Chapter 15

126 7 0
                                    

-Namira-

Aku sedang menyandarkan punggung di kursi kerja ketika terdengar sebuah ketukan dari luar. "Masuk!" suruhku.

Detik kemudian, kepala seseorang menyembul dari sela-sela pintu. "Sayang, I'm coming."

Bangkit berdiri, aku tersenyum mengetahui siapa yang datang. Calon suamiku. Siapa lagi?

Sudah lima hari ini, tepatnya dua hari setelah lamaran di pinggir danau waktu itu, kami tidak bisa bertemu karena aku ditugaskan oleh Pak Dimas ke Lombok untuk memantau proyek pembangunan resort terbaru milik salah satu klien.

"Assalamu'alaikum, Kak," ucapku, mengingatkannya.

"Eh, iya lupa." Lelaki itu masuk sambil menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah. "Assalamu'alaikum, Sayang," uluknya dengan sebuah cengiran malu.

"Wa'alaikumsalam," balasku. Aku menggigit bibir bawah bagian dalam guna menahan geli melihat mimik mukanya yang lucu.

Begitu pintu tertutup, Kak Mike berjalan cepat mendekatiku. Tanpa aba-aba, dia langsung memelukku erat sekali. Terkejut, aku pun bergeming di tempat.

"Missed you so much."

Tersadar, aku segera mengurai pelukannya. "Kak, nggak boleh peluk-peluk. Inget! Kita belum mahram," tegurku.

Jujur, sebenernya aku juga sangat merindukan lelaki itu dan tidak rela melepas dekapannya. Tapi mengingat hubungan kami belum sah, mau tidak mau aku harus melepaskannya.

Kak Mike memasang muka cemberut ketika pelukannya terurai. "Kita nikah sekarang aja ya, Ra? Biar aku bisa meluk kamu kapan pun aku mau."

"Kakak jangan becanda deh!"

"Siapa yang becanda? Aku serius."

"Ayah belum ngasih kita restu, Kak."

"Ya udah, kalo gitu kita kawin lari aja, gimana?" Lelaki itu menyeringai lebar.

"Kakak, ih! Makin ngaco ngomongnya." Aku berseru sebal. "Kakak kan kemaren udah janji mau ngeyakinin Ayah dulu biar dapet restu."

Kak Mike terkekeh. "Kalo yang ini becanda, Sayang." Salah satu tangannya menangkup wajahku dan membelai lembut pipi kananku, membuatku diam terpaku dan jantungku berdegup kencang. "Aku nggak mungkin nikahin kamu tanpa restu Om Armand dan Tante Sarah. Restu mereka juga restu Allah, kan?" Mengangguk setuju, aku tersenyum mendengar penuturannya. "Kita cari makan di luar sekarang?"

"Boleh. Tapi kita sholat dulu ya, Kak?" ajakku.

"Oke."

Kami melangkah berdua menuju mushola Genandra Building yang ada di lantai bawah. Sehabis lamaran kemarin, Kak Mike mulai shalat lagi setelah sekian lama dia meninggalkan ibadah wajib itu. Aku bilang padanya, kalau dia memang serius ingin jadi imamku, dia harus mempelajari agama Islam dengan sungguh-sungguh. Selain restu dari orangtuaku, ada dua syarat wajib juga yang aku ajukan padanya jika dia benar-benar ingin menikahiku, yaitu lancar membaca Al-Qur'an dan hafal Juz Amma.

Sepanjang perjalanan menuju mushola, aku menyadari banyak pasang mata yang terarah padaku dan Kak Mike. Beberapa di antaranya ada yang saling berbisik.

"Eh, eh, itu bukan sih perempuan yang katanya lagi deket sama Dokter Mike?" Seorang perempuan berambut pendek bertanya ke temannya ketika kami berada di dalam lift.

"Nggak tau. Kayaknya emang itu deh. Tapi kok mereka gak gandengan, ya?" Perempuan di sampingnya menimpali.

"Iya, ya. Jangan-jangan bukan itu," tebak perempuan pertama. "Secara kan tipenya Dokter Mike itu cantik, tinggi, langsing, dan seksi. Mirip model-model catwalk gitulah pokoknya. Jadi kayaknya bukan yang itu."

"Iya. Apalagi setau gue, Dokter Mike masih punya pacar, kan? Ya kali dia selingkuh."

"Bener, bener."

Mendengar pembicaraan mereka, kepalaku langsung tertunduk dan mataku tak pelak memanas. Ketika lift terbuka dan seseorang masuk ke dalam, aku merasakan sebuah tangan merangkul bahuku, lalu menarikku sampai tubuhku menempel dengan badan si pemilik tangan tersebut. Tersentak, aku mendongak menatap Kak Mike dengan kedua mata terbelalak kaget. Lelaki itu memandangku dengan sorot teduh dan senyum manis.

"Ntar habis shalat, kamu mau makan apa, Sayang?" Pertanyaan dan panggilan sayang itu membuat semua orang yang ada di dalam lift tercengang hebat, termasuk aku. "Kok diem?" Tangannya yang bebas menangkup wajahku dan perlahan mengusap pipiku, membuat kesadaranku kembali. "Kita ke warung makan kesukaanmu aja, gimana?" Dengan muka memanas dan detak jantung berjumpalitan, aku pun mengangguk mengiyakan.

Lima detik kemudian, pintu di depan kami terbuka lagi, kali ini tepat di lantai paling bawah. Tanpa melepas rangkulan, Kak Mike menarikku keluar dari benda berbentuk balok dan terbuat dari baja itu. Dia lalu menunduk dan mendekatkan kepalanya padaku.

"Jangan dengerin omongan mereka! Kamu calon istriku, bukan selingkuhanku," bisiknya.

Terus terang, meski Kak Mike mengatakan hal itu untuk meyakinkanku, aku tetap kepikiran dengan pembicaraan kedua perempuan tadi. Mereka bilang calon suamiku sudah punya pacar? Benarkah? Kenapa dia tidak mengatakan apa pun padaku?

"Rara?"

Belaian di pipiku tak ayal menarik kesadaranku yang sempat melayang. Aku mendongak dan membalas tatapan Kak Mike.

"I-iya, Kak?" Mendadak aku tergagap.

"Kamu kenapa? Kok dari tadi diem aja?" tanyanya dengan nada sarat kekhawatiran. "Kamu masih kepikiran sama omongan mereka?" Kepalaku refleks manggut-manggut. "Please, jangan percaya! Cuma kamu satu-satunya perempuan yang ada di hati aku. Nggak ada yang lain. Paham?"

"Iya." Tak mau berdebat, aku pun mengiyakan ucapan Kak Mike.

Aku memasrahkan semuanya sama Allah. Dia pasti akan menunjukkan segalanya apakah sosok di sampingku ini merupakan lelaki yang terbaik bagiku atau tidak. Seenggaknya untuk sekarang, Kak Mike sudah menunjukkan hal positif dengan kembali menunaikan shalat. Pelan-pelan, nanti aku juga akan mengajaknya ke pengajian yang sering aku ikuti. Semoga dia tidak keberatan dengan ajakanku.

Selepas shalat dhuhur, Kak Mike menjalankan mobilnya menuju warung sederhana yang menjual aneka macam makanan laut. Warung tersebut merupakan tempat makan yang dulu sering kami kunjungi. Alhamdulillah, warung itu masih ada sampai sekarang.

Tiba di sana, aku langsung mengambil tempat duduk favorit kami, yakni di sudut paling belakang yang menghadap ke taman, sedangkan Kak Mike memesan makanan yang dulu juga sering kami pesan.

"Udah lama banget ya kita nggak ke sini?"

Kepalaku, yang tadinya memandang ke arah taman, dalam sekejap menoleh ke pemilik suara. Ternyata Kak Mike sudah selesai dengan kegiatannya. Duduk di sebelahku, lelaki itu melepas kaca mata hitam dan menggantungkannya di kemeja bagian tengah yang dua kancingnya sudah terbuka.

"Iya."

"Kamu inget nggak dulu pas pertama kali ke sini pernah pesen udang goreng?" tanyanya, mengembalikan memoriku akan peristiwa itu. "Udah tau alergi, tapi masih nekat makan. Untung pacar kamu waktu itu calon dokter, jadi langsung tau gejala dan penanganannya."

Aku tersenyum malu. "Habisnya aku pengin banget makan udang. Enak soalnya."

"Iya, tapi kamu nggak tau gimana paniknya aku waktu itu. Aku udah kayak orang kesetanan liat kamu sesak napas."

Merasa bersalah, aku spontan merunduk. "Maaf."

Kak Mike mengusap puncak kepalaku. "Jangan diulangin lagi ya, Sayang?! Aku bisa gila kalo kamu kenapa-napa."

"Iya."

Sepuluh menit berlalu, pesanan kami datang. Satu porsi cumi pedas manis kesukaanku terhidang di atas meja. Kak Mike sendiri memesan bandeng presto favoritnya yang dilengkapi dengan sambal bawang. Tak lupa, segelas jus mangga dan alpukat menemani makan kami siang itu. Setelah berdoa, kami segera menyantapnya sambil bernostalgia tentang kenangan kami berdua.

Memang, tak ada yang lebih membahagiakan selain bisa bersama dengan lelaki yang aku cintai dan mencintaiku. Aku bisa jadi diri sendiri di depannya, begitu juga dengannya. Momen-momen seperti ini hanya bisa aku rasakan ketika bersama Kak Mike. Mengobrol dan tertawa berdua bersamanya.

***

Setulus Cinta NamiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang