Mereka saling pandang, saling menilai satu sama lain. Musik mengalun sendu dari pengeras suara, membuat suasana makin sahdu. Para penyanyi live sedang bersiap-siap untuk memainkan nada-nada mereka. Belum terlalu malam untuk pertunjukan.
Serena merasa kalau Gavin sedang mengujinya. Tidak masalah. Ia terbiasa dengan masalah, seberat apa pun itu, harus dijalani. Menyesap minuman, ia berdehem sesaat.
"Pak, saya ingin meminta tolong."
Gavin mengangkat tangan. "Pakai cara panggil orang normal saja."
"Maksudnya?"
"Aku, bukan saya. Terus terang, panggilan saya membuatku terlihat tua, Serena."
Kalau situasi tidak serius, Serena pasti terbahak-bahak. Merasa kalau laki-laki di depannya sedang bercanda. Ia tersenyum kecil, dan mengangguk.
"Baiklah, aku ingin meminta tolong kalau tidak keberatan."
Gavin mengangguk. "Teruskan."
"Tentang penundaan pembayaran gugatan. Papaku, terkena serangan jantung dan sekarang terbaring di rumah sakit. Sedangkan aku belum sepenuhnya mengerti tentang perusahaan ini. Bi-bisakah minta waktu?"
"Kamu minta waktu untuk melakukan pembayaran?"
Serena mengangguk. "Juga, tolong cabut somasinya. Sekarang kami kesulitan mendapatkan bahan baku karena rumor kalau kami menjadi musuh PT. Ultima, membuat banyak pemasok ketakutan."
Gavin mengangguk. "Permintaanmu berat, Serena. Kamu tahu bukan, dalam bisnis harus memilih yang paling menguntungkan."
Serena meneguk ludah. "Iya, Pak. Tapi, ini urgent."
Gavin tersenyum tipis, raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan banyak ekpresi meskipun sedang bicara. Tetap datar, angkuh, dan tidak tersentuh kala mendenga tentang Wanajaya yang terbaring di rumah sakit. Bagi Gavin, bisnis adalah segalanya. Tidak peduli yang lain.
"Urgent buatmu, tapi tidak untukku."
"Me-memang, tapi aku nggak tahu lagi harus bicara dan meminta tolong dengan siapa. Hanya Pak Gavin yang bisa membantu."
"Serena, tidak ada kata saling bantu dalam bisnis. Semua ada timbal baliknya. Kamu memintaku menolongmu, apa yang bisa kamu tawarkan? Kalau hanya penggantian uang, sorry, aku nggak butuh."
Serena meremas jemari di atas pangkuan. Tidak mengerti lagi harus bicara apa. Ia tidak kenal Gavin. Baru pertama kali melihatnya. Lantas, apa yang bisa ditawarkannya untuk menyelamatkan nyawa sang papa? Kesepakatan apa yang bisa diperbuatnya untuk menmbuat perusahaannya tetap berdiri? Ada ribuan karyawan yang sekarang menunggu uluran tangannya untuk membuat dapur mereka tetap mengebul. Sedangkan di sini, ia terjebak dalam kebingungannya sendiri.
"Apa yang Pak Gavin inginkan?"
Akhirnya, tercetus juga kata-kata itu dari mulut Serena. Tanpa diduga, Gavin tersenyum lebar dengan wajah yang semula tanpa ekpresi kini menjadi sedikit rileks.
"Kamuy akin ingin tahu apa yang aku inginkan?"
Serena mengangguk. "Iya, Pak. Tolong beri petunjuk, demi keluargaku."
Gavin mengangkat tangan. "Aku tahu kamu melakukan ini demi siapa. Nggak perlu kamu ulang. Serena, yang aku inginkan hanya satu, yaitu ... kamu."
Kata-kata Gavin menggantung di udara. Serena mengernyit bingung.
"Ma-maksudnya, Pak?"
Gavin menatap tajam, senyum lenyap dari bibirnya.
"Kamu pintar, Serena. Tanpa perlu aku perjelas harusnya sudah mengerti. Yang aku inginkan adalah kamu, seutuhnya."
Serena menahan napas, tanpa disadari lengannya menyilang di depan dada. Mereka saling pandang untuk beberapa detik. Tidak ada yang bicara, hanya tatapan saling mengunci. Serena akhirnya menyadari kalau Gavin tidak main-main. Ia menelan ludah, berharap rasa takutnya ikut tertelan masuk.
"Pak, ja-jangan main-main."
Gavin mengangkat bahu. "Aku serius."
"Tapi, kenapa?"
"Kamu cantik, sexy, dan aku suka. Bukankah itu alasan yang bagus?"
"Ini gila, aku butuh kesepakatan bisnis."
"Aku berikan Serena. Kamu ingin keringanan pembiayaan? Ingin nama perusahaan kalian bersih? Oke, aku bisa lakukan dalam satu jentikan jari. Tapi, penuhi dulu permintaanku."
Serena memejam, merasa kalau yang didengarnya adalah hal paling gila. Tadinya ia pikir, kalau kesepakatan sex dan bisnis hanya ada di cerita drama, nyatanya ia mengalami sendiri. Semua kesombongan, keangkuhan, dan harga diri yang dipunyainya selama ini, seolah hancur lebur terinjak kata-kata Gavin.
"Ba-bagaimana Pak Gavin bisa meminta hal tidak masuk akal begitu?" ucapnya keras kepala.
Gavin tidak menjawab, mengeluarkan selembar kartu nama. "Kamu terlalu banyak bicara, Serena. Aku nggak ada waktu untuk dengar. Kabari aku kalau kamu sudah membuat keputusan. Satu Minggu harusnya cukup untukmu."
Serena tidak mengatakan apa-apa, saat Gavin bangkit dan pergi meninggalkan meja. Dua laki-laki yang semula duduk di meja sebelah, kini ikut bangkit dan mengikutinya. Serena menatap punggung laki-laki itu dan mendesah. Kebingungan menyelimutinya. Ia meraih kartu nama dan meremasnya. Memejam lalu memasukkan kartu nama yang kusut ke dalam tasnya. Ia merasa, pembicaraan malam ini sia-sia. Siapa sangka, akan bertemu dengan seorang laki-laki yang hanya memikirkan soal sex. Ternyata, tidak peduli meskipun berkedudukan tinggi dengan harta melimpah, bukan jaminan seseorang akan punya moral yang bersih.
**
Di dalam kendaraan yang melaju kencang, Gavin membuka ipad. Membaca jadwal, sambil mendemgarkan perkataan asistennya tentang pekerjaan esok hari. Ia menyetujui hampir semua jadwal sampai satu hal menganggunya.
"Kenapa Papa memintaku bertemu Andrea?"
Sang asisten berdehem. "Membangun hubungan erat antar saudara."
Gavin mendekus. "Antar saudara? Kami hanya saudara satu papa. Apanya yang ingin dieratkan. Lagi pula, siapa yang mau mendengarkan ocehan perempuan itu."
"Pak ...." Sang asisten berujar lembut.
Gavin menatapnya. "Kenapa? Kamu nggak setuju?"
"Bukan, tapi beliau kakak Anda."
Gavin tersenyum kecut. "Kakak? Bisa dipastikan kami akan saling membunuh setiap kali bertemu. Ada jadwal lain?"
"Itu, nggak boleh dilewati, pesan dari Papa Anda."
Gavin mengumpat tajam, mengingat tentang papanya yang suka memaksa. Papanya jelas-jelas tahu kalau ia tidak pernah akur dengan Andrea, untuk apa memaksa bertemu? Baginya, Andrea hanya kakak dalam sebutan, bukan benar-benar bersaudara. Bagaimana ia bisa menganggap seorang perempuan itu kakaknya, kalau setiap kali bertemu mereka akan saling memaki.
Andrea adalah anak istri pertama, punya dua adik. Sedangkan Gavin adalah anak tunggal dari istri kedua. Papa mereka sudah membagi tugas masing-masing, tanpa perlu bertikai. Sayangnya, bagian yang diberikan untuk Gavin, makin lama makin berkembang dan itu membuat Andrea tidak suka. Gavin tidak pernah peduli padanya, tapi tidak ingin membuat kecewa sang papa.
"Baiklah, Minggu depan. Rabu sore."
"Pak, itu masih seminggu lebih."
"Aku punya waktu hanya itu."
Gavin menutup layar ipad dengan kesal, menatap jendela dan mengamati lampu-lampu yang bersinar sepanjang jalan. Ia merasa kalau kerlip lampu itu, seperti binar mata Serena. Perempuan anggun, cantik, dengan harga diri dan ego tinggi. Ia tertarik menaklukkannya. Kalau pendekatan biasa, tidak akan mungkin melakukanya. Dengan terpaksa, ia menggunakan ancaman. Tidak pernah sebelumnya, ia merasa begitu tertarik dengan seorang perempuan. Serena membuat letupan di dada, dan hasrat memiliki yang kuat.
"Serena, aku pasti bisa mendapatkmu." Gavin bicara dengan pikirannya sendiri.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping With The Enemy
RomanceKiss antara Serena, Gavin, dan gejolak hubungan tanpa logika.