah sakit."

Serena mendesah. "Ya Tuhan, Pak. Ini hanya flu."

"Flu atau bukan, penyakit tetaplah penyakit, tidak ada kata hanya untuk itu."

Setelah diancam dan diperingatkan, Serena setuju untuk berobat ke dokter. Sebelum mengakhiri panggilan, Serena bertanya bagaimana keadaan pertemuan. Gavin hanya menjawab singkat tanpa membeberkan tentang siapa saja penguasaha yang ada di sini. Entah kenapa ia tidak mau Serena tahu soal keberadaan Marcello. Ia akan menyimpan masalah itu untuknya sendiri.

Pertemuan dimulai pukul sembilan pagi dan berakhir pukul dua belas siang. Di jam makan, mereka semua berkumpul di restoran hotel, menyantap hidangan dari prasmanan. Gavin duduk satu meja dengan salah satu pemilik kelapa sawit. Bicara tentang pembiayaan dan lahan.

"Permisi, apakah saya bisa duduk di sini?"

Gavin mendongak, menatap Marcello yang berdiri dengan piring dan cangkir kopi.

"Hampir semua meja penuh," ucap laki-laki itu.

Gavin mengangguk. "Silakan, di sini kosong."

Marcello dengan senang hati mengenyakkan diri di kursi kosong dan mulai makan. Lawan bicara Gavin pergi entah kemana, menyisakan hanya dirinya dan Marcello. Demi sopan santun, dengan terpaksa mengajak laki-laki itu bicara.

"Bagaimana makanannya? Cukup enak?" tanya Gavin basa-basi.

Marcello mengangguk. "Lumayan, Pak." Menatap piring Gavin yang masih kosong dan terlihat bersih. "Apakah Pak Gavin nggak makan?"

"Makan, tapi baru sedikit. Sebentar lagi, akan makan yang lain."

Mereka saling pandang lalu terdiam. Di sekitar mereka dengung obrolan berbaur dengan denting peralatan makan. Percakapan didominasi tentang pasar saham, konsumen, dan juga untung rugi. Gavin menyesap kopi panasnya perlahan.

"Pak Gavin, sepertinya punya pendapat yang bertentangan dengan Pak Menteri," tanya Marcello.

Gavin tidak merasa heran kalau Marcello tahu tentang dirinya. PT. Ultima adalah perusahaan besar dan semua pengusaha tahu tentang hal itu. Mereka juga pasti tahu tentang perdebatannya dengan menteri yang dianggapnya sangat tidak korporatif untuk pengusaha.

"Sedikit bertentangan. Menurut Pak Marcello sendiri bagaimana? Setuju?"

Marcello menggeleng. "Banyak hal memberatkan."

"Itu yang aku pikirkan juga."

Mereka berdua bercakap-cakap dengan serius, sampai tidak sadar saat Andrea datang. Perempuan itu menggandengn calon suaminya dan keduanya duduk berdampingan di depan Marcello dan Gavin.

"Wah-wah, ternyata kalian akrab juga, ya? Marcello, mantan tunangan Serena dan Gavin, orang yang membuat Wanajaya kocar-kacir. Kalian akrab, apakah ingin merencanakan sesuatru terhadap mereka?" Andrea berkata dengan wajah berkilat licik.

Marcello menggeleng. "Aku dan Serena tidak pernah bertunangan. Kami bertemu beberapa kali, hanya itu."

Andrea mengangkat kedua tangan. "Jangan jelaskan padaku. Yang punya masalah dengan mereka adalah adikku."

Marcello menatap Gavin bingung, tapi tidak menemukan jawaban karena laki-laki itu justru sedang sibuk memperhatikan kekasih Andrea. Aldo duduk tenang dengan wajah ditekuk, makan apa pun yang diberikan Andrea, seolah itu adalah perintah yang tidak dapat ditolak.

"Bagaimana Gavin? Kamu nggak tertarik bicara sama Marcello dan membahas soal Serena? Mungkin kamu berniat balas dendam pada Wanajaya melalui anak perempuannya. Aku dengar, Serena sangat cantik."

Marcello menagngguk. "Memang, anggun dan pintar. Aku rasa, tidak bijak mengaitkan soal perusahaan pada diri Serena."

Pembelaan Marcello pada Serena menggugah perhatian Gavin. Ia menatap sang kakak dan bergantin dengan Marcello. Tidak suka saat mendengar Marcello memuji Serena, dan tidak suka pula saat Andrea justru menghina.

Ia mengetukkan sendok permukaan piring dan berkata tegas. "Kalian tidak usah bingung soal aku dan Wanajaya. Aku mengerti bagaimana menangani Wanajaya sekaligus Serena."

Ia sengaja membiarkan kata-katanya tetap ambigu. Serena adalah milikinya, Marcello ataupun Andrea, tidak boleh mendekati perempuan itu.
.
.
.
.Siapkan pulsa, cerita ini akan tersedia di google playbook Minggu Depan.

Saran serius, baca setelah buka puasa.

Sleeping With The EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang