Gavin tidak mengindahkan mereka, mengangguk kecil dan menggandeng Serena keluar dari ballroom. Dua asistennya ikut menyusul. Saat tiba di lobi, Gavin menghela napas panjang dan merasa lega luar biasa.
"Astaga, aku nyaris tercekik karena udara di dalam terlalu panas."
Serena tersenyum. "Yang panas suasananya, Pak. Bukan ruanganya," ucapnya menggoda.
Gavin melirik Serena lalu tergelak. "Benar juga kamu. Lateef itu orangnya tidak mau kalah. Aku takut kalau tidak keluar, bisa adu jotos dengannya. Ngomong-ngomong, aku lapar."
"Kita makan dulu kalau begitu."
Gavin mengangguk. "Kamu mau makan apa?"
"Karena habis terkena badai, aku pingin makan fast food. Ayam goreng, burger, dan kentang goreng."
Gavin tercengang. "Kamuy akin mau makan begituan?"
"Iya, sesekali. Jarang makan soalnya."
"Oke, kita ke sana."
Bersama dua asisten yang mengendarai kendaraan sendiri, mereka menuju restoran fast food terdekat. Serena memesan ayam goreng, burger, kentang, dan minuman bersoda. Tidak peduli dengan pandangan Gavin, ia mencicipi semuanya. Gavin hanya makan ayam goreng dan minum es kopi.
"Nggak mau makan burger, enak, loh?" Serena menyodorkan burgernya yang sudah digigit.
Gavin menatapnya lalu tersenyum. Menangkap pergelangan tangan Serena, dan menggigit burgernya. "Ehm, lumayan."
Serena tergelak. "Makan sendiri, Pak. Maunya disuapi."
"Sesekali, sudah lama nggak ada yang masakin dan suapi. Terakhir, mamaku yang melakukannya."
Serena bertanya dengan tidak enak hati. "Beliau sudah lama meninggal?"
Gavin mengangguk. "Dua tahun lalu."
"Sakit?"
"Begitulah."
Gavin tidak menjelaskan lebih lanjut, mengambil kentang dan memakannya. Serena meneruskan makan burger.
"Aku bisa masak, kalau cuma sayur rumahan. Mau aku masakin?"
Gavin menengadah, tanpa kata merogoh tas hitam yang selalu dibawanya dan memberikan kunci serta kartu pada Serena.
"Apartemenku, kamu bisa datang kapan pun kamu mau."
Serena tercengang. "Eh, bukannya kamu yang bawa aku ke sana, Pak?"
"Kamu bisa meneleponku kalau mau datang. Serena, aku akan senang kalau sesekali kamu yang ingin bertemu denganku."
Serena menyimpan kartu dan kunci dari Gavin ke dalam tasnya. Tidak mengerti bagaimana harus menanggapi perminataan Gavin. Tentu saja, ia tidak akan pernah menghubungi Gavin lebih dulu. Dalam hal ini, ia hanya seorang yang mengikuti perintah. Lagipula, hubungan mereka bukan keluarga, juga bukan kekasih.
Mereka menandaskan makanan, kembali ke hotel karena kendaraan Serena ada di sana. Sebelum berpisah, Gavin memberikan kotak pada Serena.
"Apa ini, Pak?"
"Hadiah kecil. Terimalah."
Serena meninggalkan hotel dengan pikiran bertanya-tanya, kenapa Gavin suka memberinya hadiah. Apakah laki-laki itu merasa wajib membayarnya? Bukankah hubungan mereka terjadi karena kesepakatan? Seharusnya tidak perlu merasa sungkan.
Mereka berpisah tanpa berjanji kapan akan bertemu lagi. Sebuah hubungan saling menguntungkan antara tuan dan bawahannya. Serena menatap kotak hadiah di sampingnya, mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Ia sudah berjanji pada sang mama akan datang malam ini.
Nasibnya sungguh sial hari ini, setelah bertemu dengan Lateef yang menyebalkan, kini harus berhadapan muka dengan sang tante. Entahk kenapa Marta datang di saat dirinya juga datang. Padahal, ia ingin sekali menghindari perempuan ini. Tidak ingin terlibat adum mulut dengannya. Ia merasa sangat lelah, bahkan untuk sekedar bercakap.
"Maa, aku datang."
Wintari dan Marta menatap Serena dan keduanya terbelalak, Serena menyadari pakaiannya yang terlihat glamour untuk ke rumah sakit.
"Papamu di rumah sakit dan kamu malah berpesta?" tegur Marta sengit.
Serena mengabaikannya, menujui westafel untuk mencuci tangan. Mengelap dengan tisu dan menghampiri ranjang.
"Pesta pernikahan teman, resepsi di hotel. Apa salahnya, Tante?
Ia mengusap tangan sang papa dan menepuk perlahan. Sangat berharap papanmya sadar dan kembali menyapanya dengan senyum hangat.
"Oh, pesta pernikahan? Gaunmu terlalu glamour!"
"Nggak masalah kalau Serena berpesta, dia sudah bekerja keras selama beberapa bulan ini. Apa kamu tahu kalau Serena sudah berhasil meyakinkan PT. Ultima, dan membuat perusahaan kami kembali beroperasi?" Wintari membela sang anak. Ia sendiri yang menyarankan Serena untuk lebih banyak bersantai dan bergaul. Tidak ingin anaknya berkubang dalam kesedihan, dan juga tumpukan pekerjaan. Serena masih muda, sudah seharusnya banyak bersenang-senang.
Marta mendengkus. "Aku tahu soal itu. Indra setiap hari bicara dengan bangga soal Serena. Tetap saja, harus menjaga sikap. Orang-orang akan bergunjing, mengatakan tidak pantas anak perempuan bersenang-senang sementara sang papa terbaring di ranjang rumah sakit!"
Serena menghela napas panjang, menatap Marta. "Tante, aku ada di rumah sakit 24 jam pun tidak akan membantu. Dari pada Tante ribut tentang gaya hidupku, kenapa Tante nggak urusi Ayu. Bukankah dia sedang membuka bisnis baru?"
Marta mengangguk, matanya berbinar bangga. "Ayu, dari dulu tidak pernah merepotkan kami. Anak perempuan yang penurut!"
"Bagus kalau begitu. Cukup Ayu saja yang Tante urusi. Tidak perlu mengurusiku. Bukan apa-apa, aku sudah kurus dibandingkan kalian!"
Marta tercengang, sedikit bingung dengan perkataan Serena. Wintari menyembunyikan senyumnya, bangkit dari sofa menghampiri Serena dan mengendus pakaiannya.'
"Kamu pakai parfum apa? Enak baunya."
Serena menatap sang mama sambil tersenyum. "Hadiah dari teman. Mama mau? Ada dua botol."
"Boleh, mama mau pakai jalan-jalan kalau nanti Papa sudah sembuh."
Mereka bicara, dengan tatapan Marta tertuju pada keduanya. Rasa iri dan jengkel menyelimuti Marta, tentang Serena yang tidak pernah benar di matanya.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping With The Enemy
RomanceKiss antara Serena, Gavin, dan gejolak hubungan tanpa logika.