1st Person POV
Sekembalinya kami ke Elheims, kami segera menuju aula tempat monolit batu itu berada. Ternyata ukurannya lebih besar dari yang kubayangkan dari gambar. Panjang rusuknya sekitar dua setengah meter lebih dan berbagai ukiran rumit berada di setiap sisinya.
"Sudah kembali? Baguslah," senyum lega yang tipis terbentuk di wajah Ayon begitu dia menoleh kepada kami. Aduh, Author jangan nangis dong.
Aku, Marvel, dan Samsul hanya bisa menunduk. Aku merasa malu melihat ke arah Malik, mungkin Marvel juga. Sementara untuk Samsul, dia memelankan langkahnya hingga berada di belakang kami. Tidak ada yang berbicara lagi untuk sesaat. Marvel hendak membuka mulutnya, namun Ayon melangkah melewatinya untuk menuju Samsul. Penasaran, aku menoleh ke belakang.
"Aku tidak sempat menanyakan keadaanmu, jadi sekarang, mau bicara sebentar?" Tanya sang Raja Lautan.
Anak berkacamata hitam dengan rambut coklat susu itu diam, lalu menjawab dengan gelengan. "Aku tidak apa-apa."
Sakit rasanya mendengar suaranya yang sedikit serak. Terdengar Ayon menghela napas pelan, sementara aku memberikan isyarat sebuah isyarat kepada Marvel.
"Hei, ayolah. Tidak baik membohongi dirimu sendiri begitu."
(Author, sambil nangis: KAMU BUKANNYA JUGA GITU YA, YON?!??)
"Sudah kubilang, aku sudah tidak apa-apa," ujar Samsul sambil melambai singkat, dan langsung balik kanan dan pergi.
"Sul?" Panggilku dan Marvel heran.
"Gua mau latihan sendiri," balas anak itu yang jelas adalah kebohongan.
Aku dan Marvel saling berpandangan, lalu entah mengapa refleks sama-sama melirik ke arah Malik yang hanya diam memperhatikan. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan duluan, lalu menarik Marvel. "Kayaknya kami... mau istirahat dulu..."
Raja GM memandangi kami berdua, alisnya terangkat sebelah. "Baiklah, silakan..."
Sementara Ayon kelihatannya menyusul Samsul, aku dan Marvel berjalan ke arah yang berlawanan. Kami melewati lorong-lorong panjang Elheims menuju sebuah ruangan kamar.
"Jantung gue rasanya mau kering darah kalo tadi ketemu pandang sama Raja Malik," gumamku dengan wajah sedikit pucat membayangkannya.
"Gue juga malu..." respon Marvel pelan.
"Eh iya, Vel, sampe pedang baru lu bisa lu pake, gimana kalo lu coba pake pedang gue?" Kami menghentikan langkah, lalu aku mengeluarkan pedang hitamku yang lama. "Ini dikasih sama salah satu panglima di Olvia kemaren sih karena pedang perak gue dihancurin sama dia. Tapi, karena sekarang gue punya pedang baru dari Raja Malik, lu aja yang pake nih pedang,"
Marvel pun menerima pedang tersebut dan sempat terpana dengan bentuk kepala elang di ujung gagangnya.
"Sejauh ini selama gue pake pedang itu, energi yang gue gunakan untuk melancarkan sihir nggak sebesar waktu nggak gue pake. Maksudnya, lebih dapat terkontrol gitu. Berguna kan, buat lu yang kayaknya cepat kehabisan energi pas pake sihir hitam?" Jelasku.
"Ooh, iya. Makasih ya, (Y/N)," dia tersenyum, namun matanya masih menunjukkan kesedihan.
Aku menepuk pelan pundaknya, rasanya ingin memeluknya, namun entah mengapa di saat bersamaan ada rasa trauma juga. Aku pun hanya bisa melihat ke bawah, lalu mengajaknya untuk lanjut berjalan. Anak berambut ungu itu tidak langsung menuruti, dia malah menghela napas pelan dan tiba-tiba sudah menarikku dalam dekapan. Saat itulah aku baru sadar bahwa dia lebih pendek empat senti dariku. Apakah karena hak dari sepatu boots-ku atau Marvel yang menundukkan kepalanya? Tapi, terlepas dari itu, degup jantungku berangsur-angsur normal kembali. Gejolak menjanggal yang membuat kepala ini panas menghilang, digantikan dengan ketenangan yang ternyata sangat kubutuhkan setelah semua ini. Ditambah dengan rasa aman dan nyaman... membuatku teringat akan kakakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
"𝘼𝙣𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙍𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙠𝙩𝙪" || 𝑉𝑖𝑣𝑎 𝐹𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦 (S1)
Fiksi Penggemar.。.:*✧ "𝘼𝙣𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙍𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙠𝙩𝙪" ✧*:.。. .。.:*✧ 𝑉𝑖𝑣𝑎 𝐹𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦 𝑆1 𝑋 𝐿𝑢𝑚𝑖𝑛𝑒!𝑅𝑒𝑎𝑑𝑒𝑟 ✧*:.。. [PROSES EDITING] Ia memperkenalkan diri sebagai '(Y/N)', seorang pengembara dari sisi lain dunia yang terpisah dengan ka...