° XVII. Petir Keabadian °

517 79 13
                                    

1st Person POV

Awalnya, ada rasa ingin menyusul Marvel, namun sesaat setelahnya, aku mendengar suara gemeletuk petir dan sebuah aura familiar. Aku melirik ke arah Samsul, khawatir bila suara gemeletuk petir itu berasal darinya yang kelewat fokus.

"(Y/N), tanganmu nggak seimbang. Kamu bisa oleng ke kanan itu." Tiba-tiba suara Nevin menyadarkanku kembali.

Aku segera meluruskan tangan kananku lagi, padahal bahu, leher, punggung, sampai betisku terasa seperti bisa menyublim kapan saja sekarang sangking pegalnya. Tapi... aku masih penasaran dengan aura familiar tadi. Aura itu terasa... lembut, namun sangat kuat. Kuat dalam artian memiliki kekuatan besar. Kekuatan seperti...

Ctar!

Aku refleks memekik dan menjatuhkan kedua ember di tanganku, tapi aku berhasil mengambil kembali keseimbangan di atas balok kayu.

"(Y/N)? Ada apa?" Terlihat wajah Nevin menjadi khawatir.

"Rasanya barusan... ada yang menyengat..." jawabku jujur sambil memandangi kedua tanganku.

Nevin dan Ayon kompak memasang pose berpikir masing-masing, lalu saling bertukar pandang. Semoga nggak ada Author yang banting-banting meja- ah, aku tarik kembali kata-kata itu.

"(Y/N), sihirmu itu apa?" Tanya sang raja kemudian sambil melihatku.

"Uhh... aku bisa mengendalikan angin dan baru saja menguasai sihir Manipulasi Tanah dan Batu. Dari yang kubaca, itu namanya 'sihir elemental', bukan?" Jawabku apa adanya.

"Ooh... begitu. Sepertinya, aku sedikit mengerti kondisimu."

Aku menelengkan kepala tidak paham. Tapi, sang raja dari Elheims itu malah balik kanan.

"Aku harus mendiskusikannya sebentar dengan GM. Nanti kamu dengar sendiri saja," ucapnya, lalu berpamitan untuk kembali ke Elheims. Nevin memberikan lambaian tangan dan itu membuat Author hampir menggigit ujung meja. (Tolong, ada orang gila jadi author-)

"(Y/N), apakah kira-kira sekarang kamu dapat melanjutkan berdiri di sana sampai matahari terbit? Atau mau istirahat saja?" Laki-laki berambut mahogani gelap itu pun menoleh ke arahku lagi.

"A, aku akan lanjut, Master!" Jawabku, tapi tiba-tiba bersin.

"Eeh... gue nggak yakin," celetuk Samsul. "Gue nggak mau nanti pagi liat mayat hidup."

"Mayat hidup?" Aku melotot ke arahnya, merasa tersinggung.

"Iya. Lu nggak sadar apa, (Y/N)? Makan dikit, tidur dikit, tapi energi yang lu keluarin tiap hari nggak main-main!"

Aku tertawa. "Mana ada, ah! Toh, gue udah terbiasa. Jadi, gue bakal nemenin lu berdiri di sini,"

"Hah? Yaah... sudahlah, serah lu," Samsul memutuskan untuk mengalah saja.

Lengang di antara kami berdua. Hanya angin subuh yang berhembus dengan lembut. Anehnya, suara gemeletuk petir dan aura kuat itu tidak kurasakan lagi. Apakah itu hanya halusinasi? Namun, mendadak aku merasakan rindu... sosok asli dari Sang Dewi Petir... orang-orang di sana... Aku menutup mata. Mendengarkan suara alam di sekitar hingga terasa mentari malu-malu menyiram cahayanya dari ufuk timur sana.

"Keputusan yang bagus untuk tetap berdiri di sana, (Y/N). Kelihatannya kamu malah bermeditasi, ya?" Terdengar suara Nevin sambil dia kembali ke jembatan gantung di depan kami. "Bagaimana, Samsul? Kamu hebat juga bisa bertahan semalaman."

"Yah... agak pegel sih, Master..." jawab Samsul, sementara aku hanya tersenyum kecil.

Nevin pun tertawa pelan. "Turunlah kalian berdua. Kita beralih ke latihan selanjutnya."

"𝘼𝙣𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙍𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙠𝙩𝙪" || 𝑉𝑖𝑣𝑎 𝐹𝑎𝑛𝑡𝑎𝑠𝑦 (S1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang