Bab 6a

3K 345 7
                                    

 Serena bisa merasakan lidah Gavin membelai bagian dalam mulutnya. Ia memeluk leher laki-laki itu dan membalas ciumannya. Tidak perlu malu, yang ada di sama seperti mereka, sedang bercumbu dengan pasangan masing-masing. Laki-laki tua kurus di ujung sofa, sedang adu lidah dengan dengan perempuan berdada besar. Dua lainnya sedang adu minum, dan satu lagi menyanyi. Serena tidak tahu, kenapa relasi bisnis bisa demikian brutal.

"Kamu bilang mereka siapa?" tanyanya di sela-sela ciuman.

Gavin mengusap bibirnya. "Orang-orang papaku. Sedang mengamatiku apakah aku punya kekasih atau tidak."

"Memangnya kamu perlu validasi itu?"

"Perlu Serena, kalau tidak papaku akan menjodohkan aku dengan gadis kesukaan dia."

Serena tersenyum. "Ternyata, dalam bisni memang wajar kalau ada perjodohan untuk memperkuat relasi." Ia teringat Marcello.

Gavin membelai pipinya. "Kenapa? Kamu pernah dijodohkan?"

"Pernah."

"Lalu?"

"Tidak berakhir dengan baik, karena dia memilih kekasihnya."

"Wow, dia menolakmu?"

"Bisa dibilang begitu."

Gavin mengangkat dagu Serena. "Sehebat apa dia, sampai berani menolak perempuan secantik kamu. Apakah dia memiliki sepasang mata yang buta?"

Serena tergelak. "Kamu percaya, dalam sebuah hubungan yang menentukan adalah perasaan. Bukan hanya cantik saja. Dia memiliki perasaan itu untuk kekasihnya dan bukan untukku. Sesederhana itu.,"

"Serena sangat bijaksana."

Serena sama sekali tidak merasa bijaksana, karena saat pertama kali tahu Marcello lebih memilih Deswinta, ia merasa sangat sakit hati. Cemburu dan iri menguasainya. Belakangan ia tahu, kalau cinta dan perasaan memang tidak dapat dipaksakan. Percuma ia mengejar Marcello. Kalau laki-laki itu tidak mencintainya, tidak ada yang bisa memaksa.

Gavin mendekap dan mengusap punggungnya. Serena menyadari kalau yang bernyanyi kini berganti orang, tapi dirinya masih tetap berada di pangkuan Gavin. Laki-laki itu menolak untuk melepaskannya.

"Kamu di sini dulu, aku ke kamar mandi sebentar."

Serena berpindah, dari pangkuan Gavin ke atas sofa. Laki-laki itu bangkit menuju kamar mandi yang letaknya di samping ruangan. Ia mengambil air mineral, meneguknya dan tersenyum mendengar suara perempuan yang sedang menyanyi. Suaranyanya lebih bagus dari yang pertama bernyanyi.

"Cantik, siapa namamu?"

Laki-laki gemuk berpindah duduk dan menyapanya. Serena tersenyum. "Namaku Jenice." Dalam hati meminta maaf pada sahabatnya.

"Nama yang cantik, secantik orangnya. Jenice, apakah kamu bekerja?"

Serena mengangguk. "Iya."

"Di klub mana? Aku yakin Gavin membayarmu untuk menemaninya bukan? Laki-laki bajingan! Tidak mau kalah dengan kami, menyewa perempuan pendamping!" Laki-laki itu tertawa keras, perutnya menggelembung dan aroma alkohol yang kuat menguar dari mulutnya. Serena menahan diri untuk tidak mual.

"Aku bukan perempuan pendamping, aku kekasihnya," ucap Serena.

"Iya, iya, aku percaya padamu. Perempuan pendamping diajarkan dan dituntut untuk jadi apapun yang diinginkan penyewanya. Gavin menginginkanmu menjadi kekasih, maka kamu harus bersikap anggun layaknya kekasih. Siapa yang tahu siapa kamu sebenarnya?"

Serena terdiam, berusaha tidak terpancing perkataan laki-laki itu. Gavin sudah memperingatkannya untuk tidak mengungkapkan jati dirinya. Maka itulah yang dilakukannya. Menyimpan erat informasi tentang Serena dan

Sleeping With The EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang