Second-Nightmare

870 131 0
                                    

Besoknya dimalam hari, para anggota baru tim Quidditch Ravenclaw telah terseleksi. Piera menjadi salah satu yang ikut

"Nn. Snape, kau yakin tidak ikut sekarang?" Siswa seumurannya mencoba mengajak Elyse berbincang.

"Dia bilang tidak aku bisa apa? Semua yang ayah putuskan sudah pada perhitungannya, jika berbahaya tidak ada kata 'iya' Mr. Davies." Jelas Elyse sedikit sedih melihat Piera yang girang dapat ikut Quidditch.

"Ayahmu pasti tidak melihat potensi mu saat terbang, dan tidak melihat betapa berani putrinya ini terbang." Cukup lucu perkataannya hingga Elyse tertawa.

"Tidak perlu menghibur ku, aku masih mampu menghibur diriku sendiri. Tapi terimakasih, kata manis itu cukup untuk menutupi pahitnya kopi." Elyse tersenyum lebar.

"Roger kemarilah!" Roger dipanggil temannya, tanpa berkata lagi dia pergi.

"Hanya menutupi tidak dengan menghilangkan." Bisik Elyse pelan menikmati perasaannya saat ini, tidak memberontak untuk menunjukkannya.

Besok kelas Transfigurasi, dari pada melongo disini Elyse pergi ke kamar dan mempelajari materi yang mungkin akan di jelaskan besok.

Saat larut malam kedua temannya baru saja kembali, wajah mereka terlihat mengantuk. Tanpa memperhatikan sekitar mereka memadamkan api dan tidur.

Elyse yang masih terbangun hanya bisa diam, 'apa sudah cukup aku menurut?' terbesit satu perkataan dalam batin melihat bulan purnama dari jendela, Elyse teringat seseorang.

Lantas tersenyum dan mengurungkan niatnya, mungkin lain kali dia akan menjadi pemberontak. Sekarang bukan saatnya, apa lagi tahun depan ada seseorang yang harus diperhatikan.

Terlena pesona bulan, Elyse tertidur di atas meja dengan tangan menjadi bantal, selimut terbang untuk menghangatkan tubuh kecil itu.

"Ibu izinkan aku pergi ke gereja, jika kesana hantu tidak mengikuti ku." Anak kecil duduk mengayunkan kedua kakinya kecilnya yang mempunyai jarah dengan  lantai.

"Lily, dirumah saja ya, kita sedang bersembunyi, kali ini menurut ya nak." Ucap sang ayah mencoba menolak permintaan gadis kecil itu.

"Dad, ayolahh....besok kan Halloween boleh ya kali ini saja. Aku janji tidak menyusahkan sister, aku juga tidak akan nakal." Paksa gadis itu.

"Elyse Dad tidak bisa memberimu izin, coba minta Mum." Ayahnya sudah luluh itu melemparkan pemberian izin terhadap istrinya.

"Bolehkah Mum, aku janji tidak nakal" dia meminta izin sambil mengikat janji jari kelingking bersama ibunya.

"Ibu antar nanti sore kesana." Mensejajarkan diri dengan anak gadisnya membalas acungan jari kelingking mungil itu.

"Siapa yang mengingkarinya akan ditusuk seribu jarum." Ucap mereka bersamaan.

"James, lihat Harry apa dia sudah bangun!" Wanita itu memerintahkan suaminya untuk melihat anak kedua mereka yang usianya baru menginjak satu tahun.

"Ibu, kapan John datang lagi? Aku rindu John." Gadis kecil itu berusaha duduk lagi di kursi untuk menyantap sarapannya yang sudah di sajikan ibunya.

"Nanti aku kirimi dia surat, dan menuliskan jika kau sangattt rindu John dan berharap bisa bertemu secepatnya. Sekarang sarapan dulu, nanti kita tulis bersama suratnya." Mengusap pelan kepala kecil itu.

"Ibu tinggal ya, ingat janji mu Elys." Sekali lagi wanita itu mengingatkan janji yang mereka buat pagi tadi.

'aku seperti tak rela ibu pergi, kenapa aku merasakan terlalu jauh dari ibu, ini belum lebih dari lima meter jarak kita.' batin Elyse yang sedang gelisah dan ekspresinya menampilkan itu semua.

"Apa ada yang mengganggumu? Wajahmu pucat sekali, kita pulang saja kau terlihat sakit." Perkataan ibu menyadarkannya.

"Tidak, aku sudah terlanjur disini. Terbung sia-sia nanti waktu untuk berjalan kemari." Tolak Elyse.

"Jika tambah parah langsung pulang saja ya, jangan dipaksakan." Wanita itu tak rela tapi sesuatu dalam dirinya untuk menyuruh anaknya tetap disini.

Ibunya pergi dia masuk ke gereja yang sepi, hanya pekerja gereja yang ada. Elyse duduk diam dengan keringat dingin yang sejak tadi keluar.

Suster disana menyapanya dan mengajak Elyse berbicara dan bermain bersama, mengajarkan bagaimana berdoa. Semua itu tidak bisa mengurangi rasa gelisah nya.

Elyse pulang sendirian, sampai di depan rumah dia melihat cahaya hijau dari jendela kamar adiknya. Cahaya hijau terlihat lagi kali ini dibarengi teriakan seorang pria.

Kakinya bergetar, mencoba melangkah menuju pintu. Butuh waktu sampai gadis itu mencapai pintu, dibuka pintu yang sudah sedikit terbuka itu.

Dalam pandangan pertama yang disinari cahaya bulan, Elyse melihat ayahnya sedang terbaring tak berdaya dengan wajah yang ketakutan, sontak dia berteriak.

"AAAAAAAAAAAA" Teriakan nya memekik terdengar kedua temannya, Elyse berdiri selimut itu jatuh, ia mencoba meminta maaf kepada keduanya dengan peluh di seluruh wajahnya.

"Ada apa dengan mu" Piera duduk di kasur setelah terbangun.

"Seburuk apa mimpimu El?!" Regna bangun dan mencoba menenangkan temannya, yang tiba-tiba lemas jatuh ke tanah.

"Ini masih lebih baik daripada saat aku berumur 10 tahun." Elyse dibantu Regna kembali ke kasur dan mencoba tidur kembali, tapi terus terjaga hingga malam berganti pagi.

Que Será, SeráTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang