° XIX. Bough Keeper °

381 77 9
                                    

1st Person POV

Seperti yang sudah dijanjikan, pagi-pagi sekali kami dibagunkan untuk pelajaran pertama. Kami menggunakan sebuah pedang berwarna hitam pekat yang mengkilap.

Malik mengajari kami dari cara memasang kuda-kuda hingga teknik mengayunkan pedang yang baik. Hei, aku baru tahu bahwa mengayunkan pedang juga memiliki teknik dan tata-caranya!

"Tentu saja, (Y/N). Semua yang memiliki peraturan tentu memiliki tata-cara, termasuk ketika kalian ingin bertemu dengan raja suatu negeri." Malik menjawab dengan menyisipkan satu sindiran.

"Itu Marvel," aku menimpakan kesalahan seperti cewek pada umumnya.

"Hoi! Tapi lu ikutan juga, kan?!" Anak itu tidak terima.

"Sudah, kalian jangan buang-buang waktu dengan bertengkar!" Malik mengibaskan tangannya dan mendapatkan atensi kami lagi. "Nah, coba kalian lihat ini dan tiru nanti."

Sang raja dengan rambut hitam legam itu pun memasang kuda-kuda kokoh. Pedang terangkat, sedikit dimiringkan, kemudian dia mengayunkannya ke depan untuk menebas boneka kayu di depannya menjadi dua.

"Saat memasang kuda-kuda yang seperti tadi, jangan pikirkan apakah tebasan kalian akan mengenai target atau tidak. Tetap fokus dan biarkan energi di sekeliling kalian saja yang memberikan jalan," tuturnya sambil kembali ke sikap sempurna. "Namanya adalah Kuda-Kuda Lingkaran Angin, salah satu kuda-kuda yang cukup mudah dan sederhana. Dibuat oleh ayahku dulu, dapat berkembang dengan sendirinya seiring waktu."

"Berkembang seiring waktu dengan sendirinya...?" Ulangku sambil menelengkan kepala. Dia hanya membalas dengan anggukan singkat.

"Sekarang, kenapa tidak kalian coba?"

"Oh, baik!" Marvel terlihat sedikit tersentak, sementara aku langsung memperbaiki caraku memegang pedang. Kuusahakan sesempurna mungkin agar tidak menjadi bahan evaluasi.

Menjelang tengah hari, Malik menyuruh kami untuk istirahat sebentar dan menyarankan untuk mencari Rafel kalau mau makan siang. Aku berpandangan dengan Marvel, bagaimana kami dapat menemukan panglima yang satu itu? Tapi, di akhir, kami tetap berjalan pergi untuk mencarinya. Salah satu tempat yang pertama kali terlintas begitu mendengar 'makan siang' tentu adalah dapur, jadi kami berharap dapat menemukannya di sana.

Baru saja kami berbelok menuju tangga, laki-laki berambut putih gradasi kuning itu juga baru sampai di ujung satunya.

"Lho, kalian? Mau makan siang?" Sapanya. Kami mengangguk. "Ayo, sini," dia memberikan isyarat untuk mendekat, yang tentu kami turuti karena tercium aroma yang lumayan sedap.

Rafel membukakan pintu menuju dapur, yang tentu saja luas. Para koki sibuk berkutat dengan wajan, panci, dan kompor, sementara beberapa pelayan mondar-mandir dengan sapu, kain lap, piring, mangkok, dan perabot lainnya.

"Menu utama untuk makan siang hari ini adalah daging panggang dan sup kepiting-jamur, pencuci mulutnya jeli kelapa dengan topping mint. Silakan kalian ambil sendiri dan duduk di sana," Rafel menunjuk sebuah meja kayu bundar yang cukup untukku dan Marvel berdua saja. Yah, mungkin tempat makan siang yang seperti ini 'layak' untuk kami yang bukan siapa-siapa bagi istana.

Tak butuh waktu lama hingga kami mengosongkan beberapa piring.

"Rafel, kamu nggak makan?" Tanyaku berbasa-basi setelah dia menyuruh kami membereskan meja bundar tersebut.

"Eh, sudah, kok," laki-laki itu seperti memaksakan senyumnya.

"Hmm... kita masih ada waktu istirahat berapa lama lagi, Vel?" Aku menoleh sebentar ke arah si Ubi Ungu.

"𝘼𝙣𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙍𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙠𝙩𝙪" || 𝑉𝑖𝑣𝑎 𝐹𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦 (S1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang