° PROLOG: Terpisah °

2K 150 14
                                    

1st Person POV

Celestia, tempat bersemayamnya para dewa dan dewi di dunia ini. Bagai sebuah reruntuhan dari Kerajaan Langit, dengan pilar-pilar putih dari pualam, yang elegan dan indah, berdiri tinggi di sisi kanan dan kiri jalan ini. Biru langit membentang di atas, putih awan bergumpal di bawah. Sentuhan emas dan perak tak tertinggalkan.

Ini sebuah perjalanan yang tidak mudah. Kami berutang maaf pada mereka yang telah berkorban, khususnya Sang Penyair Angin yang telah membukakan pintu gerbang Celestia ini dari patung Sang Dewa Angin. Perang besar-besaran tengah terjadi di antara ketujuh bangsa di bawah sana. Tidak ada cara yang tersisa selain meminta belas kasih dewa tertinggi yang bersemayam di Celestia ini.

Dia, penguasa dunia ini. Dia, pemilik dunia ini. Dia, pencipta dunia ini. Dia tidak mungkin membiarkan perang menghancurkan dunia-Nya ini, bukan? Dia-lah yang memiliki wewenang dan hak mutlak untuk mengatur dunia ini. Pasti Dia tidak menginginkan perang yang disebabkan manusia ini yang menghancurkan dunia-Nya...

Kami sampai di ujung jalan. Kami mendongak, dan melihat sebuah podium yang melayang cukup tinggi di atas sana. Begitu melihat sekitar untuk mencari jalan naik, tiba-tiba atmosfernya berubah. Sebuah portal terbuka; hitam, berbentuk bintang empat sudut. Kami langsung memasang posisi siap.

Sesosok wanita tinggi terlihat melangkah keluar dari sana. Kelihatannya ia adalah salah satu dewi dari Celestia ini.

"Wahai... hendaklah siapa yang sengaja menginjakkan kaki di tempat ini memiliki tujuan." Ia berucap dan menatap kami dingin dengan mata emasnya.

Kakakku maju satu langkah. "Kami mewakili tujuh bangsa yang tengah berperang di bawah sana. Kami ingin meminta belas kasih kalian..."

"Belas kasih? Pantaskah kami memberikan belas kasih pada mereka yang hanya akan terus dan terus menciptakan pertumpahan darah di dunia ini?" Ia menyela.

"Ini dunia yang kalian buat, bukan? Tidakkah kalian peduli pada 'harta' milik kalian sendiri?"

Sang dewi terdiam. Ia memandangi kami secara bergantian. Entah aku harus merasa terintimidasi atau diremehkan oleh pandangan itu, tapi yang jelas aku tidak akan menyukai bagaimana akhir dari negosiasi ini.

Dewi ini bukanlah Dia yang memiliki dunia dan seisinya. Mungkin Sang Penjaga Gerbang Utama yang dibicarakan si penyair itu.

"Sebuah 'harta', 'benda' yang diberi nyawa... diberi kehidupan... diberi pengampunan dan kasih sayang... mereka, para manusia itu, diciptakan untuk menjadi para pemimpin, namun apa yang malah mereka lakukan di bawah sana? Berperang, menumpahkan darah, mengkhianati kepercayaan kami, bahkan tidak sedikit yang tidak percaya dengan keberadaan kami lagi... Apakah makhluk-makhluk seperti itu pantas mendapatkan belas kasih sekali lagi?"

Giliran kami yang terdiam, lalu saling berpandangan.

"Kami mempercayakan sebuah tanah subur, kami mempercayakan ilmu pengetahuan, kami mempercayakan sebuah tanggung jawab. Namun, mereka malah egois, serakah, dan menyalahgunakan segalanya yang telah kami berikan. Dan sekarang, mereka berperang besar-besaran. Tidakkah kalian berpikir, buat apa kami memberikan belas kasih dan satu kesempatan lagi pada mereka jika kelak akan terjadi seperti ini lagi?"

Dalam hati, aku ingin sekali membenarkan hal itu.

"Sekarang, aku sarankan kalian pergi... dan urus urusan kalian sendiri..." Sang dewi hendak membuka portal, namun dicegah oleh kakakku.

"Tunggu! Aku mohon, sekali ini saja..." dia menarik napas panjang. "Mereka pasti akan belajar dari kesalahan. Perang ini akan menjadi sebuah sejarah yang bisa jadi dapat mencegah kejadian yang sama terulang. Itulah gunanya ilmu pengetahuan yang kalian berikan pada mereka."

"𝘼𝙣𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙍𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙠𝙩𝙪" || 𝑉𝑖𝑣𝑎 𝐹𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦 (S1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang