-Namira-
Dengan kesepuluh jari meremas kuat kain gamis bagian paha, aku menunduk rendah mendengar cerita Kak Mike. Mataku yang sejak tadi sudah memanas, pada akhirnya tak mampu lagi membendung air mata. Dia menjelaskan detail penyebab terjadinya kesalahpahaman di antara kami berdua. Dia memberitahuku tentang masalah keluarganya yang menyebabkan dirinya terjerumus ke lembah hitam. Lelaki itu juga menceritakan bagaimana dia menjalani hidup setelah kepergianku dan kematian orangtuanya.
"Setelah kamu dan orangtuaku pergi, aku udah nggak tau lagi harus gimana. Aku kehilangan rumah. Aku kehilangan arah. Aku bahkan harus cuti kuliah karena kecanduan alkohol. Aku-"
Tak kuat mendengar lanjutan cerita Kak Mike, kedua tanganku refleks mendekap erat pinggang lelaki itu dan kepalaku tenggelam di dada bidangnya. Kak Mike terdiam dalam sekejap, terkejut dengan reaksiku.
"Maaf." Aku terisak pelan. "Maafin aku."
Ya Allah, aku tahu ini salah. Tapi aku tak bisa menahan diriku untuk tidak memeluk lelaki yang namanya masih tersimpan rapat di hatiku. Aku mencintainya. Sungguh-sungguh mencintainya.
Aku menyesal karena sudah meninggalkan Kak Mike tanpa sudi mendengar penjelasannya lebih dulu. Aku merasa sangat bersalah karena tidak ada di sampingnya di saat dia membutuhkanku sebagai tumpuan setelah kepergian orangtuanya.
Seolah tersadar, detik kemudian Kak Mike melingkarkan lengannya menyelubungi tubuhku, menarikku masuk ke dalam hangat dekapan yang sangat aku rindukan.
"Rara..., I missed you so bad." Sebuah bisikan lirih penuh kesakitan menyayat hatiku dengan teramat dalam. Suara itu seperti berasal dari tempat yang sangat jauh, namun bisa kudengar dengan jelas. Dan ketika sederet kalimat permohonan yang keluar dari bibirnya tiga detik kemudian, pertahananku pun akhirnya runtuh. "Please, don't leave me again! If you think of running away from me..., please kill me first! I wouldn't like to live alone without you. I can't deal with it anymore."
Aku menggangguk di dada Kak Mike. "From now on..., I'll stay here with you."
Ayah, maaf. Kali ini Ira nggak akan lagi nurutin perintah Ayah buat ngejauhin Kak Mike. Ira nggak bisa. Ira nggak sanggup.
Kurasakan sesuatu menekan puncak kepalaku. "I love you more than anything."
Aku tersenyum mendengarnya. Love you too, Kak.
Cukup lama aku dan Kak Mike berpelukan, menyalurkan kerinduan kami yang teramat dalam. Ketika dirasa cukup bagiku untuk menunjukkan perasaanku padanya, aku berusaha menarik diri ke belakang. Menyadari gerakanku, kungkungan lengan kekar Kak Mike menguat, membuatku kesulitan mengurai pelukan.
"Please, stay still.... Just for now."
Tercenung mendengar suara lirih Kak Mike, aku pun berhenti bergerak dan membiarkannya mendekapku. Aku tak mau membohongi diriku sendiri bahwa aku menyukai aroma tubuhnya yang merasuk ke indera penciuman. Aroma ini sangat menenangkan dan membuatku nyaman. Dengan kepala masih bersandar di dada Kak Mike, aku menengok ke samping dan memandang langit malam yang bertabur bintang. Hening, tak ada kata yang terucap dari bibir kami. Tapi satu hal yang pasti, perasaan kami saat ini saling tertaut.
Dua puluh menit berlalu, aku dan Kak Mike masih setia dengan posisi kami. Lalu tanpa aba-aba, aku mendengar lelaki itu melontarkan dua kata yang membuatku terhisap ke dalam ketercengangan hebat.
"Marry me?!" Tubuhku membeku dalam sekejap. "Aku tau ini mendadak, tapi aku nggak mau kehilangan kamu lagi. Selain Michelle, cuma kamu yang aku punya sekarang," lanjutnya dengan nada sedih bercampur frustrasi.
Saat tidak ada jawaban dariku, dekapannya makin mengerat. Dagunya yang bersandar di atas kepalaku pun terlepas. Kak Mike mengangkat daguku dengan salah satu tangan dan menunduk menatapku lurus, tepat di manik mata.
"Rara, please, say something!"
Aku bingung harus menjawab apa. Bukannya aku tidak mau menikah dengannya, hanya saja saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Tidak sebelum Ayah masih membenci Kak Mike. Aku harus meyakinkannya lebih dulu kalau lelaki ini adalah lelaki pilihanku, lelaki yang terbaik untukku. Aku ingin beliau menerima Kak Mike dan merestui hubungan kami.
"Rara?"
Seakan tersadar, perlahan kutarik kedua tanganku hingga pelukan kami terurai. Kemudian aku menegakkan posisi duduk. "Maaf, Kak, aku belum bisa jawab sekarang," ujarku dengan rasa sesak di dada.
"Kenapa?" Suara Kak Mike melemah. "Apa kamu udah nggak cinta sama aku lagi?"
Aku menggeleng cepat. "Bukan itu. Tapi...."
"Tapi?"
Dengan punggung bersandar di bangku, aku menunduk rendah dan meremas kesepuluh jariku. "Ayahku masih...."
Mengangguk paham, Kak Mike pun berujar, "I see. Om Armand masih nggak suka sama aku." Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan, tapi aku tetap mengangguk pelan. Lelaki itu mengusap puncak kepalaku. "Nggak usah kuatir. Aku akan bilang langsung ke Om Armand kalo aku bener-bener serius sama kamu. Aku juga akan berusaha ngeyakinin beliau kalo cuma aku satu-satunya laki-laki yang pantes jadi imam anak gadisnya."
Tersentuh oleh kata-katanya, aku mengangkat kepala dan mendongak menatapnya dengan tatapan berbinar dan hati berbunga-bunga. "Kakak yakin?"
"Iya. Laki-laki sejati itu laki-laki yang bisa dipegang ucapannya. Dan aku nggak akan pernah narik kata-kataku," ujarnya, penuh tekad. Sesaat kemudian, Kak Mike berdehem. "So...," Dia lalu berlutut di hadapanku dengan salah satu kaki. Tanpa disangka-sangka, dia mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari dalam saku celana bagian depan dan membukanya, "will you marry me?" Dia mengulangi pertanyaannya tadi. "Aku udah lama nyiapin cincin ini dan sebenernya mau aku kasihin ke kamu pas anniversary yang kedua waktu kita masih pacaran dulu. Tapi aku yakin kalo sekarang aku ngasih cincin ini dan minta kamu jadi pacarku lagi, pasti kamu nggak mau karena ntar habis itu kita belum bisa jadi mahram. So..., aku pikir mending cincin ini aku pake buat ngelamar kamu aja."
Bening menggenang di pelupuk mataku tatkala mendengar kalimatnya. Seumur hidup, aku belum pernah merasa sebahagia ini. Apa lagi yang aku harapkan selain lelaki yang aku cintai dan mencintaiku memintaku untuk menjadi istrinya?
Kak Mike menatapku waswas sebab aku tak juga mengeluarkan suara. "Jadi...?"
Sebuah anggukan aku berikan sedetik kemudian. "Yes, I will."
Kedua sudut bibir lelaki itu terangkat tinggi, menampakkan deretan gigi putihnya. Dia lantas mencabut cincin itu dari tempatnya. Ditariknya tangan kiriku dan dimasukkannya benda berwarna putih bertahtakan berlian berukuran sedang itu ke dalam jari manisku.
"Pas," celetuknya. Aku tersenyum sembari memperhatikan cincin tersebut. Cantik sekali. "Kamu suka?" tanyanya, memastikan.
"Banget. Ini cantik banget, Kak. Aku suka," jawabku dengan nada riang yang tak mampu kusembunyikan.
"Syukurlah kalo gitu." Bangkit berdiri, Kak Mike menggenggam kedua lenganku dan menarik tubuhku bersamanya. Dia lalu memelukku erat. "Makasih udah nerima aku lagi. I've been waiting for this moment for so long."
Aku menggangguk. "Makasih juga karena Kakak masih cinta sama aku sampe sekarang."
"Always and will," tambahnya. Dia melepas dekapan dan menunduk menatapku. "Udah malem. Aku anter pulang sekarang. Besok kamu udah masuk kerja, kan?"
"Iya," anggukku.
Kami pun pergi meninggalkan tempat yang penuh kenangan itu dengan perasaan bahagia yang membuncah di dada. Ya Allah, bolehkah aku meminta supaya kelak aku dan Kak Mike bisa menikah di pinggir danau itu?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cinta Namira
SpiritualAku memutuskan meninggalkan lelaki yang aku cintai beberapa tahun yang lalu demi Allah. Sampai saat ini penampilanku memang belum sesempurna teman-temanku yang selalu mengenakan gamis dan hijab besar. Tapi aku akan terus berusaha memantaskan diri su...